Tuesday, October 16, 2018

Fairy Tale

Sad? OF COURSE!
But what can I do? Nothing.

It was all wasted. I don't have anything.

He should know that he is an important person for me. And I did everything for him. I want to be beautiful for him, I paid so much for that. I want to be her princess and make him proud, I buy everything for that.

But then, it happened. And he didn't understand.

Yes, it was not his fault. But at least he's trying, did he?

What in the fairytale, would always remain there. I'll never be a princess. I must be know that. Why did I think something else.

Dissapointed? Should I said no?

Hm. Just poker face. I couldn't feel anything.

Whatever happens, happen.

Hm.
I don't know what is happy anymore.


Why did I write this tho, he will never ever read this.

Sunday, August 7, 2016

Prolog-Light in Helsinki

Salju turun tanpa henti dari langit mendung kota ini. Gadis itu lagi-lagi memilih duduk di pojokan perpustakaan. Membuka buku usang sambil menikmati pemandangan kota melalui kaca besar di depannya.
Masih sama.
Suasana dan pemandangan yang ia lihat di depannya masih sama seperti tahun lalu. Saat ia bisa dengan bebas mengekspresikan dirinya di depan orang itu. Saat-saat ketika ia menikmati harinya beserta senyum orang di sekitarnya. Saat-saat ia merasakan kebahagiaan sesungguhnya.
Orang bilang kehidupan berputar. Kadang di atas dan kadang di bawah. Ketika kau sudah terlalu lama berada di bawah, momen ketika kau berada di atas sangatlah berarti-walau hanya sekejap saja. Sesungguhnya ia lebih merindukan orang yang menemaninya selama momen itu dibanding momen itu sendiri. Karena orang itulah tercipta momen yang membuatnya merasa berada diatas angin. Namun sayang, orang itu pergi terlalu cepat.
Ia tahu orang itu pergi karena ingin memperbaiki segalanya. Namun entah mengapa, ia merasa semua yang pernah mereka jalani bersama sungguh fana. Dan janji yang pernah orang itu ucapkan bagai buih di dermaga.

Yang bisa hilang kapan saja. 

Us

“Ya, aku suka sama kamu, Ka. Aku sayang sama kamu, apa itu salah?” ucapku tak terkendali. Alka membeku di depanku. Dia mendekat ke arahku, memegang bahuku dengan penuh tenaga lalu mengguncang-guncang pundakku seraya berkata, “Kamu bohong,kan? Jangan bercanda Lid, ga lucu tau!”
                Bulu kudukku meremang mendengar teriakannya tepat di depan wajahku. Bahuku rasanya sudah mati rasa karena cengkraman Alka yang keras. Alka tetap menatap wajaku ketika aku mengaduh kesakitan. Ia bahkan tidak mengurangi cengkramannya sedikitpun.
                Tapi cengkraman itu rasanya biasa saja bila dibandingkan dengan tatapan Alka yang menyala-nyala. Entah kenapa matanya itu sungguh menyakitiku. Kenapa? Kenapa ketika aku menyatakan perasaanku, Alka marah? Apa yang salah jika aku jatuh hati padanya? Apa itu artinya bahwa ia sama sekali menyukaiku? Bahkan membenciku?
                “Lihat mataku, Lidia! Bicaralah bahwa kamu tidak menyukaiku. Kamu tidak boleh menyukaiku, Lidia!” bentaknya. Aku menunduk semakin dalam. Matanya yang tajam seakan menyayat-nyayat hatiku, sakit. Alka mengguncang-guncangkan diriku agar wajahku naik tapi aku tetap menunduk. Alka frustasi lalu melepaskan cengkramannya. Seketika rasa kehilangan memenuhi tubuhku. Aku takut Alka pergi.
                “Kenapa sih kamu gabisa bilang kalo ga suka sama aku?” tanyanya tiba-tiba masih dengan nada yang menusuk. Air mataku mulai berdesakkan untuk keluar. Karena kenyataannya aku suka kamu, Alka. Aku jatuh cinta sama kamu.
                “Kalo kamu gabilang kamu gasuka sama aku, itu bakal jadi bencana Lid. Ayo bilang kamu gasuka aku!” bisik Alka dari belakangku. Aku sudah tidak bisa lagi menahan air mataku. Alka menolakku. Aku benar-benar ditolak dengan cara yan kasar. Ia bahkan sepertinya membenci ide aku menyukainya. Oh, Alka... seburuk itukah aku dimatamu? Tapi, kenapa?
                “Maaf Alka...” desisku. Alka yang berada di belakangku diam menunggu. “Maaf karena aku menyukaimu bahkan terlanjur jatuh cinta padamu.” Bisikku pelan. Alka masih terdiam. “Maaf, aku tidak bisa bilang jika aku tidak menyukaimu. Karena aku sungguh-sungguh jatuh cinta padamu. Salahkan saja aku karena telah lancang mencintaimu. Aku sadar bahwa aku memang tidak pantas untukmu. Tapi bagaimanapun itu aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri.” Air mataku tiba-tiba mengalir deras dan kakiku gemetar.
“Maaf jika aku menjadi bencana untukmu.” Akupun lumpuh dan terjatuh kebawah tapi sebelum lututku sempat menyentuh lantai, Alka menangkapku dari belakang. Ia memelukku.
“Alka?” panggilku. Alka tidak menjawab. Ia tetap memelukku. “Alka, kamu gausah ngasihanin aku kaya gini. Ka?” ujarku. Tiba-tiba Alka membalik badanku dan memelukku erat. Air mataku terhenti. Ada apalagi dengan Alka?
“Maaf Lidia, aku sungguh minta maaf.” ujarnya. Aku menengadahkan kepalaku dan menatap matanya. “Maaf untuk?” tanyaku.
“Karena telah memaksamu untuk berbohong.” ujarnya. Mataku berkedip mendengarnya. Belati lagi-lagi menusuk dadaku. “Dan karena telah berbohong padamu tentang perasaanku.” tambahnya. Aku berkedip berkali-kali tak percaya. Apa itu maksudnya?
Alka merengkuhku lebih dalam di pelukannya lalu mengecup keningku. “I’m madly truly crazy in love with you, Lidia.” ujarnya. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Hangat tubuhnya menginduksi tubuhku yang dingin untuk hangat juga. Rasanya aku menemukan kembali sosok Alka yang hilang beberapa saat yang lalu. Tapi, kenapa Alka tiba-tiba berubah 180 derajat dari sebelumnya? Dia bahkan mencium keningku. Tuhan, Alka kenapa sih?
“Ka, kamu kenapa sih? Kenapa berubah-berubah terus kaya gini?” tanyaku dalam pelukannya. Alka hanya diam namun tiba-tiba ia melepas pelukannya.
“Bahu kamu ga kenapa-kenapa, kan?” tanyanya sambil mengelus bahuku. Diantara debaran-debaran halus ddalam dadaku, aku termenung. Pasti ada yang terjadi. Kenapa Alka langsung berubah begini? Apa ia sedang pura-pura? Apa pernyataannya juga hanya pura-pura? Tiba-tiba saja aku menatap Alka curiga.
“Kenapa?” tanya Alka heran aku menatapnya curiga.
“Kamu yang kenapa.” Ujarku sambil menepis tangannya dari bahuku. Aku berjalan tegak dan menjauhinya menuju sofa. Aku harus duduk jika ingin bertanya padanya agar aku tidak lemas dan terjatuh lagi seperti tadi. Tanpa kusangka Alka mengikutiku untuk duduk di sofa. Aku terdiam, menunggunya berbicara.
Akhirnya Alka menyerah dan membuka suaranya, “Yaudah, apa yang pengen kamu tau?”
Aku tersenyum menang. Dengan malu-malu aku bertanya padanya, “Kamu beneran suka sama aku?” tanyaku so cool. Alka menghembuskan napas lalu mengangguk. Hampir saja aku berteriak kegirangan sebelum akhirnya aku mengendalikan diriku. “Sejak kapan? Kenapa? Em, terus......” tanyaku spontan.
Alka menatapku dalam, aku langsung membisu. “Aku rasa semenjak kita pertama ketemu.” Jawabnya pasrah, aku menahan napas. “Dan, em....” Alka berdeham sejenak sebelum menjawab pertanyaan keduaku, “Emang jatuh cinta sama kamu butuh alasan, ya?” ujarnya. Kontan sesuatu meleleh dalam diriku. Jantungku berdetak semakin cepat sampai aku lupa bahwa aku belum mengambil napas. Kami terdiam lama.
“Thanks, Ka.” Ujarku memecah keheningan. Alka mendekatkan posisi duduknya padaku hingga sekarang lutut kami saling bersentuhan.
“Tadi... maaf, ya?” ucapnya setengah bertanya padaku. Aku tersenyum dan mengangguk. “Aku takut kamu bakal menyesal karena suka sama aku. Aku, kan bukan orang yang baik.” Ujarnya.
“Hush, kamu baik kok.” Ujarku.
“Ya, aku hanya takut membebanimu saja sebenarnya.” Tambahnya.


Bismillah, I am Back

“Allah always have the best plan for us. Oh, really?”

Angin berhembus kencang menusuk-nusuk kulitku yang memerah. Meskipun sudah memakai jaket bulu yang tebal, angin sungguh sanggup untuk tetap membuatku menggigil hebat. Kurapatkan kedua tepi jaketku yang sudah menempel. Kuelus-elus bulu yang bertengger di ujungnya untuk mendapatkan kehangatan.
Tiba-tiba sesuatu dalam tasku bergetar. Sontak kumasukkan tanganku acak mencari benda yang bergetar itu. Tepat ketika aku memegang benda itu aku langsung memencet tombol berwarna hijau yang menyala-nyala. Sebelum aku menjawab sapaan dari seberang, kuhembuskan napas berat, warna putih keluar bersusulan dari mulutku.
            “Iya.... Hm... iya..... aku bentar lagi nyampe di katedral kok, jemput Pere1.” Suara diseberang semakin lama semakin mengecil hingga akhirnya menghilang. Aku langsung melemparkan pandanganku pada jalan yang terbentang di depan dan berjalan lebih cepat lagi. Pere sudah menungguku.
            Langkahku memelan ketika sebuah bangunan megah berada di hadapanku. Dilatarbelakangi oleh menara Eiffel yang puncaknya sudah hampir memutih, Katedral Pantekosta terlihat sangat anggun. Sesaat, aku menimbang-nimbang apakah aku harus masuk atau tidak. Aku kan, bukan termasuk jemaatnya. Tapi karena keadaan sekitarku semakin terasa menusuk dan membuatku sesak, kuputuskan untuk mencari kehangatan di dalam.
            Ini bukan pertama kalinya aku masuk ke gereja, mungkin sudah yang kedua atau ketiga kalinya. Dan setiap aku melakukannya, rasa ingin tahuku tergelitik dengan hal apapun yang berada di dalamnya. Beruntung, tepat ketika aku masuk ke dalam, sebuah tangan besar dengan sweater yang kukenal langsung memelukku erat. Hal ini membuatku tidak perlu bertanya-tanya lagi pada pastor tentang apa yang sedang dilakukan di dalam.
            Aku adalah anak tunggal dari sepasang suami istri yang memiliki perbedaan kepercayaan. Pere adalah seorang kristiani sedangkan mama adalah seorang muslimah. Hidupku bahagia dengan itu dan aku cukup mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuaku, meskipun sekarang mereka telah bercerai.
Kini aku hidup dengan pere di Paris. Pere dipindahkerjakan oleh perusahaannya tujuh tahun lalu kesini. Itulah hal yang membuat kedua orangtuaku berpisah. By the way, aku selalu menganggap bahwa hidup adalah sebuah pilihan. Maka ketika pere mengajakku untuk tinggal bersamanya disini lima tahun yang lalu, aku langsung mengiyakan. Lagi pula, kapan lagi aku akan mendapatkan kesempatan seperti ini?
            “Leona, nanti malam kamu mau dimasakin apa?” tanya pere tiba-tiba. Mata biru lautnya menatapku intens, membuatku terpesona. Aku hanya menaikkan bahu. Diam-diam aku tersenyum, sepertinya aku tahu kenapa dulu mama jatuh cinta pada pere.
            “Maaf, ya Leona pere lagi manja nih. Pere lagi kangen sama kamu.” ujarnya lalu menepuk-nepuk wajahku di dalam tangannya yang besar. Aku tersenyum semanis mungkin dan mengangguk, “Aku gapapa kok Pere, aku juga kan kangen sama Pere.” jawabku mantap. Bola matanya bersinar lalu menggandeng tanganku pelan, “Kita pergi keluar aja yuk malam ini.” Aku mengangguk setuju.
--
            “Assalamu’alaikum sayang, gimana kabar kamu disana? Apa rencana kamu hari ini sama papamu?” suara lembut mama menyapa telingaku di pagi yang dingin ini. Aku menyahut asal karena baru saja bangun.
            “Waalaikum salam. Gatau nih, disini kan ga lagi weekend mam, jadi palingan aku sekolah dan Pere kerja kaya biasa.” Aku berusaha untuk merenggangkan badanku sambil mendengarkan mama yang mulai berceloteh seperti biasa.
            Mama selalu bercerita banyak padaku setiap kali menelepon. Dan kali ini mama bercerita tentang acara liqo yang diikutinya kemarin dan merasa sangat puas dengan pembicaranya. Ia bahkan sedang mencoba untuk berbisnis dengan pembicara itu. Seperti biasa, ketika mama sedang bercerita, akulah yang akan menjadi pendengar setia mama.
 “Udah salat, sayang?” aku tersentak dengan pertanyaan yang tiba-tiba mama ajukan, bingung harus menjawab apa. Pasalnya, aku baru saja bangun ketika mama menelepon.
            Akhirnya aku menggeleng, meskipun aku tahu mama tidak bisa melihatku, lalu dengan gelagapan aku menjawab, “Belum, mam. Nanti aja.” Terdengar desahan napas panjang dari ujung sana yang membuatku merasa bersalah. Suara mama melemah, “Yasudah, tapi solat ya, jangan lupa. Oh iya, ingat Leona. Allah always have the best way for us.” ucap mama, aku hanya mengangguk tidak pasti.
Berhubungan dengan apa yang mama ucapkan, sebenarnya terkadang aku bertanya-tanya, ‘jalan apa’ yang mama maksud. Tapi, aku tidak pernah berani ‘bertanya betulan’ padanya. Semua pertanyaan itu hanya kubiarkan berkelana bebas dalam benakku. Yang membuatku jenuh adalah kenyataan bahwa mama selalu mengucapkan kalimat itu setiap kami akan memutuskan telepon. Mama sangat memercayai quote itu. Aku? Yah, mungkin percaya.
--
            “Halo, Leona, assalamualaikum.” Dion, orang yang beberapa bulan terakhir menghantui mimpiku, menyapaku dan berjalan ke arahku. Aku mengangguk ke bawah, pura-pura tidak tertarik padanya dan sekuat mungkin menahan keinginanku untuk menjelajahi wajah indonya.
“Leona?” orang itu memanggil namaku lagi ketika aku tidak juga membalas tatapannya.
“Ya?” akhirnya, kuangkat kepalaku dan berusaha untuk tersenyum padanya.
Bukannya membalas senyumku, dia malah mengangguk-angguk puas. “Aku mau pamit, nih Len,” ujarnya tiba-tiba. Aku terbelalak dan tanpa sengaja menyahut “Hah?”. Dia tersenyum sambil mengajakku duduk di kursi taman sebelah kami untuk menjelaskan alasannya. Aku mengikutinya pelan.
“Aku mau pulang ke Indonesia. Studiku udah selesai disini. Lagian, disini juga ngapain, bosen. Mendingan buka praktek yang bermanfaat di Indonesia sana.” ujarnya tenang. Keningku bekerut heran. Hei, ini kan Paris. Bisa-bisanya dia bosan berada disini, ckck.
“Jadi.... aku mau pamitan.” tambahnya lagi.
“Kapan pulangnya?” tanyaku spontan.
“Lusa nih kayanya. Kenapa? Mau ikut?” Aku memberengut ketika ia tanya begitu.
“Kamu aja deh yang pulang. Aku masih betah disini.” jawabku selanjutnya. Tiba-tiba mata hazel itu menelitiku dari atas kebawah lalu tersenyum simpul.
“Wah, gimana ini, aku pasti kangen kamu.” ujarnya pelan. Kurasakan pipiku memanas, pasti merona dia bilang begitu. Dia tetap menatapku, menunggu jawaban. Aku hanya menunduk salah tingkah.
 “Le, jangan lupa sama Allah, ya. Allah itu harus selalu menjadi nomor satu.” tambahnya pelan. Aku merasa tersentil. Apasih maksudnya? Mengingat Allah? Kapan terakhir kali aku melakukannya? “Ya?” tanyanya lagi. Aku mengangguk pelan.
“Salat, Le. Itu yang terpenting. Salat itu tiang agama. Kalo kamu ga salat, imanmu dipertanyakan. Jangan cuma jadi islam KTP, emangnya kamu mau masuk surganya juga cuma di KTP doang?” Aku mendesah tak rela. Dion memulai ceramahnya sebelum ia pergi. Aku hanya bisa tersenyum hambar disetiap dia menatapku. Dion memang taat beribadah dan sebenarnya hal itu yang membuatku jatuh hati padanya. Tapi, ini kan pertemuan terakhir kami. Masa dia malah menceramahiku? Aku mendengus kesal.
--
“Lying down, underneath the stars thinking about the way you look....” ponselku bergetar. Dengan sigap, aku langsung mengangkat telepon yang berasal dari getaran ponselku tadi.
“Leona?” tanya suara di seberang.
“Ya?” jawabku spontan. Orang yang menelponku rupanya sedang buru-buru karena ia langsung menjawab. “Mamamu kecelakaan. Kecelakaan beruntun. Ia terhimpit mobil. Sekarang sedang berada di RSCM.” ujarnya cepat. Aku membelalak tak percaya. Bisa kurasakan keringat langsung membanjiri tengkukku dan tanganku bergetar hebat. “Ma.... mama.... kecelakaan apa?” seketika runtutan cerita meluncur dari suara diseberang yang kukenali sebagai suara tanteku. Lututku melemas dan ponselku langsung jatuh entah kemana.
--
“Sayang, pere yakin mamamu gak akan apa-apa kok. Dia kan kuat, just believe that.” ujar pere yang sedari tadi menenangkanku. Tadi aku sedang sarapan dengan pere dan tiba-tiba saja ponselku bergetar. Pere kaget karena aku tiba-tiba terjatuh dan hampir pingsan ketika aku mengangkat ponsel. Untung saja pere cekatan dan langsung bisa menebak apa yang bisa terjadi. Alhasil, pere sekuat tenaga menenangkanku yang shock tiba-tiba. Tapi entah, aku bahkan tidak bisa mendengar apa yang pere katakan. Aku terlalu tuli untuk itu sekarang. Satu-satunya hal yang masih terngiang di telingaku adalah ketika tante bilang bahwa mama kecelakaan dan runtutan kejadiannya yang mengenaskan. Oh Tuhan, kenapa orang sebaik mama yang harus mendapatkan musibah separah itu? Berita ini sungguh membuatku takut.
Aku gemetar, membayangkan kemungkinan terburuk yang akan menimpa mama. Kugosok mataku yang perih karena belum berhenti menangis sejak tadi. Oh, mama... Beberapa saat pere pergi dari sisiku dan langsung memesan dua tiket menuju Jakarta. Ketika pere kembali, aku masih menggigil hebat ketakutan.
Pikiranku melayang lagi. Mulai terbayang di pelupuk mataku jika aku kehilangan mama. Aku pasti akan merindukan suaranya, aromanya, derai tawanya, senyumnya. Ya Tuhan.... aku bahkan sudah mulai rindu padanya.
Skeptis, aku menyalahkan semua kejadian ini pada Allah, tuhanku dan mama. Hanya Dialah dzat yang bisa ikut campur dalam urusan ini. Lalu, sebagai Maha Bijaksana, dimana keadilanNya itu? Kenapa mama yang Allah hukum? Apa ini jalan terbaik yang Kau beri untuk mama? Aku merasa pilu, mama selalu memercayai kata-kata itu. Ya Allah, Jika memang ada yang salah dengan keluarga kami, kenapa bukan aku saja yang dihukum? Bukankah aku yang paling jauh dariMu ya Rabb? Ya Allah... kenapa Kau begitu kejam padaku? Aku menangis-lagi. Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya menghentikan tangis ini.
“Sayang, kamu udah bisa solat mayit, kan?” tanya mama sambil mengerling ke arahku. Aku tertawa mengejek, “Aduh, belum bisa nih ma. Lagian, buat apa?”tanyaku sambil merangkul mama. Mama menggeleng, “Iiih, kamu ini islam tapi kok gabisa solat mayit. Kalo mama yang meninggal, mama ga ridho loh kalo kamu ga nyolatin mama.” ujar mama. Sontak aku melirik mama,”Ih, mama apaan, sih? Kayak yang ngarepin mati aja.” Aku melepas rangkulanku sambil cemberut. Mama mendekatiku lagi lalu memelukku. “Kematian itu pasti, sayang. Pasti.” Hening.
 “Kalo mama yang meninggal, aku yang bakal urusin semuanya. Mandiin, nyolatin, nguburin, bersihin pusaranya, bahkan bacain Yasin tiap hari. Aku yang bakal lakuin, ma.”tambahku tiba tiba. Mama menatapku intens.
Cahaya menyilaukan berebut menelusup ke dalam mataku tepat ketika aku membuka mata. Aku mengangkat kepalaku pelan sambil memerhatikan sekitar. Rumahku sepi, tidak ada alunan instrumen mozart yang disukai pere seperti setiap sore. Terlalu hening. Tiba-tiba aku teringat mimpiku barusan. Aku menghembuskan napas berat, kenapa aku malah bermimpi seperti tadi? Apa itu..... tanda? Aku menggeleng pelan, menahan cairan bening yang mendesak untuk keluar lagi dari mataku.
Untuk menahan cairan ini keluar, aku bangkit dan memaksa diriku bekerja secepat mungkin untuk mencari pere. Aku menyusuri ruang keluarga dan dapur. Tidak ada. Dimana pere? Namun, sesampainya di kamar pere, aku terpaku.
Ribuan rasa bersalah menyergapku. Hening dan sepi menyatu menjadi satu membuat pere terlihat bercahaya dan sangat khusyu dalam berdoa. Tanpa harus dikatakan, aku tahu apa yang pere sedang doakan. Ya, pere sekarang sedang berlutut di hadapan patung bunda maria sambil menelungkupkan tangannya di dada. Ia menunduk dalam sambil beberapa kali mengambil napas berat. Tiba-tiba pere melihat ke arahku dan tersenyum.
“Mau berdoa juga, Leona?” tanyanya. Aku tersenyum ke arahnya. Setelah itu pere melambaikan tangannya, memintaku untuk mendekat. Aku berjalan pelan. “Gimana? Kamu mau ikut berdoa juga ga buat mama?” tanyanya lagi sambil menunjuk ke patung bunda maria yang berada di depanku. Aku membelalak kaget. Maksud pere.... namun tiba-tiba pere langsung terbahak beberapa saat setelah melihat ekspresiku.
“Hahaha, bukan itu sayang maksud pere. Bukan.” Pere mengelus puncak kepalaku lalu melanjutkan, “Kalo kamu mau, pere mau nyiapin mukenanya, maksudnya. Kamu jangan pura-pura kaget gitu ah.” tambahnya.
Aku baru bisa menangkap maksud pere beberapa detik setelahnya. Dan ketika aku menyadari apa maksud pere, ada rasa penasaran menghampiriku. Berdoa juga? Bolehkah? Kapan terakhir kalinya aku berdoa padaNya, ya? Jika sekarang aku berdoa, masihkah Dia mendengar doaku? Tiba-tiba ucapan mama terngiang di telingaku, “Allah selalu punya jalan yang lebih indah untuk kita.” Really? What way? Inikah? Pray for mom? Dengan cara bertaubat? Aku menghembuskan napas pelan. Yah, apa salahnya mencoba. Lalu aku mengangguk ke arah pere.
Aku merasa sangat nervous, aku bahkan bisa mendengar detak jantungku yang bertalu-talu ketika aku memakai kain putih suci di atas kepalaku. Ringan dan nyaman sekali rasanya. Ketika aku hendak mengangkat tanganku untuk mendirikan salat maghrib, karena kusadari ini masih jam maghrib, tanganku bergetar hebat tapi anehnya tidak sama sekali terasa berat. Aku menghembuskan napas pelan. Bismillahirrahmanirrahim. Allahu akbar.
Fiuh, ini adalah salat pertamaku setelah sekian lama aku meninggalkannya. Hatiku rasanya damai sekali. Aku tidak pernah menyangka bisa setenang ini ketika mama sedang sekarat. Dalam doa, kuminta segala hal yang kuharapkan untuk mama. Meminta ridhonya dalam doaku, memintakan maaf atas dosa-dosa mama and especially, meminta agar mama cepat disembuhkan. Setelah itu, aku tersungkur dalam sujud dan tangisku hingga waktu isya datang. Sudah waktuku untuk bertaubat.
Keesokan harinya, aku merasa baru. Semenjak salat maghrib kemarin, aku berkomitmen penuh untuk selalu menjalankan kewajibanku sebagai hambaNya. Since yesterday, I just realize that I believe in God and my only one God is Allah SWT. So I should have to respect Him as best as I can.
Kemarin, setelah selesai salat dan berdoa aku merasa tenang luar biasa dan yang aneh adalah bahwa aku merasa tidak panik sama sekali. Ditambah lagi sejam setelah itu, tante menelepon bahwa masa kritis sudah berhasil mama lewati dan bahkan mama sudah sempat sadar kemarin malam. Sekarang mama hanya tinggal dirawat beberapa hari lagi untuk menyeimbangkan keadaan tubuh mama yang masih shock akibat kecelakaan yang mama alami. Dan, hal itulah tambah yang membuatku yakin bahwa Dia menerima taubatku. Hal itu pulalah yang membuatku sadar bahwa aku harus berubah. Ya Rabb, I am back in Your way.
Aku tersenyum pada cermin di depanku. Yang sedang kulihat didepanku itu, sungguh cantik dan anggun. Kain sutra berwarna ungu yang sedang kugunakan di kepalaku terlihat cocok dengan balutan blus putih favoritku. Aku mengangguk beberapa kali, berusaha menguatkan hati untuk menutup auratku mulai hari ini. Aku kan, sudah baligh.
Bahkan, pere yang awalnya hanya lewat saja terpana ketika melihatku. Ia mendekat lalu langsung menciumi keningku beberapa kali. Ia memelukku seraya berkata, “Alhamdulillah, ya Leona. Alhamdulillah.” Aku mengangguk dalam pelukannya karena mengerti apa yang sedang pere maksudkan. Mama. Ya, sudah lama sekali mama ingin melihatku berjilbab. Dan pere sangat menyukai seorang wanita yang berjilbab, menawan, katanya. Bahkan konon dulu pere jatuh cinta pada mama karena jilbab panjang yang menempel pada mama.
“Pere, kita jadi kan ke Indonesia?” tanyaku penuh harap. Tanpa menunggu lebih lama lagi, pere langsung mengangguk. Aku tersenyum berterimakasih pada pere, “Bagus deh soalnya aku mau ngasih seseorang kejutan.” Pere tersenyum puas.
--
Sinar terik matahari dan aroma bandara yang penuh sesak langsung menyambutku ketika aku baru saja menginjakkan kaki lagi disini. Bandara Soetta tidak berubah sama sekali semenjak kepergianku beberapa tahun lalu. Tetap ramai dan penuh dengan orang yang hilir mudik dengan urusannya masing-masing. Dan tentu saja, orang-orang pribumi dan gayanya yang kurindukan. Aku memutar kepalaku pelan sambil mencari orang yang akan menjemputku. Aku tidak bersama pere karena kemarin aku ada ujian kenaikan tingkat di sekolah. Sehingga pere berangkat kemarin dan aku berangkat sendiri hari ini.
Rencananya, mama sendiri yang akan menjemputku disini. Meskipun mama masih perlu dirawat, mama meminta izin mati-matian pada dokter untuk menjemput anaknya yang merantau sudah lama ke negeri orang. Awalnya dokter tidak mengizinkan. Menghilangkan fobia dan memulihkan kesehatan mama yang mengalami kecelakaan beruntun tentu tidak semudah itu, bukan? Tapi ketika pere datang dan berjanji untuk menjaga mama akhirnya dokter itu mengizinkan.
Seketika aku terpaku pada sosok seorang wanita yang terduduk di kursi roda dan sedang menatapku. Dress bercorak sakura dan jilbab yang melekat padanya sangat kukenali. Di belakangnya terdapat seorang pria paruh baya yang dengan sepenuh hati mendorongkan kursi roda sang wanita. Aku terdiam di tempat beberapa saat ketika wanita itu melambai ke arahku. Mama... Aku menunduk. Oh, tidak. Aku tidak boleh menangis di saat seperti ini.
Mama dan pere mengambil langkah mendekat ke arahku dan saat itu juga aku langsung berlari ke arah mereka tanpa peduli dengan tatapan aneh banyak orang. Aku rindu, sungguh sangat rindu mama. Ketika sampai di depannya, aku berlutut di bawah kakinya dan memeluknya erat. Mama memelukku balik dan kurasakan mataku basah dan airnya merembes pada jilbabku dan jilbab mama. Mama mengusap mataku pelan dan menggeleng, aku tidak boleh menangis di saat sebahagia ini, katanya. Aku mengangguk dan menghapus air mata yang masih menggenang di pelupuk mataku. Aku pun mulai bercerita pada mama tentang perjalanan perdanaku pulang ke Indonesia sendirian. Mama juga ikut bercerita tentang betapa ia tidak sabar menungguku pulang sejak kemarin. Plus, tidak lupa mama juga melontarkan pujian atas keanggunanku memakai jilbab.
“Ehem, kangen sih boleh tapi ga nyampe ninggalin koper di tengah jalan juga dong.” Seketika aku mendengar suara yang sangat kuhafal di belakangku. Aku menepuk kepalaku pelan, masa sih ini benar suaranya? Bagaimana bisa? Mungkin, karena ini Indonesia aku juga jadi rindu padanya, pikirku.
“Wah, apa iya ditinggal disana, Dion? Wah, bahaya sekali ya.” ujar mamaku tiba-tiba. Aku heran dan akhirnya membalikkan badanku. “Halo.” Sapanya. Aku menganga kaget. Kenapa bisa? Pere yang mengerti keadaan langsung menepuk pundak Dion pelan sambil menjawab rasa penasaranku.
“Kamu harus bilang makasih sama dia. Dia orang yang nekat untuk menyelamatkan mamamu dari himpitan mobilnya yang sudah rusak. Kebetulan, dia juga seorang dokter. Jadi dia langsung melarikan mamamu dan korban lainnya ke rumah sakit terdekat.” ujar pere pelan. “Ayo kena...” sebelum pere menyelesaikan ucapannya, Dion sudah memotongnya sopan.
“Halo, Leona, apa kabar?” tanyanya. Pere membelalak bingung, lalu menatapku dan Dion bergantian. Mama yang melihatnya langsung mengambil alih keadaan, “Kamu ini gak tau ya kalau mereka teman se-almamater di Paris?” kerling mama pada pere. Pere tambah membelalak. Aku mengangguk pada pere, mengiyakan perkataan mama barusan. Lalu tatapanku beralih pada Dion yang sedang menatapku tepat di manik mataku. “Alhamdulillah.”
Setelah itu kami bergegas pulang ke rumah mama. Pere dan mama berjalan di depan sementara aku dan Dion berjalan beriringan tepat di belakang mereka. Sebenarnya, aku merasa salah. Masa dua pasang insan manusia yang bukan muhrim berjalan saling beriringan? Yang membuatku risih adalah kenyataan bahwa aku sangat nyaman berada di dekat laki-laki ini. Ya Allah, maafkan aku karena aku sangat rindu aroma laki-laki di sebelahku ini. Bahkan aku sempat merasa waktu berhenti berputar ketika Dion menatap manik mataku.
“Leona, like what I said before that  you will look perfect when you wear a veil. And you prove it now. Now, you are crazily beautiful, Leona.”aku merasa malu luar biasa ketika kurasakan pipiku memanas mendengar Dion berkata seperti itu.
“Oh yah I ever thought about it before, but in that time I just feel wrong. But I am totally serious now.” ujarnya tiba-tiba.
Keningku berkerut, mulai tertarik dengan pembicaraan abstrak ini. “What that was mean, Dion? What do you just talk about?” tanyaku. Dion tiba-tiba berhenti berjalan dan memandangku lekat.
“Aku tahu kamu yang sekarang pasti sudah berbeda dengan kamu yang kutemui beberapa bulan lalu. Aku tahu, kamu yang sekarang jauh lebih dewasa dari kamu yang kemarin. Maka dari itu sebelum ada yang membuatku menyesal, aku akan memutuskannya sekarang.” jawabnya. Aku masih mengerutkan keningku lalu ikut berhenti berjalan di depannya. “Apaan, sih Dion? Aneh banget ih.” tanyaku tidak sabar.
Dion menangkap kedua bahuku di tangannya, memaksaku untuk langsung berhadapan dengannya. “Sekarang, aku sudah yakin dengan pilihan hatiku, Leona. Cepat atau lambat, kamu harus mengetahui tentang hal ini. Sudah sejak lama aku memiliki perasaan ini padamu namun selama ini aku masih ragu. Ketika aku harus meninggalkanmu kemarin itu, aku merasa sebagian jiwaku tertinggal di kota yang sudah membuatku jatuh cinta. Tapi sekarang aku sudah mantap. Aku bersyukur karena ternyata Allah mengabulkan permintaanku. Aku pernah meminta, jika kamu memang orang yang Ia pilihkan untukku, aku ingin Ia memberiku petunjuk. Dan dengan kamu menggunakan jilbab sekarang, itu sudah lebih dari cukup sebagai jawaban dariNya.” ujarnya yang sukses membuatku menganga lebih lebar.
Dion menatap mataku lekat, “Leona, will you marry me?”
Pertanyaan tiba-tiba itu sukses membuatku terlihat seperti ubi rebus. Aku menunduk dalam, tidak berani untuk menantang matanya yang sedang mencari-cari tatapanku dalam matanya. Aku kaget, kenapa tiba-tiba Dion mengatakannya di saat seperti ini? Aku melirik mama dan pere yang ternyata ikut-ikutan mendengarkan percakapan kami sedari tadi dari depan mobil. Mereka tersenyum dan mengangguk setuju. Sepertinya, Dion sudah berhasil memenangkan hati kedua orang tuaku. Oh, bahkan dia sudah mencuri hatiku jauh sebelum itu.
Ketika aku belum juga menjawab pertanyaannya, dia menatapku salah tingkah. “Jangan salah sangka, Leona. Aku begini bukan karena aku ingin menikah muda. Tapi, bukankah semuanya akan menjadi lebih indah ketika kita melaksanakannya sesuai dengan syariat dan perintahNya?” pada titik ini, aku baru bisa menatap matanya dan ribuan rasa syukur langsung kupanjatkan padaNya. Dengan menyebut asmaMu ya Allah, aku mengangguk di hadapannya dan di hadapan kedua orang tuaku. Dion terlihat lega. Baik mata dan bibirnya mengulaskan senyum penuh syukur yang membuatku jatuh hati lagi padanya.

Terjawab sudah pertanyaanku selama ini. Ya, Allah memang memiliki rencana yang lebih indah untuk kita. Bahkan, yang terbaik untuk kita. Just believe Him in everything He give to us.

Aku dan Kamu

Mata hazel itu lagi-lagi membiusku. Wajahnya yang rileks dan kecoklatan membuat hatiku berdesir. Bibirnya mengulaskan senyum yang cukup menawan. Perlahan ujung-ujung bibirku ikut mengangkat. Dalam diam kunikmati pemandangan ini dari jauh.
                “OI!” Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dan mendorong badanku keras. Orang yang tak perlu kutanyakan lagi siapa. Refleks, aku langsung berdiri dan memukulnya balik. Ia menghindar dan seperti biasa aku akan berlari untuk membalasnya.
“Dasar pendek, lari aja payah.” ledeknya beberapa meter dari jangkauanku. Aku mendengus kesal dan bersiap melempar barang terdekat dariku. Ketika kuangkat tempat pensil yang kupegangi, bukannya takut, ia malah semakin semangat mengerjaiku. Ia menjulurkan lidahnya padaku. Aku berhenti mengerjarnya. Aku baru tersadar sesuatu. Orang yang semenjak tadi kuperhatikan sepertinya merasa terganggu dengan kegiatanku dan Rama sehingga ia sudah hilang dari pandanganku. Aku menunduk, menyesal.
Rama terbahak melihat ekspresiku. Ia berjalan mendekatiku, mengelus puncak kepalaku dan berujar, “Pendek.” Bukannya membalas, aku memilih untuk menginjak kakinya lalu berdecak kesal. Dia yang membuat’nya’ pergi. Rama mulai menjahiliku lagi, tapi aku hanya terdiam.
“Kenapa deh?” tanyanya ketika sadar aku tidak tertarik sama sekali untuk membalasnya.
Aku menghembuskan napas kesal. Sambil menunjukkan telunjukku pada Rama, aku mengerang, “Kamu, sih. Bikin bete aja, dianya pergi kan.”
Sedetik kemudian aku menyesal karena kulihat mata Rama melebar jahil, “Ciee.. siapa tuh? Cerita dong! Cie.. cie…” Kusambar buku di sebelahku dan kututup telingaku oleh buku itu ketika Rama dengan hebohnya meledekku di depan anak-anak sekelas. Tiba-tiba Rama berhenti meledekku. Dari bawah kulihat sepatunya menjauh.
“Woi! Tungguin gue dong!” teriak Rama beberapa saat kemudian.
“Ahmad!” Deg… Tiba-tiba saja aku bisa mendengar detakan jantungku. Rama sukses membuat hatiku melonjak-lonjak tak karuan. Bukan dengan sikapnya, tapi nama orang yang ia panggillah yang mampu membuat hatiku berdentuman lebih cepat. Ahmad…
--
“Fi, kamu serius gamau kenalan sama dia?” tanya Dya, sahabatku, ketika ia memergokiku sedang memerhatikan Ahmad. Aku tersenyum hambar.
Ahmad. Sebenarnya, aku tidak kenal dengannya. Tidak pernah berkenalan maksudnya. Aku memang mengenalnya. Bahkan mulai mengaguminya. Tapi aku yakin 100% bahwa ia tidak mengenalku. Ia bagaikan udara untukku, ada, tapi tidak bisa kusentuh. Aku tersenyum sendiri. Ia bahkan bukan hanya udara. Ia juga planet bagiku. Benda merah nan jauh disana yang selalu kukagumi. Mars-ku.
“Aw!” Dengan terpaksa, aku menarik diriku dari pesona Ahmad karena Dya mencubitku. “Ngga Dya, ngapain lagian. Males ah.” jawabku asal.
“Aku sekelas loh sama dia. Apa mau kukenalin kalian? Kamu tuh ya jangan bisanya cuma liatin dia dari jauh doang. Kenallah minimal.” ujar Dya prihatin. Aku tersenyum mendengarnya.
“Gausah, Dya. Biarinin aku tetep jadi bayangan buat dia. Gak keliatan.” jawabku tegas. Dya hanya menghembuskan napasnya sambil menepuk pundakku halus, berusaha memahami apa maksudku.
--
“Hei, ajarin aku yang ini dong! Heeeei! Heeeii!” teriak Rama tepat di depan wajahku. Ia sengaja membawa kursinya ke depanku agar kami bisa menghafal bersama. Meskipun kami sering bertengkar, kami juga cukup sering bersinergi dalam menghafal bersama. Terutama menghafal geografi. Rama suka pelajaran itu dan kebetulan aku juga menyukainya. Biasanya kami akan saling menjelaskan satu sama lain sesuai dengan kisi-kisi soal. Jika Rama menjelaskan nomor satu, aku akan menjelaskan nomor dua dan seterusnya.
“Hei, jangan bengong mulu napa. Bentar lagi udah mau ujian juga.” ujar Rama ketika melihatku tidak juga bereaksi. Aku mengambil napas panjang lalu menatap Rama.
“Siapa juga sih yang bengong mulu. Ngasal deh kalo ngomong, kebiasaan.” jawabku nyolot dengan nada bicara mirip dengannya. Saking seringnya berinteraksi dengan Rama, lama-lama cara bicaraku mirip dengannya. Rama pun sepertinya sudah terbiasa dengan hal itu. “Mana?” tanyaku kasar. Dia berdecak kesal dan menunjuk salah satu kisi-kisi. Akhirnya aku mulai menjelaskan.
--
“Katanya Ahmad belum pernah pacaran loh. Dari dulu cewe-cewe aja suka sama dia tapi dianya cuek gitu aja. Tapi gosipnya, sekarang dia lagi suka sama orang.” bisik Iren padaku ketika kami sedang berjalan menuju kantin. “Siapa?” tanyaku penasaran. Iren terdiam sebentar, membuat hatiku tiba-tiba berdetak tak beraturan. Beberapa saat kemudian Iren berbisik pelan, “Silvi, anak kelas kita.” Aku terdiam di tempat. Menahan tangis.
--
“Kok akhir-akhir ini sedih sih kayanya?” tanya Rama yang mengikutiku duduk di belakang papan tulis dorong kelas. Membuat teman sekelasku bertanya-tanya siapa yang duduk disana karena hanya kaki kami saja yang terlihat.
Aku hanya menggeleng pelan pada Rama. Lalu mulai menyibukkan diri dengan melihat-lihat isi foto kamera Oca yang tadi kupinjam. Tanganku bergetar. Rama melihatnya dan langsung merebut kamera Oca dari tanganku. “Liat barengan dong.” ujarnya sambil mengutak-atik kameranya. Aku menatap Rama yang sedang sibuk dengan kamera Oca sekilas. Aku menghembuskan napas lega. Sepertinya aku punya dinding kokoh untuk bersandar kali ini. Aku tersenyum berterimakasih.
“Kok malah senyum?” tanya Rama yang memergokiku sedang memerhatikannya. Aku menggeleng dan menjawab dengan asal, “Haus.” berharap Rama tidak menemukan tanda apapun di wajahku.
Tiba-tiba Rama langsung beranjak dan membawakan minumnya untukku, “Nih, minum. Daripada mati kehausan.” Disodorkannya aqua gelas miliknya padaku. Aku menurutinya dengan meminum air itu lalu terdiam. Kukira, Rama akan berceloteh atau menceramahiku tentang pentingnya minum atau apapun itu. Tapi nyatanya, Rama hanya terdiam. Rama menatapku heran, tapi matanya menyiratkan bahwa ia mengerti. Seakan-akan dia mencoba untuk mendengarkan keluh kesahku dalam diam. Aku lega ketika beberapa lama kemudian Rama tidak juga berbicara. Hanya menemaniku.
Akupun menerawang jauh, mencoba untuk meluruskan benang kusut yang ada di dalam hatiku. Tiba-tiba aku menyadari sesuatu, aku menatap Rama dan tersenyum padanya. Secara tidak langsung, ia membantuku untuk keluar dari rasa sakit hatiku. Ia membantuku untuk melupakan Ahmad. Aku memantapkan hatiku dan berbisik pelan, “Selamat tinggal, Mars.”
--
Waktu berjalan cepat, sekarang aku sudah kelas sebelas. Perasaanku terhadap Ahmad yang kalah sebelum berperang perlahan mulai kulupakan. Bahkan ketika kenyataan mengatakan bahwa diantara Ahmad dan Silvi tidak ada apa-apa. Kubiarkan perasaan itu membeku di sudut hatiku, kuasingkan. Agar ketika suatu saat perasaan itu mencair, perasaan itu sudah berubah menjadi sesuatu yang lain.
Rama banyak membantuku melewati hari-hari menyedihkanku. Ia selalu mengalihkan fikiranku ketika aku sedang memikirkan Ahmad. Dengan mengerjaiku, misalnya. Atau bahkan dengan meminjamiku jaketnya ketika hujan turun saat aku akan pulang sekolah. Dengan kata lain, dengan perhatiannya.
Setelah setahun mengenalnya, aku baru menyadari bahwa selama ini ia banyak memberikan perhatiannya untukku. Membuatku sadar bahwa aku masih dianggap. Membuatku merasa nyaman saat berada di dekatnya.
Aku berterimakasih padanya karena hal itu. Karenanya, aku merasa ada. Aku senang dengan kenyataan bahwa sekarang aku bukan bayangan lagi. Aku sudah terlihat. Dan kenyataan bahwa Rama mengakui keberadaankulah yang membuatku merasa lebih hidup.
--
Kulemparkan ponselku ke kasur. Aku kesal, sudah beberapa menit ponsel itu tidak bergetar. Padahal biasanya ponsel itu akan terus bergetar setiap menitnya. Huh, dasar cowo. Ada, kalo ada maunya aja. Aku turun dari kasur dan bermaksud untuk meninggalkan ponselku di kamar. Tapi niat tinggallah niat. Ketika kudengar suara getar ponsel, aku langsung meloncat keatas kasur dan membuka isi pesannya dengan cepat.
Maaf baru bales, tadi habis jenguk nenek. Kamu lagi apa?
Aku senyum-senyum sendiri membacanya. Terutama ketika kubaca pengirimnya, Rama. Aku tidak tahu lagi harus berekspresi bagaimana setiap Rama mengirimiku pesan. Aku terlalu senang karena dia nyata.
Awalnya aku dan Rama melanjutkan kegiatan bertengkar kami di twitter. Tapi karena banyak anak-anak yang memprotes karena keisengan kami di timeline, akhirnya Rama meminta nomor ponselku. Sebenarnya aku heran. Aku dan Rama tidak pernah saling mengontak satu sama lain sewaktu kelas sepuluh dulu. Tapi sekarang tiba-tiba kami sering sms-an. Bahkan Rama menelpon. Anehnya, jika di sekolah bertegur sapapun kami tidak pernah. Padahal sewaktu kelas sepuluh kami tidak bisa dipisahkan.
Sekarang aku selalu berharap bisa menghilang setiap Rama melihatku. Ditelan bumi sekalipun rasanya tidak apa-apa. Aku merasa malu bertemu dengannya karena semua obrolan kami sewaktu liburan. Terlebih lagi dengan panggilan yang kami gunakan selama liburan. Mbingu dan Mbeu, yang awalnya plesetan julukan dari kambing dan embe. Bodohnya, hatiku berbunga-bunga disetiap Rama memanggilku ‘mbingu’. Terdengar seperti ‘mbingku’ bagiku.
Sekarang, semuanya terasa berkebalikan. Sekarang, ketika Ahmad memanggil nama Rama-lah dadaku berdentuman lebih keras. Wajahku memanas dan aku akan langsung lari ketika aku berpapasan dengan Rama. Ingin rasanya aku menyapanya, tapi aku tidak berani. Aku dan Rama seperti bermain hide and seek berpura-pura saling tidak melihat. Saling mencari sesuatu hal yang sebenarnya ada di depan mata. Kami benar-benar seperti dua orang asing. Padahal sebenarnya aku rindu padanya. Sangat-sangat rindu.
--
“Aku suka sama kamu.” ujarnya ketika matahari senja perlahan menghilang di perpustakaan sekolah. Tangannya menunjuk dirinya, menunjuk kata ‘suka’ yang ia tuliskan ditangannya, dan menunjukku bergantian. Matanya yang tertancap tepat dimataku memancarkan pandangan yang membuat perutku bergolak tak tenang. Aku tak pernah melihat mata itu dimanapun sebelumnya. Matanya membuatku membeku.
“Jawab dong, aku gapernah ngungkapin gini nih sebelumnya.” rajuknya lucu. Perlahan, aku mulai tersenyum dan tanpa kusangka-sangka, ia balas tersenyum padaku. Ya Tuhan, senyum itu. Senyum yang selalu bisa membuatku tersihir. Lidahku bahkan rasanya kelu, bibirku beku.
Rama mengangkat wajahnya dan menatapku intens, membuatku merasa seperti barang yang akan hilang jika sekejap saja ia mengalihkan pandangan. Ya Tuhan, apa artinya ini? Kenapa aku merasa begitu ringan? Apakah ini artinya aku jatuh cinta padanya?
                Selama ini Rama memang menjadi pahlawanku. Ia selalu ada didekatku ketika aku membutuhkan sandaran. Ia tersenyum ketika aku berhasil. Ia menjagaku ketika aku ketakutan. Ia menghargaiku, melihatku, membantuku, menyayangiku. Ia memerlakukanku dengan sangat sopan dan hati-hati seolah-olah aku ini barang pecah. Ia bahkan menyukaiku. Meskipun semua itu ia lakukan diam-diam di belakangku. Ya Tuhan, kenapa aku baru menyadari semua ini?
                Ahmad mungkin udara bagiku. Tapi Rama, ia adalah oksigen yang kubutuhkan. Dia ada, dan nyata. Dia adalah oksigen yang selalu mengisi hari-hariku. Tanpanya, aku mati. Dan jika Ahmad adalah sebuah planet untukku, maka Rama adalah bintangnya. Bintang yang dengan setia selalu menerangi sisi gelapku. Perlahan aku mulai sadar. Rama bukanlah angin seperti Ahmad. Meskipun ia memiliki pilihan untuk pergi, ia tetap berada disisiku selama ini. Yang membuatku sulit bernapas adalah kenyataan bahwa ia memilihku.
Kurasakan pipiku mulai memanas karena begitu lama Rama pandangi. Dengan cepat, kualihkan pandanganku. Rama terlihat bingung. Aku mengambil napas panjang dan tersenyum jahil padanya. Rama terlihat frustasi. Kuambil langkah menjauh darinya, ia berdecak sebal di belakangku sambil pelan-pelan mengikutiku. Aku tersenyum bahagia.
                Aku menyadari sesuatu. Rama bukanlah orang yang kebetulan membantuku untuk melupakan Ahmad. Ia memang orang yang dikirimkan padaku untuk melupakan Ahmad. Tuhan tahu segala hal lebih baik dari padaku. Ketika seekor kumbang menolak untuk datang kepadaku, Ia mengirimiku kumbang yang lain. Yang dengan senang hati mendekat dan memilihku. Aku sungguh tidak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Rama membuatku merasa spesial. Merasa hidup. Merasa dibutuhkan. Aku berbalik, tersenyum. Alunan lagu tangga yang kusukai tiba-tiba memenuhi benakku.
“Betapa sempurna dirimu di mata hatiku
Tak pernah kurasakan damai sedamai bersamamu
Tak ada yg bisa yg mungkin kan mengganti tempatmu”
Ya, aku juga menyukaimu, Rama. Amat sangat menyukaimu. Semoga aku dan kamu akan selalu seperti ini selamanya.
“Kau membuat ku merasa hebat
Karena ketulusan cintamu
Ku merasa teristimewa hanya
Hanya karena, karena cinta
Kau beri padaku sepenuhnya
Buatku selalu merasa berarti”

Tangga-Hebat

Mahkota Seorang Wanita

Angin berhembus kencang menusuk-nusuk kulitku yang memerah. Meskipun sudah memakai jaket bulu yang tebal, angin tetap sanggup membuatku menggigil hebat. Kurapatkan kedua tepi jaketku yang sudah menempel. Kuelus-elus bulu yang bertengger di ujungnya untuk mendapatkan kehangatan.
Tiba-tiba ponselku bergetar. Suara berat khas pria berceloteh di telingaku.  
“Iya.... Hm... aku bentar lagi nyampe depan cafe kok, jemput Papa.” ujarku bersamaan dengan uap putih keluar dari mulutku. Papa lagi-lagi mengingatkanku akan tempat yang harus kudatangi hingga akhirnya memutus telepon. Aku harus berjalan lebih cepat lagi. Papa sudah menungguku.
            Langkahku memelan ketika sebuah bangunan megah berada di hadapanku. Di latar belakangi oleh menara Eiffel yang puncaknya sudah hampir memutih, Ouei Cafe terlihat sangat anggun. Tiba-tiba kulihat sepasang ibu dan anak perempuan keluar dari cafe, pembicaraan mereka menggelitik telingaku.
“Mom, aku besok mau pakai kerudung seperti mom ya.” Sang ibu dengan hijab yang menutupi sebagian badannya tersenyum dan mengelus rambut coklat anaknya.
“Biar anget” celetuk sang anak.
Tiba-tiba ibunya berhenti dan memegang tangan anaknya, “Hijab dipakai untuk menutupi aurat kita, bukan untuk melindungi diri dari dingin.”
Tiba-tiba anak yang kira-kira berumur 7 tahun itu berbicara bersamaan dengan ibunya, “Hijab dipakai untuk menghindarkan kita dari fitnah dan bahaya.” ujarnya.
“Nah itu tau?” sambung ibunya.
“Aku cuma kedinginan, mom.”
 “Eh, yang kaya gitu nggak boleh dijadiin mainan.” tambah ibunya ketika ia menangkap kerlingan di mata anaknya. Sang anak pun mengangguk dan suara mereka menghilang pada belokan gang sebelah Ouei Cafe.
Pemandangan di depanku tiba-tiba kabur. Setetes cairan bening yang baru saja terjun dari mataku seolah membeku di musim dingin ini dan mengganggu penglihatanku. Sepasang ibu dan anak tadi mengingatkanku pada mama. Entah mengapa, namun aku merasa deja vu melihat adegan tadi.
            Aku adalah anak tunggal dari sepasang suami istri yang sudah bercerai. Kini aku hidup dengan papa di Paris. Aku hanya sebentar tinggal bersama mama di Indonesia. Mama yang sangat sibuk membuatku merasa sendirian di sana. Itulah mengapa aku langsung mengiyakan ajakan papa untuk tinggal di negeri yang katanya romantis ini. Lagi pula, kapan lagi aku akan mendapatkan kesempatan tinggal di sini?
--
            “Assalamu’alaikum sayang, gimana kabar kamu disana? Apa rencana kamu akhir minggu ini sama papamu?” suara lembut mama menyapa telingaku.
Aku menyahut sekenanya, “Waalaikum salam. Gatau nih mah, masih belum tahu.” Aku pun mendengarkan mama yang mulai berceloteh seperti biasa.
            Mama selalu bercerita banyak padaku setiap kali menelepon di sela-sela kesibukannya. Dan kali ini mama bercerita bahwa ia membelikanku sebuah hijab yang sama seperti hijab milik mama. Mama harap kami bisa menggunakannya ketika lebaran nanti. Aku memang belum berhijab, tapi ketika lebaran aku biasanya menyelempangkan hijabku pada rambut. Meskipun sebenarnya bukan hijab seperti itu yang mama harapkan.
 Suara mama melemah, “Yasudah, mama masih ada deadline nih, inget pesen mama, Allah mencintai hambaNya yang taat pada apa yang Ia perintahkan. Allah juga selalu punya jalan yang indah untuk kita dan terkadang, melalui jalan yang tidak pernah kita duga sebelumnya. ” ucap mama, aku hanya mengangguk tidak pasti.
            Seluruh kejadian yang terjadi beberapa hari belakangan menghantui pikiranku. Kenapa semua orang disekelilingku akhir-akhir ini menyinggung kata hijab padaku? Mama yang membelikanku hijab, Papa yang di hari sebelumnya memujiku cantik ketika memakai mukena, dan obrolan sepasang ibu dan anak di cafe itu. Apa mereka sengaja? Ah, mana mungkin. Tapi, ini adalah sebuah kebetulan yang sempurna. Tiba-tiba ada dorongan yang kuat dalam diriku untuk bertanya langsung pada yang Maha Kuasa akan kebetulan ini. Maka akupun mengambil air wudhu dan bersimpuh shalat isya menghadapNya.
--
Dalam pondok yang sepi, aku menjadi salah seorang peserta pengajian. Seorang ustadzah berbicara, “Rambut seorang perempuan adalah harta karun bagi dirinya. Rambut adalah perhiasan-bagian dari aurat seorang wanita-yang tidak boleh diumbar pada orang yang tidak berhak melihatnya. Rambut adalah mahkota tersembunyi seorang wanita, dimana mahkota itu hanya dapat di lihat oleh orang-orang tertentu yang telah memilikinya.”
Salah seorang murid menyahut, “Kalo kita tidak menutupnya memangnya apa yang akan terjadi?”
Ustadzah itu tersenyum, “Maka wanita itu akan rugi di dunia maupun di akhirat.”
Tiba-tiba aku sudah berada di sebuah lorong sepi yang berbau tidak enak, beberapa orang wanita berjalan di depanku. Seorang wanita yang menggunakan terusan kerja yang tidak terbuka melewatiku. Seorang laki-laki muda yang sama-sama rapih dengan wanita itu yang menggodanya. Laki-laki ini tidak mabuk, terlihat dari pendangannya yang masih tegas, namun ia tetap mengajak wanita ini ikut dengannya. Aku bergidik melihatnya.
Tiba-tiba aku sudah berada di tempat lain lagi. Kali ini tempatnya panas dan pengap, yang terlihat di sekelilingku hanya merah-warna dari api yang membara. Sekilas kulihat wanita yang sebelumnya kulihat berteriak meminta tolong ke arahku. Ketika kuulurkan tanganku, ia jatuh lunglai dan deburan ombak tiba-tiba menerjangku hingga aku tidak sadarkan diri.
Mimpiku sungguh tidak aneh. Yang aneh adalah, aku menyadari ini mimpi dan aku sama sekali tidak ketakutan ketika aku bangun.
--
Cahaya menyilaukan berebut masuk ke dalam mataku tepat ketika aku membuka mata. Aku mengangkat kepala sambil memerhatikan sekitar. Rumahku sepi, tidak ada alunan instrumen mozart suka yang papa putar di setiap pagi. Terlalu hening.
Aku pergi keluar kamar dan menghampiri kamar papa, lalu aku tertegun. Dari pintu yang tidak tertutup, kulihat papa sedang bersimpuh diatas sajadah. Hening dan sepi menyatu menjadi satu membuat papa terlihat bercahaya dan sangat khusyu dalam berdoa. Aku memang tidak tahu apa yang papa doakan, namun rasanya damai sekali melihat pemandangan ini. Tiba-tiba papa melihat ke arahku dan tersenyum.
“Mau berdoa juga, Leona?” tanyanya. Aku tersenyum ke arahnya. Setelah itu papa melambaikan tangannya, memintaku untuk mendekat. Aku berjalan pelan.
“Kalo kamu mau, papa bisa nyiapin mukenanya,” tambahnya.
Seketika aku teringat kejadian semalam, ketika aku shalat dan terlelap dalam keadaan bertanya-tanya dengan semua kejadian yang ada. Lalu mimpi itu. Mimpi menambah pertanyaan di kepalaku akan apa maksudnya. Ucapan mama terngiang di telingaku, “Allah mencintai hambaNya yang selalu taat pada apa yang Ia perintahkan.” Aku menghembuskan napas pelan. “Allah juga selalu punya jalan yang indah untuk kita.” Mungkin aku harus bertanya sekali lagi pada Allah. “Dan terkadang, melalui jalan yang tidak pernah kita duga sebelumnya.” Lalu aku mengangguk ke arah papa.
--
Papa yang terduduk di sofa menatapku lama. Aku membuka mukena dan berjalan kearah papa. “Lama banget berdoanya, doain apa?” tanya papa. Aku menatap matanya hingga akhirnya memutuskan untuk bercerita mengenai mimpiku semalam.
Papa terdiam lama setelah mendengar ceritaku. Beliau hanya mengangguk dan berdeham selama mendengarkanku sehingga aku tidak tahu apa tanggapan papa terhadap ceritaku. “Menurut papa, maksud dari mimpi aku apa pah?”
Papa mengangkat bahu seraya berkata, “Papa bukan penafsir mimpi, Leona. Tapi senangkep papa...” papa berdeham lagi, “Sepertinya Allah rindu melihatmu mengenakan hijab. Di setiap saat, bukan hanya ketika kamu shalat.” Aku terkejut medengar jawaban papa.
Sesungguhnya, sebelum mama dan papa berpisah, aku dan mama berhijab. Ketika di Indonesia dulu, berhijab adalah hal yang lumrah di kalangan masyarakat. Ketika mereka berpisah, mama melepas hijabnya karena tuntutan pekerjaan dan papa pergi ke Prancis. Aku sendiri masih mengenakan hijab saat itu, namun ketika aku melihat realita mama yang melepas hijabnya karena kerasnya hidup harus mama tempuh dalam menghidupiku sebagai single parent, aku pun mulai melepas hijabku. Dengan anggapan aku bisa lebih diterima di lingkungan dengan melepas hijab. Bagiku, hidup terasa keras di Jakarta tanpa kehadiran seorang papa dan mama yang terlalu sibuk bekerja. Hingga akhirnya papa mengajakku tinggal di Paris. Orang yang menggunakan hijab sangat jarang disini, sehingga aku tetap teguh pada pilihanku dengan tidak berhijab, karena pilihan itu terlihat lebih mudah bagiku.
“Leona, berhijab bukan hanya tentang menutupi rambutmu dari lawan jenis. Tapi juga tentang menjaga dirimu selangkah lebih jauh dari kemaksiatan. Dengan menggunakan hijab, setidaknya kamu akan membentengi dirimu sendiri dari hal buruk dan akan berpikir ulang terhadap segala hal yang akan kamu lakukan. Hijab adalah perisai bagi wanita yang menjaganya dari,”
“Fitnah dan bahaya.” Kata-kata itu tiba-tiba berkelebat di kepalaku, aku bahkan tidak sadar mengatakannya. Aku hanya merasa potongan kata itu tepat dengan apa yang papa katakan sebelumnya.
Mata papa membesar, “Kok kamu tahu apa yang akan papa katakan?” Papa menatapku lama, menunggu jawaban. Aku tidak menyangka bahwa papa berpikiran seperti itu juga. Aku hanya terdiam, tidak tahu mau menjawab apa.
Umurku hampir menginjak 20 tahun. Dan hampir selama itu aku mengekspos rambutku ke seluruh dunia. Kedua orang tuaku memang bukan orang yang sangat agamis dan lingkungan hidupku di sini juga terbilang tidak agamis. Namun mamaku berhijab lagi sejak dua tahun lalu dan aku mengikuti perkumpulan remaja islam disini-sesuai saran papa. Meskipun mamaku berhijab, aku sangat jarang bertemu dengannya sehingga semangat berhijabnya ketika beliau mendapat hidayah tidak tertularkan padaku. Tapi sepertinya Allah memiliki jalan lain dalam menunjukkan kasih sayangnya padaku.
Aku tersenyum pada cermin di hadapanku. Yang sedang kulihat didepanku itu, sungguh cantik dan anggun. Kain sutra berwarna ungu yang sedang kugunakan di kepalaku terlihat cocok dengan balutan blus putih favoritku. Aku mengangguk beberapa kali, berusaha menguatkan hati untuk menutup auratku mulai hari ini. Ini adalah perintahNya, dan rambutku adalah perhiasan yang tidak boleh sembarang orang melihatnya.
Tiba-tiba papa melewati kamarku dan terpana melihatku. Beliau masuk ke kamarku dan tersenyum. Ini adalah pertama kalinya aku menggunakan hijab selain ketika aku akan shalat. Aku yang biasanya hanya menyelempangkan hijab di rambut, kini menggunakannya dengan benar, dan papa tahu pasti apa maksud dari semua ini.
“Pa.... apa akan lebih baik jika Leona berhijab?” tanyaku. Mata papa berair, dan sambil mengelus puncak hijabku papa berkata, “Papa akan sangat bersyukur jika kamu memilih ini. Karena yang lebih cocok menjadi mahkota bagi seorang wanita bukanlah rambutnya, tapi hijabnya.”

Hatiku berdesir mendengar apa yang papa katakan. Aku pun melihat pantulan diriku sekali lagi di cermin dan mengangguk mantap. Papa ikut mengangguk senang. Aku tersenyum bahagia karena bisa membuat papa senang. Dan aku tahu, akan ada satu orang lagi yang senang dengan keputusanku ini.