Sunday, August 7, 2016

Us

“Ya, aku suka sama kamu, Ka. Aku sayang sama kamu, apa itu salah?” ucapku tak terkendali. Alka membeku di depanku. Dia mendekat ke arahku, memegang bahuku dengan penuh tenaga lalu mengguncang-guncang pundakku seraya berkata, “Kamu bohong,kan? Jangan bercanda Lid, ga lucu tau!”
                Bulu kudukku meremang mendengar teriakannya tepat di depan wajahku. Bahuku rasanya sudah mati rasa karena cengkraman Alka yang keras. Alka tetap menatap wajaku ketika aku mengaduh kesakitan. Ia bahkan tidak mengurangi cengkramannya sedikitpun.
                Tapi cengkraman itu rasanya biasa saja bila dibandingkan dengan tatapan Alka yang menyala-nyala. Entah kenapa matanya itu sungguh menyakitiku. Kenapa? Kenapa ketika aku menyatakan perasaanku, Alka marah? Apa yang salah jika aku jatuh hati padanya? Apa itu artinya bahwa ia sama sekali menyukaiku? Bahkan membenciku?
                “Lihat mataku, Lidia! Bicaralah bahwa kamu tidak menyukaiku. Kamu tidak boleh menyukaiku, Lidia!” bentaknya. Aku menunduk semakin dalam. Matanya yang tajam seakan menyayat-nyayat hatiku, sakit. Alka mengguncang-guncangkan diriku agar wajahku naik tapi aku tetap menunduk. Alka frustasi lalu melepaskan cengkramannya. Seketika rasa kehilangan memenuhi tubuhku. Aku takut Alka pergi.
                “Kenapa sih kamu gabisa bilang kalo ga suka sama aku?” tanyanya tiba-tiba masih dengan nada yang menusuk. Air mataku mulai berdesakkan untuk keluar. Karena kenyataannya aku suka kamu, Alka. Aku jatuh cinta sama kamu.
                “Kalo kamu gabilang kamu gasuka sama aku, itu bakal jadi bencana Lid. Ayo bilang kamu gasuka aku!” bisik Alka dari belakangku. Aku sudah tidak bisa lagi menahan air mataku. Alka menolakku. Aku benar-benar ditolak dengan cara yan kasar. Ia bahkan sepertinya membenci ide aku menyukainya. Oh, Alka... seburuk itukah aku dimatamu? Tapi, kenapa?
                “Maaf Alka...” desisku. Alka yang berada di belakangku diam menunggu. “Maaf karena aku menyukaimu bahkan terlanjur jatuh cinta padamu.” Bisikku pelan. Alka masih terdiam. “Maaf, aku tidak bisa bilang jika aku tidak menyukaimu. Karena aku sungguh-sungguh jatuh cinta padamu. Salahkan saja aku karena telah lancang mencintaimu. Aku sadar bahwa aku memang tidak pantas untukmu. Tapi bagaimanapun itu aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri.” Air mataku tiba-tiba mengalir deras dan kakiku gemetar.
“Maaf jika aku menjadi bencana untukmu.” Akupun lumpuh dan terjatuh kebawah tapi sebelum lututku sempat menyentuh lantai, Alka menangkapku dari belakang. Ia memelukku.
“Alka?” panggilku. Alka tidak menjawab. Ia tetap memelukku. “Alka, kamu gausah ngasihanin aku kaya gini. Ka?” ujarku. Tiba-tiba Alka membalik badanku dan memelukku erat. Air mataku terhenti. Ada apalagi dengan Alka?
“Maaf Lidia, aku sungguh minta maaf.” ujarnya. Aku menengadahkan kepalaku dan menatap matanya. “Maaf untuk?” tanyaku.
“Karena telah memaksamu untuk berbohong.” ujarnya. Mataku berkedip mendengarnya. Belati lagi-lagi menusuk dadaku. “Dan karena telah berbohong padamu tentang perasaanku.” tambahnya. Aku berkedip berkali-kali tak percaya. Apa itu maksudnya?
Alka merengkuhku lebih dalam di pelukannya lalu mengecup keningku. “I’m madly truly crazy in love with you, Lidia.” ujarnya. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Hangat tubuhnya menginduksi tubuhku yang dingin untuk hangat juga. Rasanya aku menemukan kembali sosok Alka yang hilang beberapa saat yang lalu. Tapi, kenapa Alka tiba-tiba berubah 180 derajat dari sebelumnya? Dia bahkan mencium keningku. Tuhan, Alka kenapa sih?
“Ka, kamu kenapa sih? Kenapa berubah-berubah terus kaya gini?” tanyaku dalam pelukannya. Alka hanya diam namun tiba-tiba ia melepas pelukannya.
“Bahu kamu ga kenapa-kenapa, kan?” tanyanya sambil mengelus bahuku. Diantara debaran-debaran halus ddalam dadaku, aku termenung. Pasti ada yang terjadi. Kenapa Alka langsung berubah begini? Apa ia sedang pura-pura? Apa pernyataannya juga hanya pura-pura? Tiba-tiba saja aku menatap Alka curiga.
“Kenapa?” tanya Alka heran aku menatapnya curiga.
“Kamu yang kenapa.” Ujarku sambil menepis tangannya dari bahuku. Aku berjalan tegak dan menjauhinya menuju sofa. Aku harus duduk jika ingin bertanya padanya agar aku tidak lemas dan terjatuh lagi seperti tadi. Tanpa kusangka Alka mengikutiku untuk duduk di sofa. Aku terdiam, menunggunya berbicara.
Akhirnya Alka menyerah dan membuka suaranya, “Yaudah, apa yang pengen kamu tau?”
Aku tersenyum menang. Dengan malu-malu aku bertanya padanya, “Kamu beneran suka sama aku?” tanyaku so cool. Alka menghembuskan napas lalu mengangguk. Hampir saja aku berteriak kegirangan sebelum akhirnya aku mengendalikan diriku. “Sejak kapan? Kenapa? Em, terus......” tanyaku spontan.
Alka menatapku dalam, aku langsung membisu. “Aku rasa semenjak kita pertama ketemu.” Jawabnya pasrah, aku menahan napas. “Dan, em....” Alka berdeham sejenak sebelum menjawab pertanyaan keduaku, “Emang jatuh cinta sama kamu butuh alasan, ya?” ujarnya. Kontan sesuatu meleleh dalam diriku. Jantungku berdetak semakin cepat sampai aku lupa bahwa aku belum mengambil napas. Kami terdiam lama.
“Thanks, Ka.” Ujarku memecah keheningan. Alka mendekatkan posisi duduknya padaku hingga sekarang lutut kami saling bersentuhan.
“Tadi... maaf, ya?” ucapnya setengah bertanya padaku. Aku tersenyum dan mengangguk. “Aku takut kamu bakal menyesal karena suka sama aku. Aku, kan bukan orang yang baik.” Ujarnya.
“Hush, kamu baik kok.” Ujarku.
“Ya, aku hanya takut membebanimu saja sebenarnya.” Tambahnya.


No comments: