Angin berhembus kencang
menusuk-nusuk kulitku yang memerah. Meskipun sudah memakai jaket bulu yang
tebal, angin tetap bisa membuatku terus menggigil. Kurapatkan tepi jaketku yang
sudah menempel sambil mengelus bulu di ujungnya untuk mendapatkan kehangatan.
Ya Tuhan, ternyata dingin ini masih sanggup menyentuhku meski aku sudah
menutupi badanku dengan jaket setebal ini. Angin memang selalu bisa menembusku hingga membekukan hatiku. Seperti setiap waktu di kala itu.
Sesaat, aku terdiam memandangi
bangunan yang ada di depanku. Aku mendesah pelan. Mungkin dingin yang sangat
menusuk ini membuyarkan pikiranku dan membuat kaki ini menuntunku untuk
berjalan kesini, Kaffa Cafe. Aku
melirik slogan kafe yang tertulis jelas dipapan depan dengan tulisan emas itu,
‘You’ll never be able to forget your feeling here.’ Masih belum berubah. Aku
mendesah, yes, you got me Kaf. Ah, sial. Aku menyebut namanya.
Angin lagi-lagi berhasil menelusup
kedalam jaketku dan membuat tubuhku bergetar. Sudah empat tahun. Mungkin sudah
saatnya aku mampir ke tempat ini-lagi, mencicipi rasa yang diam-diam
kurindukan, rasa yang sudah kukubur dalam dasar hatiku sendiri. Kupegang daun
pintu itu erat dan mendorongnya hingga suara decitan yang dulu kusukai terdengar.
Aku berjalan menuju bagian front untuk memesan kopi yang sekiranya
bisa menghangatkanku. Sambil mengantri, kuamati setiap sudut kedai kopi ini.
Suasananya masih sama, masih tetap hangat seperti dulu, hanya ukurannya saja
yang sepertinya semakin besar, dan pelanggannya semakin banyak. Biasanya aku
tidak perlu mengantri lama untuk mendapatkan secangkir kopi. Ah, bahkan aku
tidak perlu mengantri seperti ini dan tidak perlu memesan kopi. Dia-baristaku-akan
langsung membuatkan kopi favoritku sesaat setelah ia melihatku masuk ke kedai
ini. Penasaran, kulemparkan
pandangan keseluruh bagian kedai, harap-harap cemas akan keberadaannya. Tiba-tiba,
aku menyadari sesuatu dan langsung memukul kepalaku sendiri. Bodoh, jika dia
ada disini dan melihatku, apa yang akan aku katakan? Ah sudahlah, lebih baik
aku berhenti memikirkan kemungkinan itu sehingga aku bisa menghangatkan diri
dengan tenang.
“Pesan apa, mbak?” Tanya barista
didepanku yang sukses membawa pikiranku kembali pada kedai ini.
Aku melihat menu sejenak, “Cappucino
plain yang dulu udah nggak ada, ya?” tanyaku padanya. Barista itu tersenyum
sopan padaku, “Dari dulu cappucinonya
tidak ada yang plain, mbak.”
Keningku berkerut, “Ada, kok mbak. Dulu saya selalu
beli itu kalo…” Hatiku mencelos saat menyadari sesuatu. Jangan-jangan…
“Jadi mau pesan apa mbak?” tanyanya memastikan
sambil melirik pada antrian di belakangku.
Aku menatap barista di depanku sejenak, “Cappucino
yang ada aja mbak kalo gitu.” Ujarku. Barista tersebut mengangguk dan
mengangsurkan kopi pesananku. Aku mengambilnya dan langsung mencari kursi
kosong terdekat. Dan bodohnya, tempat itu berada jauh di pojok kedai.
Aku menyimpan tas yang kubawa dan melepas sarung
tangan yang sedari tadi menghangatkan tanganku. Sore ini, aku baru pulang dari
kursus merajut dan berniat untuk membeli sepasang sepatu yang sedikit hangat di
jalanan sekitar sini. Musim baru berganti. Angin yang sedang berhembus kencang
sering kali menggoda alergiku dan membuatku bersin berkali-kali hampir di
sepanjang hari. Bukan karena flu, tapi karena aku memang alergi dingin. Jika
salah satu bagian dari tubuhku kedinginan sedikit saja, hidungku dengan cepat
akan bersin berulang-ulang hingga badanku sedikit lebih hangat. Yah, memang
alergi yang cukup merepotkan. Karena itulah hari ini rencananya aku akan
mempersiapkan amunisi selama musim pancaroba ini. Kukira, aku akan kembali
kerumah dengan senyum mengembang karena
bersin tidak akan mengangguku lagi. Namun siapa sangka, aku malah berakhir di
tempat ini.
Aku menggenggam cangkir kopiku erat. Rasa hangat
menjalar dari tangan ke seluruh tubuhku. Aku menghembuskan napas, ah hangat
yang sungguh membuatku nyaman. Rasa nyaman ini mampu secara otomatis
menggerakkan bibirku pada kedua ujungnya. Akupun menyeruput cangkir kopiku yang
ternyata sukses membuat senyumku menghilang. Bukankah cappucino yang diberi
topping seharusnya lebih enak dibanding yang plain? Lalu kenapa aku merasa
kosong ketika meminum kopi ini? Rasa hangat yang tadi sempat bersarang di
tubuhku menguap tiba-tiba dan angin-angin berhasil mengganggu tubuhku lagi.
Sepertinya aku akan menghabiskan kopi ini dengan
cepat dan langsung pulang. Tepat ketika aku memutuskan untuk segera pulang,
awan tiba-tiba mendung dan hujan turun dengan deras. Rintikan hujan yang
bergerombol itu terlihat sangat ganas dari kaca kedai disebelahku. Aku merutuki
kesialanku hari ini. Kenapa harus hujan disaat aku kedinginan dan… di tempat
ini? Dengan cepat aku memakai sarung tanganku lagi dan mengeluarkan laptop.
Mungkin sebaiknya aku mengerjakan beberapa artikel disini, artikel yang deadlinenya
itu besok tentunya. Ya, aku harus cepat mengerjakannya. Kedai ini sekarang pasti sudah memiliki wifi, kan?
Kukeluarkan headset dari dalam tasku, sepertinya keramaian di kedai ini tidak
akan membantuku untuk berkonsentrasi. Tepat sebelum aku menempelkan heasdset ke
telingaku, lagu itu menggema di seluruh ruangan. Kegiatan yang kulakukan
terhenti. Lagu itu adalah lagu yang
selalu kuputar ketika aku menyadari satu hal yang sudah tidak dapat kuubah.
Lagu yang selalu sukses membawaku kembali pada kenangan masa itu. Masa ketika
aku menikmati hariku dengan Kaffa.
“Tak ku mengerti mengapa
begini, waktu dulu ku tak pernah merindu, tapi saat semuanya berubah, kau jauh
dariku pergi tinggalkanku.”
--
“Kaaaf,
kopi biasa yaa.” Teriakku seraya langsung
menduduki kursi paling pojok dari kedai ini. Kursi yang langsung berhadapan
dengan pemandangan taman di depan kedai. Spot favoritku. Kaffa seperti biasa
akan mengangguk asal dan langsung menggunakan celemek baristanya. Dia akan menikmati
saat-saat ia menuangkan kopi keatas cangkir selagi aku tersenyum-senyum sendiri
mendengarkan lagu favoritku.
“Here
is the coffee, tuan putri.” Sindirnya sambil meletakkan cappuccino plain dengan
bentuk hati diatasnya. No topping, karena aku tidak menyukai topping. Aku
tersenyum sambil menyeruput kopi buatannya. “Manis”
“Thanks,”
jawabnya spontan, aku hanya mengerutkan keningku, hei, aku mengatakannya bukan dengan
maksud untuk memujinya. Tiba-tiba aku memiliki ide jahil, “Aneh, harusnya
cappuccino itu sedikit pahit, loh. Tapi yang ini manis.” Lanjutku. Kaffa dengan
bangga tersenyum di depanku,menyombongkan dirinya.
“Ah, aku tahu, pasti ini karena yang minumnya
manis kan.”lanjutku. Kaffa berdecak dan menyentil kepalaku kesal.
“Terserah
lo deh, gue mau ambil minum dulu.” Kaffa pun berjalan pergi bersamaan dengan
tawaku yang membahana di kedai yang masih sepi ini.
--
“Gimana
menurut lo sama pilihan slogan gue?” Tanya Kaffa. Aku pura-pura tidak
mendengarnya dan tetap membaca novel Sherlock Holmes yang kupegang. Tiba-tiba
novel itu terbang di depanku dan beralih ke tangan Kaffa. Ia berkacak pinggang
dengan wajah kesalnya dan mengulangi pertanyaannya, “Jadi?” Aku mengangkat
tangan sambil membaca selembaran yang diangsurkan Kaffa ‘You’ll
never be able to forget your feeling here’,
Tunggu, kenapa slogannya…“Boleh jujur, nih?”tanyaku. Kaffa mengangkat bahunya.
“Slogannya
terlalu cheesy sih, seolah-olah lo maksa orang yang datang kesini buat jatuh
cinta. Padahal kan nggak semua orang bisa jatuh cinta sama kopi disini.”
Ujarku. Kening Kaffa mengerut dan ia berkata cepat “Apa gue ganti aja?” Hmm, sebenarnya
slogannya tidak seburuk itu, aku hanya sedikit lucu saja ketika membayangkan Kaffa yang
mengucapkannya. Kaffa mulai sibuk membuka buku quotes jadul yang dibelinya
kemarin. Ah, aku harus menghentikan Kaffa. Mungkin lebih baik slogan tadi daripada
ia memilih quotes jadul yang lebih tidak cocok dengan konsep kedainya.
“Eh,
tapi Kaf, dipikir-pikir oke sih slogannya. Overall, aku bisa nangkep feel yang
kamu maksud disini. Anyway, aku beneran jatuh cinta kok sama kopi disini.”
Tambahku.
Kaffa
mengangkat wajahnya dramatis, “Lo jatuh cintanya sama kopinya atau sama yang
buatnya?” godanya dengan bercanda. Aku pura-pura berpikir lama untuk menjawabnya,
lalu tiba-tiba aku tersenyum dan menjawabnya dengan jokes yang sama, “Sama yang
buatnya lah.”
Kaffa tersenyum bangga sambil mengedipkan
matanya genit, “Iyadong, kan cuma gue yang bisa bikin kopi favorit lo.” Dan kamipun tertawa
bersama.
--
Aku dan Kaffa bersahabat dari kecil-sejak kami
pertama kali bertemu di TK. Kami bersahabat karena banyak kesamaan yang kami
miliki, mulai dari warna kesukaan, hingga cara bercanda dan jokes favorit yang
sama. Entah mengapa, meskipun sebagian besar orang tidak menyukai jokes seperti
yang baru saja Kaffa utarakan padaku, aku menyukainya, dan bisa mengimbangi
jokes itu dengan jokes lain yang tidak kalah menyenangkannya bagi kami.
Kedai kafe ini baru dibuat oleh Kaffa sebagai bisnis
kecil-kecilannya dua bulan yang lalu. Tempatnya masih kecil dan masih menyewa,
yah namanya juga bisnis baru. Tanpa kusadari, Kaffa selalu menanyakan pendapatku
tentang konsep dan penataan suasananya padaku, meskipun aku tidak ikut andil
sama sekali dalam bisnis ini. Aku tidak suka bisnis, Kaffa tahu itu. Dan
hebatnya lagi, penataan kedai yang dilakukan oleh Kaffa sungguh sesuai dengan
seleraku. Kaffa juga tidak jarang meminta saran dariku untuk membuat kedai ini
menjadi lebih menarik. Satu hal yang membuatku kesal, dia tidak mau memasang wifi
di kedai ini, padahal hal itu akan menarik banyak sekali pelanggan. Sehingga
masalah yang satu itu seringkali menjadi sumber perdebatan kami. Dan yah, Kaffa
selalu menang dalam hal berdebat.
Persahabatan kami mengalir seperti air. Dan jujur,
aku sangat menikmatinya. Kaffa adalah kakak yang selalu ada untukku. Namun aku
tidak pernah menganggapnya lebih dari itu. Tanpa kusadari, persahabatan ini
sudah mengalir terlalu jauh sehingga Kaffa menganggapku berbeda. Entah sejak
kapan, aku jadi jarang datang ke kedai Kaffa. Mungkin sejak Kaffa menyatakan
perasaannya padaku di tempat itu. Sehingga setiap melihat atau datang kesana,
perasaanku sedikit terganggu dan rasa nyaman yang selama ini terpupuk di
hatiku, lenyap begitu saja. Mungkin aku kesal dengan pernyataan Kaffa yang
meretakkan persahabatan kami. Atau, mungkin aku sebenarnya hanya takut?
“Mungkin memang ku cinta, mungkin
memang ku sesali, pernah tak hiraukan rasamu dulu…”
Setiap lirik dari lagu itu menyayat
hatiku. Ya Tuhan, kenapa kenangan itu kembali disaat seperti ini. Sekarang aku
merasa sangat bodoh karena hampir menitikkan air mata di tempat aku memulai
semua perasaan ini. Sejak aku menjauhi Kaffa, aku tidak pernah datang ke kedai
ini lagi. Pernyataan Kaffa membuatku mundur dari persahabatan ini. Entah
kenapa, aku tidak ingin merusak persahabatan kami dengan bumbu ‘cinta’ yang
terdengar rapuh.
Selama ini aku bersahabat dengan Kaffa karena aku
percaya bahwa persahabatan adalah hubungan paling kuat yang membuat orang yang
menjalaninya akan saling menjaga. Tidak seperti hubungan cinta. Bagaimana bisa
kau bilang mencintainya ketika disaat yang sama kau menyakitinya? Dan aku tidak
menginginkan hubungan seperti itu
dengan Kaffa sehingga aku menjauh, Menjauh hingga tidak menyisakan sedikitpun
jejak bagi Kaffa. Kukira, dengan menjauh akal sehat Kaffa akan kembali dan
suatu saat ia akan pergi mencariku dan berkata bahwa aku benar. Bahwa tidak
perlu ada kata ‘cinta’ diantara dua sahabat. Namun ternyata aku salah. Sesaat
setelah aku pergi, kudengar Kaffa bertolak dari negeri ini dan tinggal di Swiss
bersama neneknya. Saat itu aku berpikir, ia sedang menjernihkan pikiran dan aku
mendoakan perjalanannya.
Namun semuanya berubah ketika suatu hari aku datang
ke kedai Kaffa Café dan mendapatkan sepucuk surat dibawah kopi pesananku. Surat
itulah-surat yang Kaffa buat sebelum dia pergi-yang berhasil memutar balikkan
pendirianku dan membuatku tertular kegilaan Kaffa. Ya, surat yang menjelaskan
segala kebenaran dari semua hal yang kami lakukan. Surat yang diam-diam selalu
kubaca lagi ketika aku sedang merasa sendiri. Surat yang selalu kubawa,
kemanapun aku pergi.
Sambil menahan tangis kuambil amplop biru laut itu
dari tasku dan membukanya-mencoba untuk meresapi setiap kata yang ada pada
kertas itu sekali lagi.
Nay, sebelum aku memulai cerita ini, aku ingin
meminta maaf padamu jika pengakuanku menganggumu. Aku mengatakan itu karena aku
merasa sudah terlalu lama menyembunyikan perasaan ini darimu-dan kau berhak
tahu tentang perasaanku. Aku tidak pernah memintamu untuk membalas perasaanku.
Aku hanya ingin kau mencoba memikirkan lagi hubungan kita ini. Kalau memang kau
memilih untuk pergi, aku maklum. Dan tenang saja, aku tidak akan meminta mu
memaafkanku lagi setelah ini karena aku tahu lama-lama kau juga bosan jika aku selalu
meminta maaf.
Nah,
sekarang izinkan aku bercerita. Kau tahu kan Nay, siapa orang yang selalu melindungiku
ketika kecil?Kamu. Selalu kamu.Dulu aku
bercita-cita menjadi pengusaha minyak yang sukses, ketika semua orang
menertawakanku karena cita-cita itu, kamu mendukungku. Ketika aku bercita-cita
untuk mendirikan sebuah bank-yang sebenarnya memang tidak masuk akal, kamu
juga membelaku. Kamu, dimataku adalah
peri yang dikirim Tuhan untuk selalu melindungiku. Maka ketika kita tumbuh
dewasa, aku merasa, akulah yang harus melindungimu.
Aku
tahu, kau suka cappuccino. Kau memang bukan penggila kopi, tapi kopi yang satu
itu merupakan teman begadangmu ketika kau mengerjakan tugas. Kau kaget kenapa
aku tahu padahal kau tidak pernah menceritakan hal itu padaku? Aku selalu memperhatikan
tumpukan sampah di rumahmu ketika kita ada banyak tugas. Dan aku selalu
menemukan tempat kopi yang sudah kosong disana. Namun aku juga tahu bahwa kau
tidak menyukai kopi sachet yang dijual dan biasa kau minum itu. Terlalu pahit,
kan? Sedangkan kau bukan penikmat kopi.
Maka
hari itu aku langsung pergi ke salah satu kedai kopi yang terkenal di kota kita
dan menanyakan pada baristanya bagaimana caranya membuat cappuccino yang tetap
memberi efek “bangun”, namun manis-dan tidak akan membuatmu gendut karena
kandungan glukosanya. Hari itu juga, aku mencoba resep yang diberikan barista
itu dan mengulangnya beberapa kali hingga aku mendapatkan takaran ‘manis’ yang
kamu suka. Dan setelah itu, aku tidak tahu kamu sadar atau tidak, aku mengganti
isi toples kopi-kopimu dengan kopi-kopi buatanku. Dan kulakukan hal itu hampir
setiap kamu membeli kopi baru-hingga kamu mengira bahwa kopi yang kamu beli
sudah berbeda rasanya.
Dan
sebenarnya yang mau kuceritakan disini hanya satu. Bahwa sejak hari itu, aku
menemukan diriku yang bebas ketika meracik secangkir kopi. Dan kepuasan sendiri
bagiku ketika orang yang kubuatkan kopi tersenyum setelah menimun kopiku. Maka
dari itu, aku memilih untuk membuat kedai kopi. Dan sesungguhnya aku ingin
berterimakasih padamu karena kamu lagi-lagi menjadi peri yang memberi inspirasi
untuk berbisnis bagiku.
Nah,
sampai disini sepertinya kamu sudah merasa lucu karena aku yang katanya ingin
melindungimu malah lagi-lagi merasa kamu adalah hadiah dari Tuhan untukku.
Makin tidak masuk akal bukan? Kuharap aku juga berpikir seperti itu. Namun apa
daya, aku malah menikmati setiap keberadaanmu dan berharap kau selalu ada
seperti itu di hidupku. Nah sesungguhnya karena inilah aku merasa berdosa jika
terus mengasumsikan keberadaanmu sesuka hatiku, makanya aku mengatakan padamu bahwa
kenyamanan yang kau beri padaku sudah melewati batas persahabatan, bahkan sejak
kita TK dulu, namun mungkin kau tak pernah sadar. Atau mungkin aku yang terlalu
salah dalam mengartikan setiap perhatianmu padaku. Apapun itu, yang jelas
dengan kepergianmu, aku mengerti. Bahwa ternyata aku yang terlalu berharap
padamu sehingga kau merasa risih terhadapku. Yah, biarlah kau pergi, yang jelas
Kaffa Café yang sekarang ada di hadapanmu ini merupakan bukti keseriusanku
bahwa aku pernah mencintaimu. –Kaffa
“Aku hanya ingkari, kata hatiku
saja, tapi mengapa cinta datang terlambat.”
Alunan
lagu Maudy Ayunda turut menggambarkan perasaanku. Ya, aku memang pergi, seolah
menolak Kaffa. Namun hari itu, ketika aku membaca surat ini, aku menangis. Aku
tidak pernah tahu bahwa Kaffa melihatku seperti itu. Mungkin memang aku yang tidak peka, bahkan aku yang terlalu
bodoh ini tidak sadar bahwa cappuccino yang biasa kuminum adalah kopi buatan Kaffa.
Sesampainya dirumah, aku membeli kopi yang biasa kubeli itu dan mencobanya, dan
ternyata rasanya memang berbeda.
Kenyataan demi kenyataan yang aku sadari membuatku
semakin merasa bodoh karena telah berpura-pura tidak merasakan apapun pada
Kaffa. Padahal sejak TK, tidak ada laki-laki lain yang dengan begitu berani
menjadikan dirinya tameng untukku. Dia selalu melindungiku, dan membuat dirinya
selalu tersakiti, meskipun saat itu seharusnya aku yang tersakiti. Seperti saat aku pergi.
Sayang, ketika aku meyadari apa yang kurasakan untuk
Kaffa, dia sudah menghilang. Entah kemana, entah mengapa. Aku tidak pernah tahu
alasan sesungguhnya Kaffa bertolak ke Swiss. Dan-oh sedikit info saja-kafe ini
terus berjalan selama Kaffa-sepertinya-tidak disini. Dan aku berasumsi bahwa
keberadaan kedai ini mewakili keberadaan Kaffa. Bodoh, bukan? Dan kau tahu?
Sepertinya aku terkena karma karena selama empat tahun sejak kami tidak pernah
bertemu, aku tidak bisa melupakannya.
Yes,
Kaffa. Sepertinya slogan yang kamu pilih benar-benar cocok untuk kedaimu ini.
Hingga rasanya hatiku sakit setiap membaca slogan ini di papan depan kafemu.
Karena slogan itu menyindirku dan mengingatkanku padamu. You got me, Kaffa, you always
get me since the first time you show that quotes to me. I never forget the
feeling I get here, for you Kaffa. Empat tahun sudah terlalu lama, Kaffa…
aku merindukanmu… Setetes cairan bening akhirnya jatuh dari mataku. Membasahi
kertas biru laut yang sudah kusam, tepat diatas namamu. Sehingga nama itu tidak
jelas lagi dan menjadi kabur.
Kupalingkan wajahku dari kertas biru itu dan
kusimpan kertas itu ke dalam tasku. Aku tidak boleh terus memandangnya, aku
takut membasahi semua tulisan disana sehingga aku tidak bisa membaca surat
darimu lagi.
Saat itu, siluet seorang pria berkemeja
memasuki kedai. Beberapa pelayan tersenyum padanya dan ia membalasnya dengan
senyum dan anggukan. Postur tubuh itu… mata itu… senyum itu… Kaffa. Aku
berhenti bernafas. Mana mungkin ia muncul tiba-tiba ketika aku sedang memikirkannya.
Ah, rupanya aku sekarang jago berhalusinasi. Naya, bangunlah. Tidak mungkin
Kaffa mendengar kau memanggilnya. Teori gila darimana lagi itu?
Aku mencubit tanganku, sakit. Aku menghembuskan
napas lega. Berarti itu memang Kaffa. Berarti aku memang gila karena sepertinya
mempercayai teori gila yang baru saja kubuat. Aku bersiap untuk menemuinya
ketika kulihat seseorang keluar dari arah dapur dan memeluk Kaffa hangat.
Perempuan itu tersenyum pada Kaffa dan Kaffa mengelus puncak kepalanya lembut.
Aku nanar.
“Mungkin memang ku
cinta, mungkin memang ku sesali, pernah tak hiraukan rasamu dulu… Aku hanya
ingkari, kata hatiku saja, tapi mengapa kini… cinta datang terlambat.”
Aku terdiam di tempat dengan pandangan kosong.
Kepalaku sudah dipenuhi dengan penyesalan dan kesedihan. Mungkin aku harus
membakar surat Kaffa setelah ini. Yah, aku tidak boleh menginginkan milik orang
lain, kan? Dan sekarang, setelah ia melepas pelukannya, laki-laki itu memandangku
dari seberang ruangan. Entah bagaimana ia bisa menemukanku diantara sesaknya
orang disini. Mata kami bertemu ketika setetes cairan bening lagi-lagi keluar
dari mataku. Hatiku pilu. Aku sibuk berspekulasi tanpa menyadari bahwa perempuan tadi
sebenarnya adik Kaffa.
No comments:
Post a Comment