Mata
hazel itu lagi-lagi membiusku. Wajahnya yang rileks dan kecoklatan membuat
hatiku berdesir. Bibirnya mengulaskan senyum yang cukup menawan. Perlahan
ujung-ujung bibirku ikut mengangkat. Dalam diam kunikmati pemandangan ini dari
jauh.
“OI!”
Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dan mendorong badanku keras. Orang yang
tak perlu kutanyakan lagi siapa. Refleks, aku langsung berdiri dan memukulnya
balik. Ia menghindar dan seperti biasa aku akan berlari untuk membalasnya.
“Dasar
pendek, lari aja payah.” ledeknya beberapa meter dari jangkauanku. Aku
mendengus kesal dan bersiap melempar barang terdekat dariku. Ketika kuangkat
tempat pensil yang kupegangi, bukannya takut, ia malah semakin semangat
mengerjaiku. Ia menjulurkan lidahnya padaku. Aku berhenti mengerjarnya. Aku
baru tersadar sesuatu. Orang yang semenjak tadi kuperhatikan sepertinya merasa
terganggu dengan kegiatanku dan Rama sehingga ia sudah hilang dari pandanganku.
Aku menunduk, menyesal.
Rama terbahak
melihat ekspresiku. Ia berjalan mendekatiku, mengelus puncak kepalaku dan
berujar, “Pendek.” Bukannya membalas, aku memilih untuk menginjak kakinya lalu
berdecak kesal. Dia yang membuat’nya’ pergi. Rama mulai menjahiliku lagi, tapi
aku hanya terdiam.
“Kenapa
deh?” tanyanya ketika sadar aku tidak tertarik sama sekali untuk membalasnya.
Aku
menghembuskan napas kesal. Sambil menunjukkan telunjukku pada Rama, aku
mengerang, “Kamu, sih. Bikin bete aja, dianya pergi kan.”
Sedetik
kemudian aku menyesal karena kulihat mata Rama melebar jahil, “Ciee.. siapa
tuh? Cerita dong! Cie.. cie…” Kusambar buku di sebelahku dan kututup telingaku
oleh buku itu ketika Rama dengan hebohnya meledekku di depan anak-anak sekelas.
Tiba-tiba Rama berhenti meledekku. Dari bawah kulihat sepatunya menjauh.
“Woi!
Tungguin gue dong!” teriak Rama beberapa saat kemudian.
“Ahmad!”
Deg… Tiba-tiba saja aku bisa mendengar detakan jantungku. Rama sukses membuat
hatiku melonjak-lonjak tak karuan. Bukan dengan sikapnya, tapi nama orang yang
ia panggillah yang mampu membuat hatiku berdentuman lebih cepat. Ahmad…
--
“Fi,
kamu serius gamau kenalan sama dia?” tanya Dya, sahabatku, ketika ia
memergokiku sedang memerhatikan Ahmad. Aku tersenyum hambar.
Ahmad.
Sebenarnya, aku tidak kenal dengannya. Tidak pernah berkenalan maksudnya. Aku
memang mengenalnya. Bahkan mulai mengaguminya. Tapi aku yakin 100% bahwa ia
tidak mengenalku. Ia bagaikan udara untukku, ada, tapi tidak bisa kusentuh. Aku
tersenyum sendiri. Ia bahkan bukan hanya udara. Ia juga planet bagiku. Benda
merah nan jauh disana yang selalu kukagumi. Mars-ku.
“Aw!” Dengan
terpaksa, aku menarik diriku dari pesona Ahmad karena Dya mencubitku. “Ngga
Dya, ngapain lagian. Males ah.” jawabku asal.
“Aku
sekelas loh sama dia. Apa mau kukenalin kalian? Kamu tuh ya jangan bisanya cuma
liatin dia dari jauh doang. Kenallah minimal.” ujar Dya prihatin. Aku tersenyum
mendengarnya.
“Gausah,
Dya. Biarinin aku tetep jadi bayangan buat dia. Gak keliatan.” jawabku tegas.
Dya hanya menghembuskan napasnya sambil menepuk pundakku halus, berusaha
memahami apa maksudku.
--
“Hei,
ajarin aku yang ini dong! Heeeei! Heeeii!” teriak Rama tepat di depan wajahku.
Ia sengaja membawa kursinya ke depanku agar kami bisa menghafal bersama.
Meskipun kami sering bertengkar, kami juga cukup sering bersinergi dalam
menghafal bersama. Terutama menghafal geografi. Rama suka pelajaran itu dan
kebetulan aku juga menyukainya. Biasanya kami akan saling menjelaskan satu sama
lain sesuai dengan kisi-kisi soal. Jika Rama menjelaskan nomor satu, aku akan
menjelaskan nomor dua dan seterusnya.
“Hei,
jangan bengong mulu napa. Bentar lagi udah mau ujian juga.” ujar Rama ketika
melihatku tidak juga bereaksi. Aku mengambil napas panjang lalu menatap Rama.
“Siapa
juga sih yang bengong mulu. Ngasal deh kalo ngomong, kebiasaan.” jawabku nyolot
dengan nada bicara mirip dengannya. Saking seringnya berinteraksi dengan Rama,
lama-lama cara bicaraku mirip dengannya. Rama pun sepertinya sudah terbiasa
dengan hal itu. “Mana?” tanyaku kasar. Dia berdecak kesal dan menunjuk salah
satu kisi-kisi. Akhirnya aku mulai menjelaskan.
--
“Katanya
Ahmad belum pernah pacaran loh. Dari dulu cewe-cewe aja suka sama dia tapi
dianya cuek gitu aja. Tapi gosipnya, sekarang dia lagi suka sama orang.” bisik
Iren padaku ketika kami sedang berjalan menuju kantin. “Siapa?” tanyaku
penasaran. Iren terdiam sebentar, membuat hatiku tiba-tiba berdetak tak
beraturan. Beberapa saat kemudian Iren berbisik pelan, “Silvi, anak kelas
kita.” Aku terdiam di tempat. Menahan tangis.
--
“Kok
akhir-akhir ini sedih sih kayanya?” tanya Rama yang mengikutiku duduk di
belakang papan tulis dorong kelas. Membuat teman sekelasku bertanya-tanya siapa
yang duduk disana karena hanya kaki kami saja yang terlihat.
Aku hanya
menggeleng pelan pada Rama. Lalu mulai menyibukkan diri dengan melihat-lihat
isi foto kamera Oca yang tadi kupinjam. Tanganku bergetar. Rama melihatnya dan
langsung merebut kamera Oca dari tanganku. “Liat barengan dong.” ujarnya sambil
mengutak-atik kameranya. Aku menatap Rama yang sedang sibuk dengan kamera Oca
sekilas. Aku menghembuskan napas lega. Sepertinya aku punya dinding kokoh untuk
bersandar kali ini. Aku tersenyum berterimakasih.
“Kok
malah senyum?” tanya Rama yang memergokiku sedang memerhatikannya. Aku
menggeleng dan menjawab dengan asal, “Haus.” berharap Rama tidak menemukan
tanda apapun di wajahku.
Tiba-tiba
Rama langsung beranjak dan membawakan minumnya untukku, “Nih, minum. Daripada
mati kehausan.” Disodorkannya aqua gelas miliknya padaku. Aku menurutinya
dengan meminum air itu lalu terdiam. Kukira, Rama akan berceloteh atau
menceramahiku tentang pentingnya minum atau apapun itu. Tapi nyatanya, Rama
hanya terdiam. Rama menatapku heran, tapi matanya menyiratkan bahwa ia mengerti.
Seakan-akan dia mencoba untuk mendengarkan keluh kesahku dalam diam. Aku lega
ketika beberapa lama kemudian Rama tidak juga berbicara. Hanya menemaniku.
Akupun
menerawang jauh, mencoba untuk meluruskan benang kusut yang ada di dalam
hatiku. Tiba-tiba aku menyadari sesuatu, aku menatap Rama dan tersenyum
padanya. Secara tidak langsung, ia membantuku untuk keluar dari rasa sakit
hatiku. Ia membantuku untuk melupakan Ahmad. Aku memantapkan hatiku dan
berbisik pelan, “Selamat tinggal, Mars.”
--
Waktu
berjalan cepat, sekarang aku sudah kelas sebelas. Perasaanku terhadap Ahmad
yang kalah sebelum berperang perlahan mulai kulupakan. Bahkan ketika kenyataan
mengatakan bahwa diantara Ahmad dan Silvi tidak ada apa-apa. Kubiarkan perasaan
itu membeku di sudut hatiku, kuasingkan. Agar ketika suatu saat perasaan itu
mencair, perasaan itu sudah berubah menjadi sesuatu yang lain.
Rama
banyak membantuku melewati hari-hari menyedihkanku. Ia selalu mengalihkan
fikiranku ketika aku sedang memikirkan Ahmad. Dengan mengerjaiku, misalnya.
Atau bahkan dengan meminjamiku jaketnya ketika hujan turun saat aku akan pulang
sekolah. Dengan kata lain, dengan perhatiannya.
Setelah
setahun mengenalnya, aku baru menyadari bahwa selama ini ia banyak memberikan perhatiannya
untukku. Membuatku sadar bahwa aku masih dianggap. Membuatku merasa nyaman saat
berada di dekatnya.
Aku
berterimakasih padanya karena hal itu. Karenanya, aku merasa ada. Aku senang
dengan kenyataan bahwa sekarang aku bukan bayangan lagi. Aku sudah terlihat.
Dan kenyataan bahwa Rama mengakui keberadaankulah yang membuatku merasa lebih
hidup.
--
Kulemparkan
ponselku ke kasur. Aku kesal, sudah beberapa menit ponsel itu tidak bergetar. Padahal
biasanya ponsel itu akan terus bergetar setiap menitnya. Huh, dasar cowo. Ada,
kalo ada maunya aja. Aku turun dari kasur dan bermaksud untuk meninggalkan
ponselku di kamar. Tapi niat tinggallah niat. Ketika kudengar suara getar
ponsel, aku langsung meloncat keatas kasur dan membuka isi pesannya dengan
cepat.
Maaf baru bales, tadi habis jenguk nenek. Kamu
lagi apa?
Aku
senyum-senyum sendiri membacanya. Terutama ketika kubaca pengirimnya, Rama. Aku
tidak tahu lagi harus berekspresi bagaimana setiap Rama mengirimiku pesan. Aku
terlalu senang karena dia nyata.
Awalnya
aku dan Rama melanjutkan kegiatan bertengkar kami di twitter. Tapi karena banyak anak-anak yang memprotes karena
keisengan kami di timeline, akhirnya
Rama meminta nomor ponselku. Sebenarnya aku heran. Aku dan Rama tidak pernah
saling mengontak satu sama lain sewaktu kelas sepuluh dulu. Tapi sekarang
tiba-tiba kami sering sms-an. Bahkan Rama menelpon. Anehnya, jika di sekolah
bertegur sapapun kami tidak pernah. Padahal sewaktu kelas sepuluh kami tidak
bisa dipisahkan.
Sekarang
aku selalu berharap bisa menghilang setiap Rama melihatku. Ditelan bumi
sekalipun rasanya tidak apa-apa. Aku merasa malu bertemu dengannya karena semua
obrolan kami sewaktu liburan. Terlebih lagi dengan panggilan yang kami gunakan
selama liburan. Mbingu dan Mbeu, yang awalnya plesetan julukan dari
kambing dan embe. Bodohnya, hatiku berbunga-bunga disetiap Rama memanggilku
‘mbingu’. Terdengar seperti ‘mbingku’ bagiku.
Sekarang,
semuanya terasa berkebalikan. Sekarang, ketika Ahmad memanggil nama Rama-lah
dadaku berdentuman lebih keras. Wajahku memanas dan aku akan langsung lari
ketika aku berpapasan dengan Rama. Ingin rasanya aku menyapanya, tapi aku tidak
berani. Aku dan Rama seperti bermain hide
and seek berpura-pura saling tidak melihat. Saling mencari sesuatu hal yang
sebenarnya ada di depan mata. Kami benar-benar seperti dua orang asing. Padahal
sebenarnya aku rindu padanya. Sangat-sangat rindu.
--
“Aku
suka sama kamu.” ujarnya ketika matahari senja perlahan menghilang di
perpustakaan sekolah. Tangannya menunjuk dirinya, menunjuk kata ‘suka’ yang ia
tuliskan ditangannya, dan menunjukku bergantian. Matanya yang tertancap tepat
dimataku memancarkan pandangan yang membuat perutku bergolak tak tenang. Aku
tak pernah melihat mata itu dimanapun sebelumnya. Matanya membuatku membeku.
“Jawab
dong, aku gapernah ngungkapin gini nih sebelumnya.” rajuknya lucu. Perlahan,
aku mulai tersenyum dan tanpa kusangka-sangka, ia balas tersenyum padaku. Ya
Tuhan, senyum itu. Senyum yang selalu bisa membuatku tersihir. Lidahku bahkan
rasanya kelu, bibirku beku.
Rama
mengangkat wajahnya dan menatapku intens, membuatku merasa seperti barang yang
akan hilang jika sekejap saja ia mengalihkan pandangan. Ya Tuhan, apa artinya
ini? Kenapa aku merasa begitu ringan? Apakah ini artinya aku jatuh cinta
padanya?
Selama
ini Rama memang menjadi pahlawanku. Ia selalu ada didekatku ketika aku
membutuhkan sandaran. Ia tersenyum ketika aku berhasil. Ia menjagaku ketika aku
ketakutan. Ia menghargaiku, melihatku, membantuku, menyayangiku. Ia
memerlakukanku dengan sangat sopan dan hati-hati seolah-olah aku ini barang
pecah. Ia bahkan menyukaiku. Meskipun
semua itu ia lakukan diam-diam di belakangku. Ya Tuhan, kenapa aku baru
menyadari semua ini?
Ahmad
mungkin udara bagiku. Tapi Rama, ia adalah oksigen yang kubutuhkan. Dia ada,
dan nyata. Dia adalah oksigen yang selalu mengisi hari-hariku. Tanpanya, aku
mati. Dan jika Ahmad adalah sebuah planet untukku, maka Rama adalah bintangnya.
Bintang yang dengan setia selalu menerangi sisi gelapku. Perlahan aku mulai
sadar. Rama bukanlah angin seperti Ahmad. Meskipun ia memiliki pilihan untuk
pergi, ia tetap berada disisiku selama ini. Yang membuatku sulit bernapas
adalah kenyataan bahwa ia memilihku.
Kurasakan
pipiku mulai memanas karena begitu lama Rama pandangi. Dengan cepat, kualihkan
pandanganku. Rama terlihat bingung. Aku mengambil napas panjang dan tersenyum
jahil padanya. Rama terlihat frustasi. Kuambil langkah menjauh darinya, ia
berdecak sebal di belakangku sambil pelan-pelan mengikutiku. Aku tersenyum
bahagia.
Aku
menyadari sesuatu. Rama bukanlah orang yang kebetulan membantuku untuk
melupakan Ahmad. Ia memang orang yang
dikirimkan padaku untuk melupakan Ahmad. Tuhan tahu segala hal lebih baik dari
padaku. Ketika seekor kumbang menolak untuk datang kepadaku, Ia mengirimiku kumbang
yang lain. Yang dengan senang hati mendekat dan memilihku. Aku sungguh tidak
bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Rama membuatku merasa spesial. Merasa
hidup. Merasa dibutuhkan. Aku berbalik, tersenyum. Alunan lagu tangga yang
kusukai tiba-tiba memenuhi benakku.
“Betapa sempurna
dirimu di mata hatiku
Tak pernah
kurasakan damai sedamai bersamamu
Tak ada yg bisa
yg mungkin kan mengganti tempatmu”
Ya,
aku juga menyukaimu, Rama. Amat sangat menyukaimu. Semoga aku dan kamu akan
selalu seperti ini selamanya.
“Kau membuat ku
merasa hebat
Karena ketulusan
cintamu
Ku merasa
teristimewa hanya
Hanya karena,
karena cinta
Kau beri padaku
sepenuhnya
Buatku selalu
merasa berarti”
Tangga-Hebat
No comments:
Post a Comment