Sunday, August 7, 2016

Aku dan Kamu

Mata hazel itu lagi-lagi membiusku. Wajahnya yang rileks dan kecoklatan membuat hatiku berdesir. Bibirnya mengulaskan senyum yang cukup menawan. Perlahan ujung-ujung bibirku ikut mengangkat. Dalam diam kunikmati pemandangan ini dari jauh.
                “OI!” Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dan mendorong badanku keras. Orang yang tak perlu kutanyakan lagi siapa. Refleks, aku langsung berdiri dan memukulnya balik. Ia menghindar dan seperti biasa aku akan berlari untuk membalasnya.
“Dasar pendek, lari aja payah.” ledeknya beberapa meter dari jangkauanku. Aku mendengus kesal dan bersiap melempar barang terdekat dariku. Ketika kuangkat tempat pensil yang kupegangi, bukannya takut, ia malah semakin semangat mengerjaiku. Ia menjulurkan lidahnya padaku. Aku berhenti mengerjarnya. Aku baru tersadar sesuatu. Orang yang semenjak tadi kuperhatikan sepertinya merasa terganggu dengan kegiatanku dan Rama sehingga ia sudah hilang dari pandanganku. Aku menunduk, menyesal.
Rama terbahak melihat ekspresiku. Ia berjalan mendekatiku, mengelus puncak kepalaku dan berujar, “Pendek.” Bukannya membalas, aku memilih untuk menginjak kakinya lalu berdecak kesal. Dia yang membuat’nya’ pergi. Rama mulai menjahiliku lagi, tapi aku hanya terdiam.
“Kenapa deh?” tanyanya ketika sadar aku tidak tertarik sama sekali untuk membalasnya.
Aku menghembuskan napas kesal. Sambil menunjukkan telunjukku pada Rama, aku mengerang, “Kamu, sih. Bikin bete aja, dianya pergi kan.”
Sedetik kemudian aku menyesal karena kulihat mata Rama melebar jahil, “Ciee.. siapa tuh? Cerita dong! Cie.. cie…” Kusambar buku di sebelahku dan kututup telingaku oleh buku itu ketika Rama dengan hebohnya meledekku di depan anak-anak sekelas. Tiba-tiba Rama berhenti meledekku. Dari bawah kulihat sepatunya menjauh.
“Woi! Tungguin gue dong!” teriak Rama beberapa saat kemudian.
“Ahmad!” Deg… Tiba-tiba saja aku bisa mendengar detakan jantungku. Rama sukses membuat hatiku melonjak-lonjak tak karuan. Bukan dengan sikapnya, tapi nama orang yang ia panggillah yang mampu membuat hatiku berdentuman lebih cepat. Ahmad…
--
“Fi, kamu serius gamau kenalan sama dia?” tanya Dya, sahabatku, ketika ia memergokiku sedang memerhatikan Ahmad. Aku tersenyum hambar.
Ahmad. Sebenarnya, aku tidak kenal dengannya. Tidak pernah berkenalan maksudnya. Aku memang mengenalnya. Bahkan mulai mengaguminya. Tapi aku yakin 100% bahwa ia tidak mengenalku. Ia bagaikan udara untukku, ada, tapi tidak bisa kusentuh. Aku tersenyum sendiri. Ia bahkan bukan hanya udara. Ia juga planet bagiku. Benda merah nan jauh disana yang selalu kukagumi. Mars-ku.
“Aw!” Dengan terpaksa, aku menarik diriku dari pesona Ahmad karena Dya mencubitku. “Ngga Dya, ngapain lagian. Males ah.” jawabku asal.
“Aku sekelas loh sama dia. Apa mau kukenalin kalian? Kamu tuh ya jangan bisanya cuma liatin dia dari jauh doang. Kenallah minimal.” ujar Dya prihatin. Aku tersenyum mendengarnya.
“Gausah, Dya. Biarinin aku tetep jadi bayangan buat dia. Gak keliatan.” jawabku tegas. Dya hanya menghembuskan napasnya sambil menepuk pundakku halus, berusaha memahami apa maksudku.
--
“Hei, ajarin aku yang ini dong! Heeeei! Heeeii!” teriak Rama tepat di depan wajahku. Ia sengaja membawa kursinya ke depanku agar kami bisa menghafal bersama. Meskipun kami sering bertengkar, kami juga cukup sering bersinergi dalam menghafal bersama. Terutama menghafal geografi. Rama suka pelajaran itu dan kebetulan aku juga menyukainya. Biasanya kami akan saling menjelaskan satu sama lain sesuai dengan kisi-kisi soal. Jika Rama menjelaskan nomor satu, aku akan menjelaskan nomor dua dan seterusnya.
“Hei, jangan bengong mulu napa. Bentar lagi udah mau ujian juga.” ujar Rama ketika melihatku tidak juga bereaksi. Aku mengambil napas panjang lalu menatap Rama.
“Siapa juga sih yang bengong mulu. Ngasal deh kalo ngomong, kebiasaan.” jawabku nyolot dengan nada bicara mirip dengannya. Saking seringnya berinteraksi dengan Rama, lama-lama cara bicaraku mirip dengannya. Rama pun sepertinya sudah terbiasa dengan hal itu. “Mana?” tanyaku kasar. Dia berdecak kesal dan menunjuk salah satu kisi-kisi. Akhirnya aku mulai menjelaskan.
--
“Katanya Ahmad belum pernah pacaran loh. Dari dulu cewe-cewe aja suka sama dia tapi dianya cuek gitu aja. Tapi gosipnya, sekarang dia lagi suka sama orang.” bisik Iren padaku ketika kami sedang berjalan menuju kantin. “Siapa?” tanyaku penasaran. Iren terdiam sebentar, membuat hatiku tiba-tiba berdetak tak beraturan. Beberapa saat kemudian Iren berbisik pelan, “Silvi, anak kelas kita.” Aku terdiam di tempat. Menahan tangis.
--
“Kok akhir-akhir ini sedih sih kayanya?” tanya Rama yang mengikutiku duduk di belakang papan tulis dorong kelas. Membuat teman sekelasku bertanya-tanya siapa yang duduk disana karena hanya kaki kami saja yang terlihat.
Aku hanya menggeleng pelan pada Rama. Lalu mulai menyibukkan diri dengan melihat-lihat isi foto kamera Oca yang tadi kupinjam. Tanganku bergetar. Rama melihatnya dan langsung merebut kamera Oca dari tanganku. “Liat barengan dong.” ujarnya sambil mengutak-atik kameranya. Aku menatap Rama yang sedang sibuk dengan kamera Oca sekilas. Aku menghembuskan napas lega. Sepertinya aku punya dinding kokoh untuk bersandar kali ini. Aku tersenyum berterimakasih.
“Kok malah senyum?” tanya Rama yang memergokiku sedang memerhatikannya. Aku menggeleng dan menjawab dengan asal, “Haus.” berharap Rama tidak menemukan tanda apapun di wajahku.
Tiba-tiba Rama langsung beranjak dan membawakan minumnya untukku, “Nih, minum. Daripada mati kehausan.” Disodorkannya aqua gelas miliknya padaku. Aku menurutinya dengan meminum air itu lalu terdiam. Kukira, Rama akan berceloteh atau menceramahiku tentang pentingnya minum atau apapun itu. Tapi nyatanya, Rama hanya terdiam. Rama menatapku heran, tapi matanya menyiratkan bahwa ia mengerti. Seakan-akan dia mencoba untuk mendengarkan keluh kesahku dalam diam. Aku lega ketika beberapa lama kemudian Rama tidak juga berbicara. Hanya menemaniku.
Akupun menerawang jauh, mencoba untuk meluruskan benang kusut yang ada di dalam hatiku. Tiba-tiba aku menyadari sesuatu, aku menatap Rama dan tersenyum padanya. Secara tidak langsung, ia membantuku untuk keluar dari rasa sakit hatiku. Ia membantuku untuk melupakan Ahmad. Aku memantapkan hatiku dan berbisik pelan, “Selamat tinggal, Mars.”
--
Waktu berjalan cepat, sekarang aku sudah kelas sebelas. Perasaanku terhadap Ahmad yang kalah sebelum berperang perlahan mulai kulupakan. Bahkan ketika kenyataan mengatakan bahwa diantara Ahmad dan Silvi tidak ada apa-apa. Kubiarkan perasaan itu membeku di sudut hatiku, kuasingkan. Agar ketika suatu saat perasaan itu mencair, perasaan itu sudah berubah menjadi sesuatu yang lain.
Rama banyak membantuku melewati hari-hari menyedihkanku. Ia selalu mengalihkan fikiranku ketika aku sedang memikirkan Ahmad. Dengan mengerjaiku, misalnya. Atau bahkan dengan meminjamiku jaketnya ketika hujan turun saat aku akan pulang sekolah. Dengan kata lain, dengan perhatiannya.
Setelah setahun mengenalnya, aku baru menyadari bahwa selama ini ia banyak memberikan perhatiannya untukku. Membuatku sadar bahwa aku masih dianggap. Membuatku merasa nyaman saat berada di dekatnya.
Aku berterimakasih padanya karena hal itu. Karenanya, aku merasa ada. Aku senang dengan kenyataan bahwa sekarang aku bukan bayangan lagi. Aku sudah terlihat. Dan kenyataan bahwa Rama mengakui keberadaankulah yang membuatku merasa lebih hidup.
--
Kulemparkan ponselku ke kasur. Aku kesal, sudah beberapa menit ponsel itu tidak bergetar. Padahal biasanya ponsel itu akan terus bergetar setiap menitnya. Huh, dasar cowo. Ada, kalo ada maunya aja. Aku turun dari kasur dan bermaksud untuk meninggalkan ponselku di kamar. Tapi niat tinggallah niat. Ketika kudengar suara getar ponsel, aku langsung meloncat keatas kasur dan membuka isi pesannya dengan cepat.
Maaf baru bales, tadi habis jenguk nenek. Kamu lagi apa?
Aku senyum-senyum sendiri membacanya. Terutama ketika kubaca pengirimnya, Rama. Aku tidak tahu lagi harus berekspresi bagaimana setiap Rama mengirimiku pesan. Aku terlalu senang karena dia nyata.
Awalnya aku dan Rama melanjutkan kegiatan bertengkar kami di twitter. Tapi karena banyak anak-anak yang memprotes karena keisengan kami di timeline, akhirnya Rama meminta nomor ponselku. Sebenarnya aku heran. Aku dan Rama tidak pernah saling mengontak satu sama lain sewaktu kelas sepuluh dulu. Tapi sekarang tiba-tiba kami sering sms-an. Bahkan Rama menelpon. Anehnya, jika di sekolah bertegur sapapun kami tidak pernah. Padahal sewaktu kelas sepuluh kami tidak bisa dipisahkan.
Sekarang aku selalu berharap bisa menghilang setiap Rama melihatku. Ditelan bumi sekalipun rasanya tidak apa-apa. Aku merasa malu bertemu dengannya karena semua obrolan kami sewaktu liburan. Terlebih lagi dengan panggilan yang kami gunakan selama liburan. Mbingu dan Mbeu, yang awalnya plesetan julukan dari kambing dan embe. Bodohnya, hatiku berbunga-bunga disetiap Rama memanggilku ‘mbingu’. Terdengar seperti ‘mbingku’ bagiku.
Sekarang, semuanya terasa berkebalikan. Sekarang, ketika Ahmad memanggil nama Rama-lah dadaku berdentuman lebih keras. Wajahku memanas dan aku akan langsung lari ketika aku berpapasan dengan Rama. Ingin rasanya aku menyapanya, tapi aku tidak berani. Aku dan Rama seperti bermain hide and seek berpura-pura saling tidak melihat. Saling mencari sesuatu hal yang sebenarnya ada di depan mata. Kami benar-benar seperti dua orang asing. Padahal sebenarnya aku rindu padanya. Sangat-sangat rindu.
--
“Aku suka sama kamu.” ujarnya ketika matahari senja perlahan menghilang di perpustakaan sekolah. Tangannya menunjuk dirinya, menunjuk kata ‘suka’ yang ia tuliskan ditangannya, dan menunjukku bergantian. Matanya yang tertancap tepat dimataku memancarkan pandangan yang membuat perutku bergolak tak tenang. Aku tak pernah melihat mata itu dimanapun sebelumnya. Matanya membuatku membeku.
“Jawab dong, aku gapernah ngungkapin gini nih sebelumnya.” rajuknya lucu. Perlahan, aku mulai tersenyum dan tanpa kusangka-sangka, ia balas tersenyum padaku. Ya Tuhan, senyum itu. Senyum yang selalu bisa membuatku tersihir. Lidahku bahkan rasanya kelu, bibirku beku.
Rama mengangkat wajahnya dan menatapku intens, membuatku merasa seperti barang yang akan hilang jika sekejap saja ia mengalihkan pandangan. Ya Tuhan, apa artinya ini? Kenapa aku merasa begitu ringan? Apakah ini artinya aku jatuh cinta padanya?
                Selama ini Rama memang menjadi pahlawanku. Ia selalu ada didekatku ketika aku membutuhkan sandaran. Ia tersenyum ketika aku berhasil. Ia menjagaku ketika aku ketakutan. Ia menghargaiku, melihatku, membantuku, menyayangiku. Ia memerlakukanku dengan sangat sopan dan hati-hati seolah-olah aku ini barang pecah. Ia bahkan menyukaiku. Meskipun semua itu ia lakukan diam-diam di belakangku. Ya Tuhan, kenapa aku baru menyadari semua ini?
                Ahmad mungkin udara bagiku. Tapi Rama, ia adalah oksigen yang kubutuhkan. Dia ada, dan nyata. Dia adalah oksigen yang selalu mengisi hari-hariku. Tanpanya, aku mati. Dan jika Ahmad adalah sebuah planet untukku, maka Rama adalah bintangnya. Bintang yang dengan setia selalu menerangi sisi gelapku. Perlahan aku mulai sadar. Rama bukanlah angin seperti Ahmad. Meskipun ia memiliki pilihan untuk pergi, ia tetap berada disisiku selama ini. Yang membuatku sulit bernapas adalah kenyataan bahwa ia memilihku.
Kurasakan pipiku mulai memanas karena begitu lama Rama pandangi. Dengan cepat, kualihkan pandanganku. Rama terlihat bingung. Aku mengambil napas panjang dan tersenyum jahil padanya. Rama terlihat frustasi. Kuambil langkah menjauh darinya, ia berdecak sebal di belakangku sambil pelan-pelan mengikutiku. Aku tersenyum bahagia.
                Aku menyadari sesuatu. Rama bukanlah orang yang kebetulan membantuku untuk melupakan Ahmad. Ia memang orang yang dikirimkan padaku untuk melupakan Ahmad. Tuhan tahu segala hal lebih baik dari padaku. Ketika seekor kumbang menolak untuk datang kepadaku, Ia mengirimiku kumbang yang lain. Yang dengan senang hati mendekat dan memilihku. Aku sungguh tidak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Rama membuatku merasa spesial. Merasa hidup. Merasa dibutuhkan. Aku berbalik, tersenyum. Alunan lagu tangga yang kusukai tiba-tiba memenuhi benakku.
“Betapa sempurna dirimu di mata hatiku
Tak pernah kurasakan damai sedamai bersamamu
Tak ada yg bisa yg mungkin kan mengganti tempatmu”
Ya, aku juga menyukaimu, Rama. Amat sangat menyukaimu. Semoga aku dan kamu akan selalu seperti ini selamanya.
“Kau membuat ku merasa hebat
Karena ketulusan cintamu
Ku merasa teristimewa hanya
Hanya karena, karena cinta
Kau beri padaku sepenuhnya
Buatku selalu merasa berarti”

Tangga-Hebat

No comments: