Sunday, August 7, 2016

Bismillah, I am Back

“Allah always have the best plan for us. Oh, really?”

Angin berhembus kencang menusuk-nusuk kulitku yang memerah. Meskipun sudah memakai jaket bulu yang tebal, angin sungguh sanggup untuk tetap membuatku menggigil hebat. Kurapatkan kedua tepi jaketku yang sudah menempel. Kuelus-elus bulu yang bertengger di ujungnya untuk mendapatkan kehangatan.
Tiba-tiba sesuatu dalam tasku bergetar. Sontak kumasukkan tanganku acak mencari benda yang bergetar itu. Tepat ketika aku memegang benda itu aku langsung memencet tombol berwarna hijau yang menyala-nyala. Sebelum aku menjawab sapaan dari seberang, kuhembuskan napas berat, warna putih keluar bersusulan dari mulutku.
            “Iya.... Hm... iya..... aku bentar lagi nyampe di katedral kok, jemput Pere1.” Suara diseberang semakin lama semakin mengecil hingga akhirnya menghilang. Aku langsung melemparkan pandanganku pada jalan yang terbentang di depan dan berjalan lebih cepat lagi. Pere sudah menungguku.
            Langkahku memelan ketika sebuah bangunan megah berada di hadapanku. Dilatarbelakangi oleh menara Eiffel yang puncaknya sudah hampir memutih, Katedral Pantekosta terlihat sangat anggun. Sesaat, aku menimbang-nimbang apakah aku harus masuk atau tidak. Aku kan, bukan termasuk jemaatnya. Tapi karena keadaan sekitarku semakin terasa menusuk dan membuatku sesak, kuputuskan untuk mencari kehangatan di dalam.
            Ini bukan pertama kalinya aku masuk ke gereja, mungkin sudah yang kedua atau ketiga kalinya. Dan setiap aku melakukannya, rasa ingin tahuku tergelitik dengan hal apapun yang berada di dalamnya. Beruntung, tepat ketika aku masuk ke dalam, sebuah tangan besar dengan sweater yang kukenal langsung memelukku erat. Hal ini membuatku tidak perlu bertanya-tanya lagi pada pastor tentang apa yang sedang dilakukan di dalam.
            Aku adalah anak tunggal dari sepasang suami istri yang memiliki perbedaan kepercayaan. Pere adalah seorang kristiani sedangkan mama adalah seorang muslimah. Hidupku bahagia dengan itu dan aku cukup mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuaku, meskipun sekarang mereka telah bercerai.
Kini aku hidup dengan pere di Paris. Pere dipindahkerjakan oleh perusahaannya tujuh tahun lalu kesini. Itulah hal yang membuat kedua orangtuaku berpisah. By the way, aku selalu menganggap bahwa hidup adalah sebuah pilihan. Maka ketika pere mengajakku untuk tinggal bersamanya disini lima tahun yang lalu, aku langsung mengiyakan. Lagi pula, kapan lagi aku akan mendapatkan kesempatan seperti ini?
            “Leona, nanti malam kamu mau dimasakin apa?” tanya pere tiba-tiba. Mata biru lautnya menatapku intens, membuatku terpesona. Aku hanya menaikkan bahu. Diam-diam aku tersenyum, sepertinya aku tahu kenapa dulu mama jatuh cinta pada pere.
            “Maaf, ya Leona pere lagi manja nih. Pere lagi kangen sama kamu.” ujarnya lalu menepuk-nepuk wajahku di dalam tangannya yang besar. Aku tersenyum semanis mungkin dan mengangguk, “Aku gapapa kok Pere, aku juga kan kangen sama Pere.” jawabku mantap. Bola matanya bersinar lalu menggandeng tanganku pelan, “Kita pergi keluar aja yuk malam ini.” Aku mengangguk setuju.
--
            “Assalamu’alaikum sayang, gimana kabar kamu disana? Apa rencana kamu hari ini sama papamu?” suara lembut mama menyapa telingaku di pagi yang dingin ini. Aku menyahut asal karena baru saja bangun.
            “Waalaikum salam. Gatau nih, disini kan ga lagi weekend mam, jadi palingan aku sekolah dan Pere kerja kaya biasa.” Aku berusaha untuk merenggangkan badanku sambil mendengarkan mama yang mulai berceloteh seperti biasa.
            Mama selalu bercerita banyak padaku setiap kali menelepon. Dan kali ini mama bercerita tentang acara liqo yang diikutinya kemarin dan merasa sangat puas dengan pembicaranya. Ia bahkan sedang mencoba untuk berbisnis dengan pembicara itu. Seperti biasa, ketika mama sedang bercerita, akulah yang akan menjadi pendengar setia mama.
 “Udah salat, sayang?” aku tersentak dengan pertanyaan yang tiba-tiba mama ajukan, bingung harus menjawab apa. Pasalnya, aku baru saja bangun ketika mama menelepon.
            Akhirnya aku menggeleng, meskipun aku tahu mama tidak bisa melihatku, lalu dengan gelagapan aku menjawab, “Belum, mam. Nanti aja.” Terdengar desahan napas panjang dari ujung sana yang membuatku merasa bersalah. Suara mama melemah, “Yasudah, tapi solat ya, jangan lupa. Oh iya, ingat Leona. Allah always have the best way for us.” ucap mama, aku hanya mengangguk tidak pasti.
Berhubungan dengan apa yang mama ucapkan, sebenarnya terkadang aku bertanya-tanya, ‘jalan apa’ yang mama maksud. Tapi, aku tidak pernah berani ‘bertanya betulan’ padanya. Semua pertanyaan itu hanya kubiarkan berkelana bebas dalam benakku. Yang membuatku jenuh adalah kenyataan bahwa mama selalu mengucapkan kalimat itu setiap kami akan memutuskan telepon. Mama sangat memercayai quote itu. Aku? Yah, mungkin percaya.
--
            “Halo, Leona, assalamualaikum.” Dion, orang yang beberapa bulan terakhir menghantui mimpiku, menyapaku dan berjalan ke arahku. Aku mengangguk ke bawah, pura-pura tidak tertarik padanya dan sekuat mungkin menahan keinginanku untuk menjelajahi wajah indonya.
“Leona?” orang itu memanggil namaku lagi ketika aku tidak juga membalas tatapannya.
“Ya?” akhirnya, kuangkat kepalaku dan berusaha untuk tersenyum padanya.
Bukannya membalas senyumku, dia malah mengangguk-angguk puas. “Aku mau pamit, nih Len,” ujarnya tiba-tiba. Aku terbelalak dan tanpa sengaja menyahut “Hah?”. Dia tersenyum sambil mengajakku duduk di kursi taman sebelah kami untuk menjelaskan alasannya. Aku mengikutinya pelan.
“Aku mau pulang ke Indonesia. Studiku udah selesai disini. Lagian, disini juga ngapain, bosen. Mendingan buka praktek yang bermanfaat di Indonesia sana.” ujarnya tenang. Keningku bekerut heran. Hei, ini kan Paris. Bisa-bisanya dia bosan berada disini, ckck.
“Jadi.... aku mau pamitan.” tambahnya lagi.
“Kapan pulangnya?” tanyaku spontan.
“Lusa nih kayanya. Kenapa? Mau ikut?” Aku memberengut ketika ia tanya begitu.
“Kamu aja deh yang pulang. Aku masih betah disini.” jawabku selanjutnya. Tiba-tiba mata hazel itu menelitiku dari atas kebawah lalu tersenyum simpul.
“Wah, gimana ini, aku pasti kangen kamu.” ujarnya pelan. Kurasakan pipiku memanas, pasti merona dia bilang begitu. Dia tetap menatapku, menunggu jawaban. Aku hanya menunduk salah tingkah.
 “Le, jangan lupa sama Allah, ya. Allah itu harus selalu menjadi nomor satu.” tambahnya pelan. Aku merasa tersentil. Apasih maksudnya? Mengingat Allah? Kapan terakhir kali aku melakukannya? “Ya?” tanyanya lagi. Aku mengangguk pelan.
“Salat, Le. Itu yang terpenting. Salat itu tiang agama. Kalo kamu ga salat, imanmu dipertanyakan. Jangan cuma jadi islam KTP, emangnya kamu mau masuk surganya juga cuma di KTP doang?” Aku mendesah tak rela. Dion memulai ceramahnya sebelum ia pergi. Aku hanya bisa tersenyum hambar disetiap dia menatapku. Dion memang taat beribadah dan sebenarnya hal itu yang membuatku jatuh hati padanya. Tapi, ini kan pertemuan terakhir kami. Masa dia malah menceramahiku? Aku mendengus kesal.
--
“Lying down, underneath the stars thinking about the way you look....” ponselku bergetar. Dengan sigap, aku langsung mengangkat telepon yang berasal dari getaran ponselku tadi.
“Leona?” tanya suara di seberang.
“Ya?” jawabku spontan. Orang yang menelponku rupanya sedang buru-buru karena ia langsung menjawab. “Mamamu kecelakaan. Kecelakaan beruntun. Ia terhimpit mobil. Sekarang sedang berada di RSCM.” ujarnya cepat. Aku membelalak tak percaya. Bisa kurasakan keringat langsung membanjiri tengkukku dan tanganku bergetar hebat. “Ma.... mama.... kecelakaan apa?” seketika runtutan cerita meluncur dari suara diseberang yang kukenali sebagai suara tanteku. Lututku melemas dan ponselku langsung jatuh entah kemana.
--
“Sayang, pere yakin mamamu gak akan apa-apa kok. Dia kan kuat, just believe that.” ujar pere yang sedari tadi menenangkanku. Tadi aku sedang sarapan dengan pere dan tiba-tiba saja ponselku bergetar. Pere kaget karena aku tiba-tiba terjatuh dan hampir pingsan ketika aku mengangkat ponsel. Untung saja pere cekatan dan langsung bisa menebak apa yang bisa terjadi. Alhasil, pere sekuat tenaga menenangkanku yang shock tiba-tiba. Tapi entah, aku bahkan tidak bisa mendengar apa yang pere katakan. Aku terlalu tuli untuk itu sekarang. Satu-satunya hal yang masih terngiang di telingaku adalah ketika tante bilang bahwa mama kecelakaan dan runtutan kejadiannya yang mengenaskan. Oh Tuhan, kenapa orang sebaik mama yang harus mendapatkan musibah separah itu? Berita ini sungguh membuatku takut.
Aku gemetar, membayangkan kemungkinan terburuk yang akan menimpa mama. Kugosok mataku yang perih karena belum berhenti menangis sejak tadi. Oh, mama... Beberapa saat pere pergi dari sisiku dan langsung memesan dua tiket menuju Jakarta. Ketika pere kembali, aku masih menggigil hebat ketakutan.
Pikiranku melayang lagi. Mulai terbayang di pelupuk mataku jika aku kehilangan mama. Aku pasti akan merindukan suaranya, aromanya, derai tawanya, senyumnya. Ya Tuhan.... aku bahkan sudah mulai rindu padanya.
Skeptis, aku menyalahkan semua kejadian ini pada Allah, tuhanku dan mama. Hanya Dialah dzat yang bisa ikut campur dalam urusan ini. Lalu, sebagai Maha Bijaksana, dimana keadilanNya itu? Kenapa mama yang Allah hukum? Apa ini jalan terbaik yang Kau beri untuk mama? Aku merasa pilu, mama selalu memercayai kata-kata itu. Ya Allah, Jika memang ada yang salah dengan keluarga kami, kenapa bukan aku saja yang dihukum? Bukankah aku yang paling jauh dariMu ya Rabb? Ya Allah... kenapa Kau begitu kejam padaku? Aku menangis-lagi. Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya menghentikan tangis ini.
“Sayang, kamu udah bisa solat mayit, kan?” tanya mama sambil mengerling ke arahku. Aku tertawa mengejek, “Aduh, belum bisa nih ma. Lagian, buat apa?”tanyaku sambil merangkul mama. Mama menggeleng, “Iiih, kamu ini islam tapi kok gabisa solat mayit. Kalo mama yang meninggal, mama ga ridho loh kalo kamu ga nyolatin mama.” ujar mama. Sontak aku melirik mama,”Ih, mama apaan, sih? Kayak yang ngarepin mati aja.” Aku melepas rangkulanku sambil cemberut. Mama mendekatiku lagi lalu memelukku. “Kematian itu pasti, sayang. Pasti.” Hening.
 “Kalo mama yang meninggal, aku yang bakal urusin semuanya. Mandiin, nyolatin, nguburin, bersihin pusaranya, bahkan bacain Yasin tiap hari. Aku yang bakal lakuin, ma.”tambahku tiba tiba. Mama menatapku intens.
Cahaya menyilaukan berebut menelusup ke dalam mataku tepat ketika aku membuka mata. Aku mengangkat kepalaku pelan sambil memerhatikan sekitar. Rumahku sepi, tidak ada alunan instrumen mozart yang disukai pere seperti setiap sore. Terlalu hening. Tiba-tiba aku teringat mimpiku barusan. Aku menghembuskan napas berat, kenapa aku malah bermimpi seperti tadi? Apa itu..... tanda? Aku menggeleng pelan, menahan cairan bening yang mendesak untuk keluar lagi dari mataku.
Untuk menahan cairan ini keluar, aku bangkit dan memaksa diriku bekerja secepat mungkin untuk mencari pere. Aku menyusuri ruang keluarga dan dapur. Tidak ada. Dimana pere? Namun, sesampainya di kamar pere, aku terpaku.
Ribuan rasa bersalah menyergapku. Hening dan sepi menyatu menjadi satu membuat pere terlihat bercahaya dan sangat khusyu dalam berdoa. Tanpa harus dikatakan, aku tahu apa yang pere sedang doakan. Ya, pere sekarang sedang berlutut di hadapan patung bunda maria sambil menelungkupkan tangannya di dada. Ia menunduk dalam sambil beberapa kali mengambil napas berat. Tiba-tiba pere melihat ke arahku dan tersenyum.
“Mau berdoa juga, Leona?” tanyanya. Aku tersenyum ke arahnya. Setelah itu pere melambaikan tangannya, memintaku untuk mendekat. Aku berjalan pelan. “Gimana? Kamu mau ikut berdoa juga ga buat mama?” tanyanya lagi sambil menunjuk ke patung bunda maria yang berada di depanku. Aku membelalak kaget. Maksud pere.... namun tiba-tiba pere langsung terbahak beberapa saat setelah melihat ekspresiku.
“Hahaha, bukan itu sayang maksud pere. Bukan.” Pere mengelus puncak kepalaku lalu melanjutkan, “Kalo kamu mau, pere mau nyiapin mukenanya, maksudnya. Kamu jangan pura-pura kaget gitu ah.” tambahnya.
Aku baru bisa menangkap maksud pere beberapa detik setelahnya. Dan ketika aku menyadari apa maksud pere, ada rasa penasaran menghampiriku. Berdoa juga? Bolehkah? Kapan terakhir kalinya aku berdoa padaNya, ya? Jika sekarang aku berdoa, masihkah Dia mendengar doaku? Tiba-tiba ucapan mama terngiang di telingaku, “Allah selalu punya jalan yang lebih indah untuk kita.” Really? What way? Inikah? Pray for mom? Dengan cara bertaubat? Aku menghembuskan napas pelan. Yah, apa salahnya mencoba. Lalu aku mengangguk ke arah pere.
Aku merasa sangat nervous, aku bahkan bisa mendengar detak jantungku yang bertalu-talu ketika aku memakai kain putih suci di atas kepalaku. Ringan dan nyaman sekali rasanya. Ketika aku hendak mengangkat tanganku untuk mendirikan salat maghrib, karena kusadari ini masih jam maghrib, tanganku bergetar hebat tapi anehnya tidak sama sekali terasa berat. Aku menghembuskan napas pelan. Bismillahirrahmanirrahim. Allahu akbar.
Fiuh, ini adalah salat pertamaku setelah sekian lama aku meninggalkannya. Hatiku rasanya damai sekali. Aku tidak pernah menyangka bisa setenang ini ketika mama sedang sekarat. Dalam doa, kuminta segala hal yang kuharapkan untuk mama. Meminta ridhonya dalam doaku, memintakan maaf atas dosa-dosa mama and especially, meminta agar mama cepat disembuhkan. Setelah itu, aku tersungkur dalam sujud dan tangisku hingga waktu isya datang. Sudah waktuku untuk bertaubat.
Keesokan harinya, aku merasa baru. Semenjak salat maghrib kemarin, aku berkomitmen penuh untuk selalu menjalankan kewajibanku sebagai hambaNya. Since yesterday, I just realize that I believe in God and my only one God is Allah SWT. So I should have to respect Him as best as I can.
Kemarin, setelah selesai salat dan berdoa aku merasa tenang luar biasa dan yang aneh adalah bahwa aku merasa tidak panik sama sekali. Ditambah lagi sejam setelah itu, tante menelepon bahwa masa kritis sudah berhasil mama lewati dan bahkan mama sudah sempat sadar kemarin malam. Sekarang mama hanya tinggal dirawat beberapa hari lagi untuk menyeimbangkan keadaan tubuh mama yang masih shock akibat kecelakaan yang mama alami. Dan, hal itulah tambah yang membuatku yakin bahwa Dia menerima taubatku. Hal itu pulalah yang membuatku sadar bahwa aku harus berubah. Ya Rabb, I am back in Your way.
Aku tersenyum pada cermin di depanku. Yang sedang kulihat didepanku itu, sungguh cantik dan anggun. Kain sutra berwarna ungu yang sedang kugunakan di kepalaku terlihat cocok dengan balutan blus putih favoritku. Aku mengangguk beberapa kali, berusaha menguatkan hati untuk menutup auratku mulai hari ini. Aku kan, sudah baligh.
Bahkan, pere yang awalnya hanya lewat saja terpana ketika melihatku. Ia mendekat lalu langsung menciumi keningku beberapa kali. Ia memelukku seraya berkata, “Alhamdulillah, ya Leona. Alhamdulillah.” Aku mengangguk dalam pelukannya karena mengerti apa yang sedang pere maksudkan. Mama. Ya, sudah lama sekali mama ingin melihatku berjilbab. Dan pere sangat menyukai seorang wanita yang berjilbab, menawan, katanya. Bahkan konon dulu pere jatuh cinta pada mama karena jilbab panjang yang menempel pada mama.
“Pere, kita jadi kan ke Indonesia?” tanyaku penuh harap. Tanpa menunggu lebih lama lagi, pere langsung mengangguk. Aku tersenyum berterimakasih pada pere, “Bagus deh soalnya aku mau ngasih seseorang kejutan.” Pere tersenyum puas.
--
Sinar terik matahari dan aroma bandara yang penuh sesak langsung menyambutku ketika aku baru saja menginjakkan kaki lagi disini. Bandara Soetta tidak berubah sama sekali semenjak kepergianku beberapa tahun lalu. Tetap ramai dan penuh dengan orang yang hilir mudik dengan urusannya masing-masing. Dan tentu saja, orang-orang pribumi dan gayanya yang kurindukan. Aku memutar kepalaku pelan sambil mencari orang yang akan menjemputku. Aku tidak bersama pere karena kemarin aku ada ujian kenaikan tingkat di sekolah. Sehingga pere berangkat kemarin dan aku berangkat sendiri hari ini.
Rencananya, mama sendiri yang akan menjemputku disini. Meskipun mama masih perlu dirawat, mama meminta izin mati-matian pada dokter untuk menjemput anaknya yang merantau sudah lama ke negeri orang. Awalnya dokter tidak mengizinkan. Menghilangkan fobia dan memulihkan kesehatan mama yang mengalami kecelakaan beruntun tentu tidak semudah itu, bukan? Tapi ketika pere datang dan berjanji untuk menjaga mama akhirnya dokter itu mengizinkan.
Seketika aku terpaku pada sosok seorang wanita yang terduduk di kursi roda dan sedang menatapku. Dress bercorak sakura dan jilbab yang melekat padanya sangat kukenali. Di belakangnya terdapat seorang pria paruh baya yang dengan sepenuh hati mendorongkan kursi roda sang wanita. Aku terdiam di tempat beberapa saat ketika wanita itu melambai ke arahku. Mama... Aku menunduk. Oh, tidak. Aku tidak boleh menangis di saat seperti ini.
Mama dan pere mengambil langkah mendekat ke arahku dan saat itu juga aku langsung berlari ke arah mereka tanpa peduli dengan tatapan aneh banyak orang. Aku rindu, sungguh sangat rindu mama. Ketika sampai di depannya, aku berlutut di bawah kakinya dan memeluknya erat. Mama memelukku balik dan kurasakan mataku basah dan airnya merembes pada jilbabku dan jilbab mama. Mama mengusap mataku pelan dan menggeleng, aku tidak boleh menangis di saat sebahagia ini, katanya. Aku mengangguk dan menghapus air mata yang masih menggenang di pelupuk mataku. Aku pun mulai bercerita pada mama tentang perjalanan perdanaku pulang ke Indonesia sendirian. Mama juga ikut bercerita tentang betapa ia tidak sabar menungguku pulang sejak kemarin. Plus, tidak lupa mama juga melontarkan pujian atas keanggunanku memakai jilbab.
“Ehem, kangen sih boleh tapi ga nyampe ninggalin koper di tengah jalan juga dong.” Seketika aku mendengar suara yang sangat kuhafal di belakangku. Aku menepuk kepalaku pelan, masa sih ini benar suaranya? Bagaimana bisa? Mungkin, karena ini Indonesia aku juga jadi rindu padanya, pikirku.
“Wah, apa iya ditinggal disana, Dion? Wah, bahaya sekali ya.” ujar mamaku tiba-tiba. Aku heran dan akhirnya membalikkan badanku. “Halo.” Sapanya. Aku menganga kaget. Kenapa bisa? Pere yang mengerti keadaan langsung menepuk pundak Dion pelan sambil menjawab rasa penasaranku.
“Kamu harus bilang makasih sama dia. Dia orang yang nekat untuk menyelamatkan mamamu dari himpitan mobilnya yang sudah rusak. Kebetulan, dia juga seorang dokter. Jadi dia langsung melarikan mamamu dan korban lainnya ke rumah sakit terdekat.” ujar pere pelan. “Ayo kena...” sebelum pere menyelesaikan ucapannya, Dion sudah memotongnya sopan.
“Halo, Leona, apa kabar?” tanyanya. Pere membelalak bingung, lalu menatapku dan Dion bergantian. Mama yang melihatnya langsung mengambil alih keadaan, “Kamu ini gak tau ya kalau mereka teman se-almamater di Paris?” kerling mama pada pere. Pere tambah membelalak. Aku mengangguk pada pere, mengiyakan perkataan mama barusan. Lalu tatapanku beralih pada Dion yang sedang menatapku tepat di manik mataku. “Alhamdulillah.”
Setelah itu kami bergegas pulang ke rumah mama. Pere dan mama berjalan di depan sementara aku dan Dion berjalan beriringan tepat di belakang mereka. Sebenarnya, aku merasa salah. Masa dua pasang insan manusia yang bukan muhrim berjalan saling beriringan? Yang membuatku risih adalah kenyataan bahwa aku sangat nyaman berada di dekat laki-laki ini. Ya Allah, maafkan aku karena aku sangat rindu aroma laki-laki di sebelahku ini. Bahkan aku sempat merasa waktu berhenti berputar ketika Dion menatap manik mataku.
“Leona, like what I said before that  you will look perfect when you wear a veil. And you prove it now. Now, you are crazily beautiful, Leona.”aku merasa malu luar biasa ketika kurasakan pipiku memanas mendengar Dion berkata seperti itu.
“Oh yah I ever thought about it before, but in that time I just feel wrong. But I am totally serious now.” ujarnya tiba-tiba.
Keningku berkerut, mulai tertarik dengan pembicaraan abstrak ini. “What that was mean, Dion? What do you just talk about?” tanyaku. Dion tiba-tiba berhenti berjalan dan memandangku lekat.
“Aku tahu kamu yang sekarang pasti sudah berbeda dengan kamu yang kutemui beberapa bulan lalu. Aku tahu, kamu yang sekarang jauh lebih dewasa dari kamu yang kemarin. Maka dari itu sebelum ada yang membuatku menyesal, aku akan memutuskannya sekarang.” jawabnya. Aku masih mengerutkan keningku lalu ikut berhenti berjalan di depannya. “Apaan, sih Dion? Aneh banget ih.” tanyaku tidak sabar.
Dion menangkap kedua bahuku di tangannya, memaksaku untuk langsung berhadapan dengannya. “Sekarang, aku sudah yakin dengan pilihan hatiku, Leona. Cepat atau lambat, kamu harus mengetahui tentang hal ini. Sudah sejak lama aku memiliki perasaan ini padamu namun selama ini aku masih ragu. Ketika aku harus meninggalkanmu kemarin itu, aku merasa sebagian jiwaku tertinggal di kota yang sudah membuatku jatuh cinta. Tapi sekarang aku sudah mantap. Aku bersyukur karena ternyata Allah mengabulkan permintaanku. Aku pernah meminta, jika kamu memang orang yang Ia pilihkan untukku, aku ingin Ia memberiku petunjuk. Dan dengan kamu menggunakan jilbab sekarang, itu sudah lebih dari cukup sebagai jawaban dariNya.” ujarnya yang sukses membuatku menganga lebih lebar.
Dion menatap mataku lekat, “Leona, will you marry me?”
Pertanyaan tiba-tiba itu sukses membuatku terlihat seperti ubi rebus. Aku menunduk dalam, tidak berani untuk menantang matanya yang sedang mencari-cari tatapanku dalam matanya. Aku kaget, kenapa tiba-tiba Dion mengatakannya di saat seperti ini? Aku melirik mama dan pere yang ternyata ikut-ikutan mendengarkan percakapan kami sedari tadi dari depan mobil. Mereka tersenyum dan mengangguk setuju. Sepertinya, Dion sudah berhasil memenangkan hati kedua orang tuaku. Oh, bahkan dia sudah mencuri hatiku jauh sebelum itu.
Ketika aku belum juga menjawab pertanyaannya, dia menatapku salah tingkah. “Jangan salah sangka, Leona. Aku begini bukan karena aku ingin menikah muda. Tapi, bukankah semuanya akan menjadi lebih indah ketika kita melaksanakannya sesuai dengan syariat dan perintahNya?” pada titik ini, aku baru bisa menatap matanya dan ribuan rasa syukur langsung kupanjatkan padaNya. Dengan menyebut asmaMu ya Allah, aku mengangguk di hadapannya dan di hadapan kedua orang tuaku. Dion terlihat lega. Baik mata dan bibirnya mengulaskan senyum penuh syukur yang membuatku jatuh hati lagi padanya.

Terjawab sudah pertanyaanku selama ini. Ya, Allah memang memiliki rencana yang lebih indah untuk kita. Bahkan, yang terbaik untuk kita. Just believe Him in everything He give to us.

No comments: