Sunday, August 7, 2016

Mahkota Seorang Wanita

Angin berhembus kencang menusuk-nusuk kulitku yang memerah. Meskipun sudah memakai jaket bulu yang tebal, angin tetap sanggup membuatku menggigil hebat. Kurapatkan kedua tepi jaketku yang sudah menempel. Kuelus-elus bulu yang bertengger di ujungnya untuk mendapatkan kehangatan.
Tiba-tiba ponselku bergetar. Suara berat khas pria berceloteh di telingaku.  
“Iya.... Hm... aku bentar lagi nyampe depan cafe kok, jemput Papa.” ujarku bersamaan dengan uap putih keluar dari mulutku. Papa lagi-lagi mengingatkanku akan tempat yang harus kudatangi hingga akhirnya memutus telepon. Aku harus berjalan lebih cepat lagi. Papa sudah menungguku.
            Langkahku memelan ketika sebuah bangunan megah berada di hadapanku. Di latar belakangi oleh menara Eiffel yang puncaknya sudah hampir memutih, Ouei Cafe terlihat sangat anggun. Tiba-tiba kulihat sepasang ibu dan anak perempuan keluar dari cafe, pembicaraan mereka menggelitik telingaku.
“Mom, aku besok mau pakai kerudung seperti mom ya.” Sang ibu dengan hijab yang menutupi sebagian badannya tersenyum dan mengelus rambut coklat anaknya.
“Biar anget” celetuk sang anak.
Tiba-tiba ibunya berhenti dan memegang tangan anaknya, “Hijab dipakai untuk menutupi aurat kita, bukan untuk melindungi diri dari dingin.”
Tiba-tiba anak yang kira-kira berumur 7 tahun itu berbicara bersamaan dengan ibunya, “Hijab dipakai untuk menghindarkan kita dari fitnah dan bahaya.” ujarnya.
“Nah itu tau?” sambung ibunya.
“Aku cuma kedinginan, mom.”
 “Eh, yang kaya gitu nggak boleh dijadiin mainan.” tambah ibunya ketika ia menangkap kerlingan di mata anaknya. Sang anak pun mengangguk dan suara mereka menghilang pada belokan gang sebelah Ouei Cafe.
Pemandangan di depanku tiba-tiba kabur. Setetes cairan bening yang baru saja terjun dari mataku seolah membeku di musim dingin ini dan mengganggu penglihatanku. Sepasang ibu dan anak tadi mengingatkanku pada mama. Entah mengapa, namun aku merasa deja vu melihat adegan tadi.
            Aku adalah anak tunggal dari sepasang suami istri yang sudah bercerai. Kini aku hidup dengan papa di Paris. Aku hanya sebentar tinggal bersama mama di Indonesia. Mama yang sangat sibuk membuatku merasa sendirian di sana. Itulah mengapa aku langsung mengiyakan ajakan papa untuk tinggal di negeri yang katanya romantis ini. Lagi pula, kapan lagi aku akan mendapatkan kesempatan tinggal di sini?
--
            “Assalamu’alaikum sayang, gimana kabar kamu disana? Apa rencana kamu akhir minggu ini sama papamu?” suara lembut mama menyapa telingaku.
Aku menyahut sekenanya, “Waalaikum salam. Gatau nih mah, masih belum tahu.” Aku pun mendengarkan mama yang mulai berceloteh seperti biasa.
            Mama selalu bercerita banyak padaku setiap kali menelepon di sela-sela kesibukannya. Dan kali ini mama bercerita bahwa ia membelikanku sebuah hijab yang sama seperti hijab milik mama. Mama harap kami bisa menggunakannya ketika lebaran nanti. Aku memang belum berhijab, tapi ketika lebaran aku biasanya menyelempangkan hijabku pada rambut. Meskipun sebenarnya bukan hijab seperti itu yang mama harapkan.
 Suara mama melemah, “Yasudah, mama masih ada deadline nih, inget pesen mama, Allah mencintai hambaNya yang taat pada apa yang Ia perintahkan. Allah juga selalu punya jalan yang indah untuk kita dan terkadang, melalui jalan yang tidak pernah kita duga sebelumnya. ” ucap mama, aku hanya mengangguk tidak pasti.
            Seluruh kejadian yang terjadi beberapa hari belakangan menghantui pikiranku. Kenapa semua orang disekelilingku akhir-akhir ini menyinggung kata hijab padaku? Mama yang membelikanku hijab, Papa yang di hari sebelumnya memujiku cantik ketika memakai mukena, dan obrolan sepasang ibu dan anak di cafe itu. Apa mereka sengaja? Ah, mana mungkin. Tapi, ini adalah sebuah kebetulan yang sempurna. Tiba-tiba ada dorongan yang kuat dalam diriku untuk bertanya langsung pada yang Maha Kuasa akan kebetulan ini. Maka akupun mengambil air wudhu dan bersimpuh shalat isya menghadapNya.
--
Dalam pondok yang sepi, aku menjadi salah seorang peserta pengajian. Seorang ustadzah berbicara, “Rambut seorang perempuan adalah harta karun bagi dirinya. Rambut adalah perhiasan-bagian dari aurat seorang wanita-yang tidak boleh diumbar pada orang yang tidak berhak melihatnya. Rambut adalah mahkota tersembunyi seorang wanita, dimana mahkota itu hanya dapat di lihat oleh orang-orang tertentu yang telah memilikinya.”
Salah seorang murid menyahut, “Kalo kita tidak menutupnya memangnya apa yang akan terjadi?”
Ustadzah itu tersenyum, “Maka wanita itu akan rugi di dunia maupun di akhirat.”
Tiba-tiba aku sudah berada di sebuah lorong sepi yang berbau tidak enak, beberapa orang wanita berjalan di depanku. Seorang wanita yang menggunakan terusan kerja yang tidak terbuka melewatiku. Seorang laki-laki muda yang sama-sama rapih dengan wanita itu yang menggodanya. Laki-laki ini tidak mabuk, terlihat dari pendangannya yang masih tegas, namun ia tetap mengajak wanita ini ikut dengannya. Aku bergidik melihatnya.
Tiba-tiba aku sudah berada di tempat lain lagi. Kali ini tempatnya panas dan pengap, yang terlihat di sekelilingku hanya merah-warna dari api yang membara. Sekilas kulihat wanita yang sebelumnya kulihat berteriak meminta tolong ke arahku. Ketika kuulurkan tanganku, ia jatuh lunglai dan deburan ombak tiba-tiba menerjangku hingga aku tidak sadarkan diri.
Mimpiku sungguh tidak aneh. Yang aneh adalah, aku menyadari ini mimpi dan aku sama sekali tidak ketakutan ketika aku bangun.
--
Cahaya menyilaukan berebut masuk ke dalam mataku tepat ketika aku membuka mata. Aku mengangkat kepala sambil memerhatikan sekitar. Rumahku sepi, tidak ada alunan instrumen mozart suka yang papa putar di setiap pagi. Terlalu hening.
Aku pergi keluar kamar dan menghampiri kamar papa, lalu aku tertegun. Dari pintu yang tidak tertutup, kulihat papa sedang bersimpuh diatas sajadah. Hening dan sepi menyatu menjadi satu membuat papa terlihat bercahaya dan sangat khusyu dalam berdoa. Aku memang tidak tahu apa yang papa doakan, namun rasanya damai sekali melihat pemandangan ini. Tiba-tiba papa melihat ke arahku dan tersenyum.
“Mau berdoa juga, Leona?” tanyanya. Aku tersenyum ke arahnya. Setelah itu papa melambaikan tangannya, memintaku untuk mendekat. Aku berjalan pelan.
“Kalo kamu mau, papa bisa nyiapin mukenanya,” tambahnya.
Seketika aku teringat kejadian semalam, ketika aku shalat dan terlelap dalam keadaan bertanya-tanya dengan semua kejadian yang ada. Lalu mimpi itu. Mimpi menambah pertanyaan di kepalaku akan apa maksudnya. Ucapan mama terngiang di telingaku, “Allah mencintai hambaNya yang selalu taat pada apa yang Ia perintahkan.” Aku menghembuskan napas pelan. “Allah juga selalu punya jalan yang indah untuk kita.” Mungkin aku harus bertanya sekali lagi pada Allah. “Dan terkadang, melalui jalan yang tidak pernah kita duga sebelumnya.” Lalu aku mengangguk ke arah papa.
--
Papa yang terduduk di sofa menatapku lama. Aku membuka mukena dan berjalan kearah papa. “Lama banget berdoanya, doain apa?” tanya papa. Aku menatap matanya hingga akhirnya memutuskan untuk bercerita mengenai mimpiku semalam.
Papa terdiam lama setelah mendengar ceritaku. Beliau hanya mengangguk dan berdeham selama mendengarkanku sehingga aku tidak tahu apa tanggapan papa terhadap ceritaku. “Menurut papa, maksud dari mimpi aku apa pah?”
Papa mengangkat bahu seraya berkata, “Papa bukan penafsir mimpi, Leona. Tapi senangkep papa...” papa berdeham lagi, “Sepertinya Allah rindu melihatmu mengenakan hijab. Di setiap saat, bukan hanya ketika kamu shalat.” Aku terkejut medengar jawaban papa.
Sesungguhnya, sebelum mama dan papa berpisah, aku dan mama berhijab. Ketika di Indonesia dulu, berhijab adalah hal yang lumrah di kalangan masyarakat. Ketika mereka berpisah, mama melepas hijabnya karena tuntutan pekerjaan dan papa pergi ke Prancis. Aku sendiri masih mengenakan hijab saat itu, namun ketika aku melihat realita mama yang melepas hijabnya karena kerasnya hidup harus mama tempuh dalam menghidupiku sebagai single parent, aku pun mulai melepas hijabku. Dengan anggapan aku bisa lebih diterima di lingkungan dengan melepas hijab. Bagiku, hidup terasa keras di Jakarta tanpa kehadiran seorang papa dan mama yang terlalu sibuk bekerja. Hingga akhirnya papa mengajakku tinggal di Paris. Orang yang menggunakan hijab sangat jarang disini, sehingga aku tetap teguh pada pilihanku dengan tidak berhijab, karena pilihan itu terlihat lebih mudah bagiku.
“Leona, berhijab bukan hanya tentang menutupi rambutmu dari lawan jenis. Tapi juga tentang menjaga dirimu selangkah lebih jauh dari kemaksiatan. Dengan menggunakan hijab, setidaknya kamu akan membentengi dirimu sendiri dari hal buruk dan akan berpikir ulang terhadap segala hal yang akan kamu lakukan. Hijab adalah perisai bagi wanita yang menjaganya dari,”
“Fitnah dan bahaya.” Kata-kata itu tiba-tiba berkelebat di kepalaku, aku bahkan tidak sadar mengatakannya. Aku hanya merasa potongan kata itu tepat dengan apa yang papa katakan sebelumnya.
Mata papa membesar, “Kok kamu tahu apa yang akan papa katakan?” Papa menatapku lama, menunggu jawaban. Aku tidak menyangka bahwa papa berpikiran seperti itu juga. Aku hanya terdiam, tidak tahu mau menjawab apa.
Umurku hampir menginjak 20 tahun. Dan hampir selama itu aku mengekspos rambutku ke seluruh dunia. Kedua orang tuaku memang bukan orang yang sangat agamis dan lingkungan hidupku di sini juga terbilang tidak agamis. Namun mamaku berhijab lagi sejak dua tahun lalu dan aku mengikuti perkumpulan remaja islam disini-sesuai saran papa. Meskipun mamaku berhijab, aku sangat jarang bertemu dengannya sehingga semangat berhijabnya ketika beliau mendapat hidayah tidak tertularkan padaku. Tapi sepertinya Allah memiliki jalan lain dalam menunjukkan kasih sayangnya padaku.
Aku tersenyum pada cermin di hadapanku. Yang sedang kulihat didepanku itu, sungguh cantik dan anggun. Kain sutra berwarna ungu yang sedang kugunakan di kepalaku terlihat cocok dengan balutan blus putih favoritku. Aku mengangguk beberapa kali, berusaha menguatkan hati untuk menutup auratku mulai hari ini. Ini adalah perintahNya, dan rambutku adalah perhiasan yang tidak boleh sembarang orang melihatnya.
Tiba-tiba papa melewati kamarku dan terpana melihatku. Beliau masuk ke kamarku dan tersenyum. Ini adalah pertama kalinya aku menggunakan hijab selain ketika aku akan shalat. Aku yang biasanya hanya menyelempangkan hijab di rambut, kini menggunakannya dengan benar, dan papa tahu pasti apa maksud dari semua ini.
“Pa.... apa akan lebih baik jika Leona berhijab?” tanyaku. Mata papa berair, dan sambil mengelus puncak hijabku papa berkata, “Papa akan sangat bersyukur jika kamu memilih ini. Karena yang lebih cocok menjadi mahkota bagi seorang wanita bukanlah rambutnya, tapi hijabnya.”

Hatiku berdesir mendengar apa yang papa katakan. Aku pun melihat pantulan diriku sekali lagi di cermin dan mengangguk mantap. Papa ikut mengangguk senang. Aku tersenyum bahagia karena bisa membuat papa senang. Dan aku tahu, akan ada satu orang lagi yang senang dengan keputusanku ini.

No comments: