Friday, March 20, 2015

LDR (Love in Different Religion)

      “Siapa namanya?” tanyaku sambil bersiap menuliskan namanya dideretan penampil.
“Andre.”jawabnya seraya tersenyum. Aku terpaku.
     “La, hei!!” panggil Riri keras sambil memukul kepalaku. Aku sedikit oleng lalu menatap mata Riri ganas. “Apasih?” jawabku.
     “Kenapa putus?” tanyanya to the point. Ah… ya tadi aku sedang bercerita bahwa aku sudah putus dengan pacarku.
     Aku memutar bola mataku sebagai jawaban bagi Riri. “Bosen Ri ceritainnya lagi, kan kemaren udah lewat line.”
     “Lewat line itu bukan cerita… ngga ada feelnya sama sekali. Cerita ulang!” bawelnya. Ck… dasar Riri, selalu minta cerita ulang, ngga pernah deh dia anggep orang curhat kalo lewat line. Riri mulai menghujaniku dengan ribuan alasan kenapa dia ingin mendengar ceritaku secara langsung. Selama itu pula, aku tidak mendengarkannya. Semua yang dia bicarakan pasti seputar pentingnya interaksi langsung, rasa simpati dan hal lainnya yang sudah biasa kudengar. Selagi Riri sibuk menjelaskan alasannya, aku sibuk senyum-senyum sendiri. Hanya karena potongan kejadian yang dapat membuat hatiku bergetar.
--
     “Loh jadi kalian sekosan?” tanyaku bingung dengan cerita ketiga pria di depanku yang saling sambung menyambung.
     “Loh, iya La, kami sekosan, kamu ngga tau?” jawab orang yang berdiri tepat disebelah kananku.
     “Yaiyalah ngga tau, ngapain coba dia kepoin kamu, kurang kerjaan amat ya La?” timpal pria lain yang berdiri selangkah didepanku. Aku hanya tertawa menanggapi pertanyaannya.
     “Kamu kali itumah, Wan. Kalo aku, kamu pasti seneng kepoin,ya kan?” Tanya orang disebelah kananku. Mataku membesar tidak setuju, “Pedeeeeee.” jawabku sambil memukul bahunya keras. Dia hanya tertawa. Tawa menular yang membuatku otomatis ikut tertawa dengannya.
     “Eh, udahlah kalian jangan kepedean semua gitu. Mending kita main kembang api aja, mana tadi kembang apinya?” Tanya Titan, pria satunya. Tiba-tiba semuanya terdiam.
     “AH IYA! Ketinggalan di bawah.” Spontan semua melihat kearah suara dan berteriak, “DREEEEEE!!" Yang diteriaki berbalik dan langsung berlari kearah berlawanan. Irwan dan Titan mengikuti Andre berlari dari belakang dengan semangat. Seolah-olah mereka adalah polisi yang akan menangkap tersangkanya. Selagi mereka berlari, aku hanya bisa tertawa memerhatikan kelucuan ketiga orang itu. Trio yang akhir-akhir ini selalu ada di dekatku dan menghiburku. Dan kebetulan-hanya kebetulan saja kukira-salah satunya adalah tipeku. Tawanya, senyumnya, humornya, hampir semuanya. Orang dengan mata sipit dan senyum manis yang bisa membuatku lupa akan dunia.
--
     “La, ceritain dong tentang doi.” pinta Tia. Aku hanya senyum-senyum sendiri mendengarnya. Bayanganku kembali pada kenangan beberapa malam yang lalu, ketika aku menjadi panitia acara, ketika rapat, ketika aku melihat senyumnya, semuanya.
     Aku sungguh menikmati semua potongan kejadian itu, especially karena dia selalu ada di setiap bayangan yang terlintas di benakku. Dia menarik, dan lucu. Aku senang karena dia selalu ikut tertawa ketika aku tertawa, berjalan ketika aku berjalan, ikut pulang ketika aku pulang. Dia bahkan selalu menanggapiku dengan senyum yang lebar. Ah ya….. dan humornya yang bisa membuatku melupakan masalahku saat itu. Ya, dia. Doi yang Tia tanyakan. Orang yang ‘sepertinya’ sudah menyelamatkanku dari sakit hati pasca putus.
      “Jadi…” bisikku pada Tia.
     “Apa? Apa?” Tanya Tia antusias, Sita datang dan langsung heboh berebut mendengarkan dengan Tia. “Siapa La? Siapa?” Tanya Sita merusuh.
     “Yaaaah Si, kamu mah tau orangnya.” ujarku hampir tidak jadi bercerita. Spontan mata Sita membesar, antusiasnya naik hingga dia bahkan pindah untuk duduk disebelahku. Kedua sahabatku itu terus memohon agar aku menceritakan orang yang berhasil membuatku tersenyum kembali. Akhirnya akupun mengerling pada mereka dan mereka berteriak bahagia. “Jadi……….”
--
     Aku yakin aku tidak memendamnya. Apapun itu namanya, aku mengakui bahwa aku merasakannya. Senyum yang tiba-tiba mengembang ketika dia datang. Kupu-kupu yang beterbangan ketika dia tersenyum. Bahkan terkadang aku menghitung mundur ketika dia beberapa langkah lagi sampai di dekatku. Bodoh? Ya. Tapi entah mengapa aku tidak merasa bodoh saat melakukannya. Entah ini perasaan apa, aku sama sekali tidak mengetahuinya. Yang kutahu, aku nyaman berada di dekatnya. Yang kutahu, mungkin aku jatuh cinta padanya.
      “Hei, La! Ngapain?” Tanya Andre dari jauh seraya mendekatiku.
   “Bengong ajanih dre, gatau mau ngapain.” jawabku sekenanya. Andre tertawa lalu duduk disebelahku. Kamipun larut dalam obrolan-apapun-itu yang biasa kami lakukan setiap kami bertemu. Aku bercerita apa saja, dan diapun begitu. Hingga pada satu titik aku menyadari sesuatu, “Dre, kamu belum dapet jaketnya ya?”
     Andre melihat dirinya sendiri, lalu melihatku dengan iri. “Iyanih, aku belom dapet. Ngga ada yang bisa dipinjem lagi soalnya.” jawabnya lesu. Kami baru saja dilantik. Adatnya, jika dilantik maka kami harus meminjam jaket dari kating,sebagai bukti bahwa kami sudah dilantik. 
   “Mau coba?” tawarku. Matanya yang sayu langsung melebar dan senyumnya mengembang, Dengan cepat dia mengambil jaket yangada pada tanganku. Aku tersenyum melihatnya. Andre memakainya. Dia terlihat nyaman menggunakan jaketku. Aku membiarkannya menikmati perasaan pertamanya menggunakan jaket sakral kami. Selagi dia ‘menikmati’ waktunya, aku mengobrol dengan Sita. Sita mengerling padaku saat sadar aku meminjamkan jaket pada Andre. Aku hanya mengangkat bahu, seolah berkata itu tidak masalah.
     Tiba-tiba sesuatu jatuh dikepalaku, menutupi sebagian wajahku. Seseorang yang meletakannya dari belakang diam-diam mengelus kepalaku. Sita tiba-tiba heboh didepanku dengan mulut tertutup dan mata yang melotot. Aku meleleh ketika sadar apa yang ada diatas kepalaku. Jaketku. Jaket yang kupinjamkan pada Andre. “Makasih ya La.” ujarnya. Aku tidak bisa merespon apa-apa kecuali mengangkat kedua jempolku keatas. Rasanya sesuatu telah merenggut suaraku.
     Aku terdiam di tempat beberapa saat ketika Sita mulai membuka suaranya dan mengguncang-guncangkan aku, “La….. La…..” bisiknya padaku. Aku yang masih terkejut dengan kejadian barusan hanya bisa mengangguk dengan mata bingung pada Sita. Perutku bergolak dan sesuatu menari-nari di depanku. Sita yang sadar akan ketidakwarasanku langsung menarikku ke kamar.
     Dikamar, Sita menepuk pipiku dan menanyakan kesadaranku. Aku yang sepertinya baru saja sadar akan apa yang terjadi, langsung meloncat gembira. Aku berteriak-teriak seperti orang gila. Ya Tuhan, apa yang barusan terjadi padaku? Rasanya perutku semakin geli dan senyumku tidak dapat berhenti mengembang.
--
     Aku menyukainya. Ya benar. Senyumnya yang manis dan pembawaannya yang hangat selalu kurindukan. Ia bagaikan mentari yang datang setelah kelamnya malam. Angin yang berhembus ditengah panjangnya gurun. Aku bersyukur betapa aku dipertemukan dengannya tepat setelah aku putus. Dia yang menjauhkanku dari hal tidak berguna yang mungkin saja melandaku.
     Seketika aku terdiam. Tidak bisa. Aku harus berhenti dengan perasaan ini. Dia memang baik. Mungkin terlalu baik bagi jiwaku yang rapuh dan sedang kosong ini. Kebaikan kecil yang dia lakukan saja bisa membuatku terbang entah ke langit ketujuh. Tapi aku tidak boleh seperti ini. Terkadang seseorang dipertemukan dengan orang lain, hanya sekedar untuk saling bertemu saja, bukan bersatu. Aku tidak boleh memupuk perasaan ini lebih dalam lagi.
     Aku membuka daftar nama line dan mencari namanya. Andreas. The fact is: he isn't in the same religion with me. And he is from Sumatra. Sebenarnya, aku meragukan ini. Masa orang yang ‘katanya’ memiliki kepribadian keras bisa jadi sangat hangat dan semenyenangkan itu? Aku tersenyum kecil, tuhkan aku mulai membelanya lagi. Aku tahu aku tidak boleh melanjutkan perasaan ini ketingkat yang lebih tinggi. Tapi untuk ‘sekedar’ teman, menyukai itu boleh saja kan?
     Wahai hati, bisakah kau sedikit lebih dewasa menghadapi perasaan ini? Mungkin kini Allah sedang menguji ketaqwaanmu. Jadi, jangan sampai kalah. Tetaplah berpegang teguh pada kepercayaan dan Nabimu. Dia hanyalah angin, anggap saja begitu. Meskipun mungkin rasanya sakit, percayalah bahwa itu bukan yang tersakit. Jadi bertahanlah. Suatu saat nanti, kau pasti akan bertemu dengan hati lainnya, dimana selama ini pemiliknya selalu memasukkan namamu dalam doanya.
     Ya Allah, terimakasih karena telah Kau tunjukkan padaku ciptaanMu yang sesuai dengan keinginanku, yang dengan mudahnya memasuki hatiku, dan menuliskan namanya di dasar hatiku. Dan aku juga berterimakasih karena telah Kau tunjukkan kenyataannya. Bahwa aku tak mungkin memilikinya. Cukuplah bagiku mengetahui bahwa ada orang seperti dia di bumi ini, menghirup oksigen yang sama denganku dan melihat bintang yang sama denganku. Yah, cukup bagiku.