“Ya, aku suka sama kamu, Ka. Aku sayang sama kamu, apa itu
salah?” ucapku tak terkendali. Alka membeku di depanku. Dia mendekat ke arahku,
memegang bahuku dengan penuh tenaga lalu mengguncang-guncang pundakku seraya
berkata, “Kamu bohong,kan? Jangan bercanda Lid, ga lucu tau!”
Bulu
kudukku meremang mendengar teriakannya tepat di depan wajahku. Bahuku rasanya
sudah mati rasa karena cengkraman Alka yang keras. Alka tetap menatap wajaku
ketika aku mengaduh kesakitan. Ia bahkan tidak mengurangi cengkramannya
sedikitpun.
Tapi
cengkraman itu rasanya biasa saja bila dibandingkan dengan tatapan Alka yang
menyala-nyala. Entah kenapa matanya itu sungguh menyakitiku. Kenapa? Kenapa
ketika aku menyatakan perasaanku, Alka marah? Apa yang salah jika aku jatuh
hati padanya? Apa itu artinya bahwa ia sama sekali menyukaiku? Bahkan
membenciku?
“Lihat
mataku, Lidia! Bicaralah bahwa kamu tidak menyukaiku. Kamu tidak boleh
menyukaiku, Lidia!” bentaknya. Aku menunduk semakin dalam. Matanya yang tajam
seakan menyayat-nyayat hatiku, sakit. Alka mengguncang-guncangkan diriku agar
wajahku naik tapi aku tetap menunduk. Alka frustasi lalu melepaskan
cengkramannya. Seketika rasa kehilangan memenuhi tubuhku. Aku takut Alka pergi.
“Kenapa
sih kamu gabisa bilang kalo ga suka sama aku?” tanyanya tiba-tiba masih dengan
nada yang menusuk. Air mataku mulai berdesakkan untuk keluar. Karena kenyataannya aku suka kamu, Alka. Aku
jatuh cinta sama kamu.
“Kalo
kamu gabilang kamu gasuka sama aku, itu bakal jadi bencana Lid. Ayo bilang kamu
gasuka aku!” bisik Alka dari belakangku. Aku sudah tidak bisa lagi menahan air
mataku. Alka menolakku. Aku benar-benar ditolak dengan cara yan kasar. Ia
bahkan sepertinya membenci ide aku menyukainya. Oh, Alka... seburuk itukah aku
dimatamu? Tapi, kenapa?
“Maaf
Alka...” desisku. Alka yang berada di belakangku diam menunggu. “Maaf karena
aku menyukaimu bahkan terlanjur jatuh cinta padamu.” Bisikku pelan. Alka masih
terdiam. “Maaf, aku tidak bisa bilang jika aku tidak menyukaimu. Karena aku
sungguh-sungguh jatuh cinta padamu. Salahkan saja aku karena telah lancang
mencintaimu. Aku sadar bahwa aku memang tidak pantas untukmu. Tapi bagaimanapun
itu aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri.” Air mataku tiba-tiba
mengalir deras dan kakiku gemetar.
“Maaf jika aku menjadi bencana
untukmu.” Akupun lumpuh dan terjatuh kebawah tapi sebelum lututku sempat
menyentuh lantai, Alka menangkapku dari belakang. Ia memelukku.
“Alka?” panggilku. Alka tidak menjawab.
Ia tetap memelukku. “Alka, kamu gausah ngasihanin aku kaya gini. Ka?” ujarku.
Tiba-tiba Alka membalik badanku dan memelukku erat. Air mataku terhenti. Ada
apalagi dengan Alka?
“Maaf Lidia, aku sungguh minta maaf.”
ujarnya. Aku menengadahkan kepalaku dan menatap matanya. “Maaf untuk?” tanyaku.
“Karena telah memaksamu untuk
berbohong.” ujarnya. Mataku berkedip mendengarnya. Belati lagi-lagi menusuk
dadaku. “Dan karena telah berbohong padamu tentang perasaanku.” tambahnya. Aku
berkedip berkali-kali tak percaya. Apa itu maksudnya?
Alka merengkuhku lebih dalam di
pelukannya lalu mengecup keningku. “I’m
madly truly crazy in love with you, Lidia.” ujarnya. Jantungku berdetak dua
kali lebih cepat. Hangat tubuhnya menginduksi tubuhku yang dingin untuk hangat
juga. Rasanya aku menemukan kembali sosok Alka yang hilang beberapa saat yang
lalu. Tapi, kenapa Alka tiba-tiba berubah 180 derajat dari sebelumnya? Dia
bahkan mencium keningku. Tuhan, Alka kenapa sih?
“Ka, kamu kenapa sih? Kenapa
berubah-berubah terus kaya gini?” tanyaku dalam pelukannya. Alka hanya diam
namun tiba-tiba ia melepas pelukannya.
“Bahu kamu ga kenapa-kenapa, kan?”
tanyanya sambil mengelus bahuku. Diantara debaran-debaran halus ddalam dadaku,
aku termenung. Pasti ada yang terjadi. Kenapa Alka langsung berubah begini? Apa
ia sedang pura-pura? Apa pernyataannya juga hanya pura-pura? Tiba-tiba saja aku
menatap Alka curiga.
“Kenapa?” tanya Alka heran aku
menatapnya curiga.
“Kamu yang kenapa.” Ujarku sambil
menepis tangannya dari bahuku. Aku berjalan tegak dan menjauhinya menuju sofa.
Aku harus duduk jika ingin bertanya padanya agar aku tidak lemas dan terjatuh
lagi seperti tadi. Tanpa kusangka Alka mengikutiku untuk duduk di sofa. Aku
terdiam, menunggunya berbicara.
Akhirnya Alka menyerah dan membuka
suaranya, “Yaudah, apa yang pengen kamu tau?”
Aku tersenyum menang. Dengan malu-malu
aku bertanya padanya, “Kamu beneran suka sama aku?” tanyaku so cool. Alka menghembuskan napas lalu
mengangguk. Hampir saja aku berteriak kegirangan sebelum akhirnya aku
mengendalikan diriku. “Sejak kapan? Kenapa? Em, terus......” tanyaku spontan.
Alka menatapku dalam, aku langsung
membisu. “Aku rasa semenjak kita pertama ketemu.” Jawabnya pasrah, aku menahan
napas. “Dan, em....” Alka berdeham sejenak sebelum menjawab pertanyaan keduaku,
“Emang jatuh cinta sama kamu butuh alasan, ya?” ujarnya. Kontan sesuatu meleleh
dalam diriku. Jantungku berdetak semakin cepat sampai aku lupa bahwa aku belum
mengambil napas. Kami terdiam lama.
“Thanks, Ka.” Ujarku memecah
keheningan. Alka mendekatkan posisi duduknya padaku hingga sekarang lutut kami
saling bersentuhan.
“Tadi... maaf, ya?” ucapnya setengah
bertanya padaku. Aku tersenyum dan mengangguk. “Aku takut kamu bakal menyesal
karena suka sama aku. Aku, kan bukan orang yang baik.” Ujarnya.
“Hush, kamu baik kok.” Ujarku.
“Ya, aku hanya takut membebanimu saja
sebenarnya.” Tambahnya.
No comments:
Post a Comment