Sunday, August 7, 2016

Kaffa Cafe


            Angin berhembus kencang menusuk-nusuk kulitku yang memerah. Meskipun sudah memakai jaket bulu yang tebal, angin tetap bisa membuatku terus menggigil. Kurapatkan tepi jaketku yang sudah menempel sambil mengelus bulu di ujungnya untuk mendapatkan kehangatan. Ya Tuhan, ternyata dingin ini masih sanggup menyentuhku meski aku sudah menutupi badanku dengan jaket setebal ini. Angin memang selalu bisa menembusku hingga membekukan hatiku. Seperti setiap waktu di kala itu.          
            Sesaat, aku terdiam memandangi bangunan yang ada di depanku. Aku mendesah pelan. Mungkin dingin yang sangat menusuk ini membuyarkan pikiranku dan membuat kaki ini menuntunku untuk berjalan kesini, Kaffa Cafe. Aku melirik slogan kafe yang tertulis jelas dipapan depan dengan tulisan emas itu, ‘You’ll never be able to forget your feeling here.’ Masih belum berubah. Aku mendesah, yes, you got me Kaf. Ah, sial. Aku menyebut namanya.
            Angin lagi-lagi berhasil menelusup kedalam jaketku dan membuat tubuhku bergetar. Sudah empat tahun. Mungkin sudah saatnya aku mampir ke tempat ini-lagi, mencicipi rasa yang diam-diam kurindukan, rasa yang sudah kukubur dalam dasar hatiku sendiri. Kupegang daun pintu itu erat dan mendorongnya hingga suara decitan yang dulu kusukai terdengar.
            Aku berjalan menuju bagian front untuk memesan kopi yang sekiranya bisa menghangatkanku. Sambil mengantri, kuamati setiap sudut kedai kopi ini. Suasananya masih sama, masih tetap hangat seperti dulu, hanya ukurannya saja yang sepertinya semakin besar, dan pelanggannya semakin banyak. Biasanya aku tidak perlu mengantri lama untuk mendapatkan secangkir kopi. Ah, bahkan aku tidak perlu mengantri seperti ini dan tidak perlu memesan kopi. Dia-baristaku-akan langsung membuatkan kopi favoritku sesaat setelah ia melihatku masuk ke kedai ini.       Penasaran, kulemparkan pandangan keseluruh bagian kedai, harap-harap cemas akan keberadaannya. Tiba-tiba, aku menyadari sesuatu dan langsung memukul kepalaku sendiri. Bodoh, jika dia ada disini dan melihatku, apa yang akan aku katakan? Ah sudahlah, lebih baik aku berhenti memikirkan kemungkinan itu sehingga aku bisa menghangatkan diri dengan tenang.
            “Pesan apa, mbak?” Tanya barista didepanku yang sukses membawa pikiranku kembali pada kedai ini.
            Aku melihat menu sejenak, “Cappucino plain yang dulu udah nggak ada, ya?” tanyaku padanya. Barista itu tersenyum sopan  padaku, “Dari dulu cappucinonya tidak ada yang plain, mbak.”
Keningku berkerut, “Ada, kok mbak. Dulu saya selalu beli itu kalo…” Hatiku mencelos saat menyadari sesuatu. Jangan-jangan…
“Jadi mau pesan apa mbak?” tanyanya memastikan sambil melirik pada antrian di belakangku.
Aku menatap barista di depanku sejenak, “Cappucino yang ada aja mbak kalo gitu.” Ujarku. Barista tersebut mengangguk dan mengangsurkan kopi pesananku. Aku mengambilnya dan langsung mencari kursi kosong terdekat. Dan bodohnya, tempat itu berada jauh di pojok kedai.
Aku menyimpan tas yang kubawa dan melepas sarung tangan yang sedari tadi menghangatkan tanganku. Sore ini, aku baru pulang dari kursus merajut dan berniat untuk membeli sepasang sepatu yang sedikit hangat di jalanan sekitar sini. Musim baru berganti. Angin yang sedang berhembus kencang sering kali menggoda alergiku dan membuatku bersin berkali-kali hampir di sepanjang hari. Bukan karena flu, tapi karena aku memang alergi dingin. Jika salah satu bagian dari tubuhku kedinginan sedikit saja, hidungku dengan cepat akan bersin berulang-ulang hingga badanku sedikit lebih hangat. Yah, memang alergi yang cukup merepotkan. Karena itulah hari ini rencananya aku akan mempersiapkan amunisi selama musim pancaroba ini. Kukira, aku akan kembali kerumah dengan senyum  mengembang karena bersin tidak akan mengangguku lagi. Namun siapa sangka, aku malah berakhir di tempat ini.
Aku menggenggam cangkir kopiku erat. Rasa hangat menjalar dari tangan ke seluruh tubuhku. Aku menghembuskan napas, ah hangat yang sungguh membuatku nyaman. Rasa nyaman ini mampu secara otomatis menggerakkan bibirku pada kedua ujungnya. Akupun menyeruput cangkir kopiku yang ternyata sukses membuat senyumku menghilang. Bukankah cappucino yang diberi topping seharusnya lebih enak dibanding yang plain? Lalu kenapa aku merasa kosong ketika meminum kopi ini? Rasa hangat yang tadi sempat bersarang di tubuhku menguap tiba-tiba dan angin-angin berhasil mengganggu tubuhku lagi.
Sepertinya aku akan menghabiskan kopi ini dengan cepat dan langsung pulang. Tepat ketika aku memutuskan untuk segera pulang, awan tiba-tiba mendung dan hujan turun dengan deras. Rintikan hujan yang bergerombol itu terlihat sangat ganas dari kaca kedai disebelahku. Aku merutuki kesialanku hari ini. Kenapa harus hujan disaat aku kedinginan dan… di tempat ini? Dengan cepat aku memakai sarung tanganku lagi dan mengeluarkan laptop. Mungkin sebaiknya aku mengerjakan beberapa artikel disini, artikel yang deadlinenya itu besok tentunya. Ya, aku harus cepat mengerjakannya. Kedai ini sekarang pasti sudah memiliki wifi, kan?
Kukeluarkan headset dari dalam  tasku, sepertinya keramaian di kedai ini tidak akan membantuku untuk berkonsentrasi. Tepat sebelum aku menempelkan heasdset ke telingaku, lagu itu menggema di seluruh ruangan. Kegiatan yang kulakukan terhenti. Lagu itu adalah lagu yang selalu kuputar ketika aku menyadari satu hal yang sudah tidak dapat kuubah. Lagu yang selalu sukses membawaku kembali pada kenangan masa itu. Masa ketika aku menikmati hariku dengan Kaffa.
“Tak ku mengerti mengapa begini, waktu dulu ku tak pernah merindu, tapi saat semuanya berubah, kau jauh dariku pergi tinggalkanku.”
--
“Kaaaf, kopi biasa yaa.”  Teriakku seraya langsung menduduki kursi paling pojok dari kedai ini. Kursi yang langsung berhadapan dengan pemandangan taman di depan kedai. Spot favoritku. Kaffa seperti biasa akan mengangguk asal dan langsung menggunakan celemek baristanya. Dia akan menikmati saat-saat ia menuangkan kopi keatas cangkir selagi aku tersenyum-senyum sendiri mendengarkan lagu favoritku.
“Here is the coffee, tuan putri.” Sindirnya sambil meletakkan cappuccino plain dengan bentuk hati diatasnya. No topping, karena aku tidak menyukai topping. Aku tersenyum sambil menyeruput kopi buatannya. “Manis”
“Thanks,” jawabnya spontan, aku hanya mengerutkan keningku, hei, aku mengatakannya bukan dengan maksud untuk memujinya. Tiba-tiba aku memiliki ide jahil, “Aneh, harusnya cappuccino itu sedikit pahit, loh. Tapi yang ini manis.” Lanjutku. Kaffa dengan bangga tersenyum di depanku,menyombongkan dirinya.
 “Ah, aku tahu, pasti ini karena yang minumnya manis kan.”lanjutku. Kaffa berdecak dan menyentil kepalaku kesal.
“Terserah lo deh, gue mau ambil minum dulu.” Kaffa pun berjalan pergi bersamaan dengan tawaku yang membahana di kedai yang masih sepi ini.
--
“Gimana menurut lo sama pilihan slogan gue?” Tanya Kaffa. Aku pura-pura tidak mendengarnya dan tetap membaca novel Sherlock Holmes yang kupegang. Tiba-tiba novel itu terbang di depanku dan beralih ke tangan Kaffa. Ia berkacak pinggang dengan wajah kesalnya dan mengulangi pertanyaannya, “Jadi?” Aku mengangkat tangan sambil membaca selembaran yang diangsurkan Kaffa ‘You’ll never be able to forget your feeling here’, Tunggu, kenapa slogannya…“Boleh jujur, nih?”tanyaku. Kaffa mengangkat bahunya.
“Slogannya terlalu cheesy sih, seolah-olah lo maksa orang yang datang kesini buat jatuh cinta. Padahal kan nggak semua orang bisa jatuh cinta sama kopi disini.” Ujarku. Kening Kaffa mengerut dan ia berkata cepat “Apa gue ganti aja?” Hmm, sebenarnya slogannya tidak seburuk itu, aku hanya sedikit lucu saja ketika membayangkan Kaffa yang mengucapkannya. Kaffa mulai sibuk membuka buku quotes jadul yang dibelinya kemarin. Ah, aku harus menghentikan Kaffa. Mungkin lebih baik slogan tadi daripada ia memilih quotes jadul yang lebih tidak cocok dengan konsep kedainya.
“Eh, tapi Kaf, dipikir-pikir oke sih slogannya. Overall, aku bisa nangkep feel yang kamu maksud disini. Anyway, aku beneran jatuh cinta kok sama kopi disini.” Tambahku.
Kaffa mengangkat wajahnya dramatis, “Lo jatuh cintanya sama kopinya atau sama yang buatnya?” godanya dengan bercanda. Aku pura-pura berpikir lama untuk menjawabnya, lalu tiba-tiba aku tersenyum dan menjawabnya dengan jokes yang sama, “Sama yang buatnya lah.”
 Kaffa tersenyum bangga sambil mengedipkan matanya genit, “Iyadong, kan cuma gue yang bisa bikin  kopi favorit lo.” Dan kamipun tertawa bersama.
--
Aku dan Kaffa bersahabat dari kecil-sejak kami pertama kali bertemu di TK. Kami bersahabat karena banyak kesamaan yang kami miliki, mulai dari warna kesukaan, hingga cara bercanda dan jokes favorit yang sama. Entah mengapa, meskipun sebagian besar orang tidak menyukai jokes seperti yang baru saja Kaffa utarakan padaku, aku menyukainya, dan bisa mengimbangi jokes itu dengan jokes lain yang tidak kalah menyenangkannya bagi kami.
Kedai kafe ini baru dibuat oleh Kaffa sebagai bisnis kecil-kecilannya dua bulan yang lalu. Tempatnya masih kecil dan masih menyewa, yah namanya juga bisnis baru. Tanpa kusadari, Kaffa selalu menanyakan pendapatku tentang konsep dan penataan suasananya padaku, meskipun aku tidak ikut andil sama sekali dalam bisnis ini. Aku tidak suka bisnis, Kaffa tahu itu. Dan hebatnya lagi, penataan kedai yang dilakukan oleh Kaffa sungguh sesuai dengan seleraku. Kaffa juga tidak jarang meminta saran dariku untuk membuat kedai ini menjadi lebih menarik. Satu hal yang membuatku kesal, dia tidak mau memasang wifi di kedai ini, padahal hal itu akan menarik banyak sekali pelanggan. Sehingga masalah yang satu itu seringkali menjadi sumber perdebatan kami. Dan yah, Kaffa selalu menang dalam hal berdebat.
Persahabatan kami mengalir seperti air. Dan jujur, aku sangat menikmatinya. Kaffa adalah kakak yang selalu ada untukku. Namun aku tidak pernah menganggapnya lebih dari itu. Tanpa kusadari, persahabatan ini sudah mengalir terlalu jauh sehingga Kaffa menganggapku berbeda. Entah sejak kapan, aku jadi jarang datang ke kedai Kaffa. Mungkin sejak Kaffa menyatakan perasaannya padaku di tempat itu. Sehingga setiap melihat atau datang kesana, perasaanku sedikit terganggu dan rasa nyaman yang selama ini terpupuk di hatiku, lenyap begitu saja. Mungkin aku kesal dengan pernyataan Kaffa yang meretakkan persahabatan kami. Atau, mungkin aku sebenarnya hanya takut?
“Mungkin memang ku cinta, mungkin memang ku sesali, pernah tak hiraukan rasamu dulu…”
            Setiap lirik dari lagu itu menyayat hatiku. Ya Tuhan, kenapa kenangan itu kembali disaat seperti ini. Sekarang aku merasa sangat bodoh karena hampir menitikkan air mata di tempat aku memulai semua perasaan ini. Sejak aku menjauhi Kaffa, aku tidak pernah datang ke kedai ini lagi. Pernyataan Kaffa membuatku mundur dari persahabatan ini. Entah kenapa, aku tidak ingin merusak persahabatan kami dengan bumbu ‘cinta’ yang terdengar rapuh.
Selama ini aku bersahabat dengan Kaffa karena aku percaya bahwa persahabatan adalah hubungan paling kuat yang membuat orang yang menjalaninya akan saling menjaga. Tidak seperti hubungan cinta. Bagaimana bisa kau bilang mencintainya ketika disaat yang sama kau menyakitinya? Dan aku tidak menginginkan hubungan seperti itu dengan Kaffa sehingga aku menjauh, Menjauh hingga tidak menyisakan sedikitpun jejak bagi Kaffa. Kukira, dengan menjauh akal sehat Kaffa akan kembali dan suatu saat ia akan pergi mencariku dan berkata bahwa aku benar. Bahwa tidak perlu ada kata ‘cinta’ diantara dua sahabat. Namun ternyata aku salah. Sesaat setelah aku pergi, kudengar Kaffa bertolak dari negeri ini dan tinggal di Swiss bersama neneknya. Saat itu aku berpikir, ia sedang menjernihkan pikiran dan aku mendoakan perjalanannya.
Namun semuanya berubah ketika suatu hari aku datang ke kedai Kaffa Café dan mendapatkan sepucuk surat dibawah kopi pesananku. Surat itulah-surat yang Kaffa buat sebelum dia pergi-yang berhasil memutar balikkan pendirianku dan membuatku tertular kegilaan Kaffa. Ya, surat yang menjelaskan segala kebenaran dari semua hal yang kami lakukan. Surat yang diam-diam selalu kubaca lagi ketika aku sedang merasa sendiri. Surat yang selalu kubawa, kemanapun aku pergi.
Sambil menahan tangis kuambil amplop biru laut itu dari tasku dan membukanya-mencoba untuk meresapi setiap kata yang ada pada kertas itu sekali lagi.
 Nay, sebelum aku memulai cerita ini, aku ingin meminta maaf padamu jika pengakuanku menganggumu. Aku mengatakan itu karena aku merasa sudah terlalu lama menyembunyikan perasaan ini darimu-dan kau berhak tahu tentang perasaanku. Aku tidak pernah memintamu untuk membalas perasaanku. Aku hanya ingin kau mencoba memikirkan lagi hubungan kita ini. Kalau memang kau memilih untuk pergi, aku maklum. Dan tenang saja, aku tidak akan meminta mu memaafkanku lagi setelah ini karena aku tahu lama-lama kau juga bosan jika aku selalu meminta maaf.
Nah, sekarang izinkan aku bercerita. Kau tahu kan Nay, siapa orang yang selalu melindungiku ketika  kecil?Kamu. Selalu kamu.Dulu aku bercita-cita menjadi pengusaha minyak yang sukses, ketika semua orang menertawakanku karena cita-cita itu, kamu mendukungku. Ketika aku bercita-cita untuk mendirikan sebuah bank-yang sebenarnya memang tidak masuk akal, kamu juga  membelaku. Kamu, dimataku adalah peri yang dikirim Tuhan untuk selalu melindungiku. Maka ketika kita tumbuh dewasa, aku merasa, akulah yang harus melindungimu.
Aku tahu, kau suka cappuccino. Kau memang bukan penggila kopi, tapi kopi yang satu itu merupakan teman begadangmu ketika kau mengerjakan tugas. Kau kaget kenapa aku tahu padahal kau tidak pernah menceritakan hal itu padaku? Aku selalu memperhatikan tumpukan sampah di rumahmu ketika kita ada banyak tugas. Dan aku selalu menemukan tempat kopi yang sudah kosong disana. Namun aku juga tahu bahwa kau tidak menyukai kopi sachet yang dijual dan biasa kau minum itu. Terlalu pahit, kan? Sedangkan kau bukan penikmat kopi.
Maka hari itu aku langsung pergi ke salah satu kedai kopi yang terkenal di kota kita dan menanyakan pada baristanya bagaimana caranya membuat cappuccino yang tetap memberi efek “bangun”, namun manis-dan tidak akan membuatmu gendut karena kandungan glukosanya. Hari itu juga, aku mencoba resep yang diberikan barista itu dan mengulangnya beberapa kali hingga aku mendapatkan takaran ‘manis’ yang kamu suka. Dan setelah itu, aku tidak tahu kamu sadar atau tidak, aku mengganti isi toples kopi-kopimu dengan kopi-kopi buatanku. Dan kulakukan hal itu hampir setiap kamu membeli kopi baru-hingga kamu mengira bahwa kopi yang kamu beli sudah berbeda rasanya.
Dan sebenarnya yang mau kuceritakan disini hanya satu. Bahwa sejak hari itu, aku menemukan diriku yang bebas ketika meracik secangkir kopi. Dan kepuasan sendiri bagiku ketika orang yang kubuatkan kopi tersenyum setelah menimun kopiku. Maka dari itu, aku memilih untuk membuat kedai kopi. Dan sesungguhnya aku ingin berterimakasih padamu karena kamu lagi-lagi menjadi peri yang memberi inspirasi untuk berbisnis bagiku.
Nah, sampai disini sepertinya kamu sudah merasa lucu karena aku yang katanya ingin melindungimu malah lagi-lagi merasa kamu adalah hadiah dari Tuhan untukku. Makin tidak masuk akal bukan? Kuharap aku juga berpikir seperti itu. Namun apa daya, aku malah menikmati setiap keberadaanmu dan berharap kau selalu ada seperti itu di hidupku. Nah sesungguhnya karena inilah aku merasa berdosa jika terus mengasumsikan keberadaanmu sesuka hatiku, makanya aku mengatakan padamu bahwa kenyamanan yang kau beri padaku sudah melewati batas persahabatan, bahkan sejak kita TK dulu, namun mungkin kau tak pernah sadar. Atau mungkin aku yang terlalu salah dalam mengartikan setiap perhatianmu padaku. Apapun itu, yang jelas dengan kepergianmu, aku mengerti. Bahwa ternyata aku yang terlalu berharap padamu sehingga kau merasa risih terhadapku. Yah, biarlah kau pergi, yang jelas Kaffa Café yang sekarang ada di hadapanmu ini merupakan bukti keseriusanku bahwa aku pernah mencintaimu. –Kaffa
“Aku hanya ingkari, kata hatiku saja, tapi mengapa cinta datang terlambat.”
            Alunan lagu Maudy Ayunda turut menggambarkan perasaanku. Ya, aku memang pergi, seolah menolak Kaffa. Namun hari itu, ketika aku membaca surat ini, aku menangis. Aku tidak pernah tahu bahwa Kaffa melihatku seperti itu. Mungkin memang aku yang tidak peka, bahkan aku yang terlalu bodoh ini tidak sadar bahwa cappuccino yang biasa kuminum adalah kopi buatan Kaffa. Sesampainya dirumah, aku membeli kopi yang biasa kubeli itu dan mencobanya, dan ternyata rasanya memang berbeda. 
Kenyataan demi kenyataan yang aku sadari membuatku semakin merasa bodoh karena telah berpura-pura tidak merasakan apapun pada Kaffa. Padahal sejak TK, tidak ada laki-laki lain yang dengan begitu berani menjadikan dirinya tameng untukku. Dia selalu melindungiku, dan membuat dirinya selalu tersakiti, meskipun saat itu seharusnya aku yang tersakiti. Seperti saat aku pergi.
Sayang, ketika aku meyadari apa yang kurasakan untuk Kaffa, dia sudah menghilang. Entah kemana, entah mengapa. Aku tidak pernah tahu alasan sesungguhnya Kaffa bertolak ke Swiss. Dan-oh sedikit info saja-kafe ini terus berjalan selama Kaffa-sepertinya-tidak disini. Dan aku berasumsi bahwa keberadaan kedai ini mewakili keberadaan Kaffa. Bodoh, bukan? Dan kau tahu? Sepertinya aku terkena karma karena selama empat tahun sejak kami tidak pernah bertemu, aku tidak bisa melupakannya.
Yes, Kaffa. Sepertinya slogan yang kamu pilih benar-benar cocok untuk kedaimu ini. Hingga rasanya hatiku sakit setiap membaca slogan ini di papan depan kafemu. Karena slogan itu menyindirku dan mengingatkanku padamu. You got me, Kaffa, you always get me since the first time you show that quotes to me. I never forget the feeling I get here, for you Kaffa. Empat tahun sudah terlalu lama, Kaffa… aku merindukanmu… Setetes cairan bening akhirnya jatuh dari mataku. Membasahi kertas biru laut yang sudah kusam, tepat diatas namamu. Sehingga nama itu tidak jelas lagi dan menjadi kabur.
Kupalingkan wajahku dari kertas biru itu dan kusimpan kertas itu ke dalam tasku. Aku tidak boleh terus memandangnya, aku takut membasahi semua tulisan disana sehingga aku tidak bisa membaca surat darimu lagi.
            Saat itu, siluet seorang pria berkemeja memasuki kedai. Beberapa pelayan tersenyum padanya dan ia membalasnya dengan senyum dan anggukan. Postur tubuh itu… mata itu… senyum itu… Kaffa. Aku berhenti bernafas. Mana mungkin ia muncul tiba-tiba ketika aku sedang memikirkannya. Ah, rupanya aku sekarang jago berhalusinasi. Naya, bangunlah. Tidak mungkin Kaffa mendengar kau memanggilnya. Teori gila darimana lagi itu?
Aku mencubit tanganku, sakit. Aku menghembuskan napas lega. Berarti itu memang Kaffa. Berarti aku memang gila karena sepertinya mempercayai teori gila yang baru saja kubuat. Aku bersiap untuk menemuinya ketika kulihat seseorang keluar dari arah dapur dan memeluk Kaffa hangat. Perempuan itu tersenyum pada Kaffa dan Kaffa mengelus puncak kepalanya lembut. Aku nanar.
“Mungkin memang ku cinta, mungkin memang ku sesali, pernah tak hiraukan rasamu dulu… Aku hanya ingkari, kata hatiku saja, tapi mengapa kini… cinta datang terlambat.”
Aku terdiam di tempat dengan pandangan kosong. Kepalaku sudah dipenuhi dengan penyesalan dan kesedihan. Mungkin aku harus membakar surat Kaffa setelah ini. Yah, aku tidak boleh menginginkan milik orang lain, kan? Dan sekarang, setelah ia melepas pelukannya, laki-laki itu memandangku dari seberang ruangan. Entah bagaimana ia bisa menemukanku diantara sesaknya orang disini. Mata kami bertemu ketika setetes cairan bening lagi-lagi keluar dari mataku. Hatiku pilu. Aku sibuk berspekulasi tanpa menyadari bahwa perempuan tadi sebenarnya adik Kaffa.

No comments: