“Allah always have the best plan
for us. Oh, really?”
Angin berhembus kencang menusuk-nusuk kulitku yang
memerah. Meskipun sudah memakai jaket bulu yang tebal, angin sungguh sanggup
untuk tetap membuatku menggigil hebat. Kurapatkan kedua tepi jaketku yang sudah
menempel. Kuelus-elus bulu yang bertengger di ujungnya untuk mendapatkan
kehangatan.
Tiba-tiba sesuatu dalam tasku bergetar. Sontak kumasukkan
tanganku acak mencari benda yang bergetar itu. Tepat ketika aku memegang benda
itu aku langsung memencet tombol berwarna hijau yang menyala-nyala. Sebelum aku
menjawab sapaan dari seberang, kuhembuskan napas berat, warna putih keluar
bersusulan dari mulutku.
“Iya.... Hm... iya..... aku bentar
lagi nyampe di katedral kok, jemput Pere1.” Suara diseberang semakin
lama semakin mengecil hingga akhirnya menghilang. Aku langsung melemparkan
pandanganku pada jalan yang terbentang di depan dan berjalan lebih cepat lagi.
Pere sudah menungguku.
Langkahku memelan ketika sebuah
bangunan megah berada di hadapanku. Dilatarbelakangi oleh menara Eiffel yang
puncaknya sudah hampir memutih, Katedral Pantekosta terlihat sangat anggun. Sesaat,
aku menimbang-nimbang apakah aku harus masuk atau tidak. Aku kan, bukan
termasuk jemaatnya. Tapi karena keadaan sekitarku semakin terasa menusuk dan
membuatku sesak, kuputuskan untuk mencari kehangatan di dalam.
Ini bukan pertama kalinya aku masuk
ke gereja, mungkin sudah yang kedua atau ketiga kalinya. Dan setiap aku
melakukannya, rasa ingin tahuku tergelitik dengan hal apapun yang berada di
dalamnya. Beruntung, tepat ketika aku masuk ke dalam, sebuah tangan besar
dengan sweater yang kukenal langsung
memelukku erat. Hal ini membuatku tidak perlu bertanya-tanya lagi pada pastor
tentang apa yang sedang dilakukan di dalam.
Aku adalah anak tunggal dari
sepasang suami istri yang memiliki perbedaan kepercayaan. Pere adalah seorang
kristiani sedangkan mama adalah seorang muslimah. Hidupku bahagia dengan itu
dan aku cukup mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuaku, meskipun
sekarang mereka telah bercerai.
Kini aku hidup dengan pere di Paris. Pere
dipindahkerjakan oleh perusahaannya tujuh tahun lalu kesini. Itulah hal yang
membuat kedua orangtuaku berpisah. By the
way, aku selalu menganggap bahwa hidup adalah sebuah pilihan. Maka ketika
pere mengajakku untuk tinggal bersamanya disini lima tahun yang lalu, aku
langsung mengiyakan. Lagi pula, kapan lagi aku akan mendapatkan kesempatan
seperti ini?
“Leona, nanti malam kamu mau dimasakin
apa?” tanya pere tiba-tiba. Mata biru lautnya menatapku intens, membuatku
terpesona. Aku hanya menaikkan bahu. Diam-diam aku tersenyum, sepertinya aku
tahu kenapa dulu mama jatuh cinta pada pere.
“Maaf, ya Leona pere lagi manja nih.
Pere lagi kangen sama kamu.” ujarnya lalu menepuk-nepuk wajahku di dalam
tangannya yang besar. Aku tersenyum semanis mungkin dan mengangguk, “Aku gapapa
kok Pere, aku juga kan kangen sama Pere.” jawabku mantap. Bola matanya bersinar
lalu menggandeng tanganku pelan, “Kita pergi keluar aja yuk malam ini.” Aku
mengangguk setuju.
--
“Assalamu’alaikum sayang, gimana
kabar kamu disana? Apa rencana kamu hari ini sama papamu?” suara lembut mama
menyapa telingaku di pagi yang dingin ini. Aku menyahut asal karena baru saja
bangun.
“Waalaikum salam. Gatau nih, disini
kan ga lagi weekend mam, jadi
palingan aku sekolah dan Pere kerja kaya biasa.” Aku berusaha untuk
merenggangkan badanku sambil mendengarkan mama yang mulai berceloteh seperti
biasa.
Mama selalu bercerita banyak padaku
setiap kali menelepon. Dan kali ini mama bercerita tentang acara liqo yang
diikutinya kemarin dan merasa sangat puas dengan pembicaranya. Ia bahkan sedang
mencoba untuk berbisnis dengan pembicara itu. Seperti biasa, ketika mama sedang
bercerita, akulah yang akan menjadi pendengar setia mama.
“Udah salat,
sayang?” aku tersentak dengan pertanyaan yang tiba-tiba mama ajukan, bingung
harus menjawab apa. Pasalnya, aku baru saja bangun ketika mama menelepon.
Akhirnya aku menggeleng, meskipun
aku tahu mama tidak bisa melihatku, lalu dengan gelagapan aku menjawab, “Belum,
mam. Nanti aja.” Terdengar desahan napas panjang dari ujung sana yang membuatku
merasa bersalah. Suara mama melemah, “Yasudah, tapi solat ya, jangan lupa. Oh
iya, ingat Leona. Allah always have the
best way for us.” ucap mama, aku hanya mengangguk tidak pasti.
Berhubungan dengan apa yang mama ucapkan, sebenarnya
terkadang aku bertanya-tanya, ‘jalan apa’ yang mama maksud. Tapi, aku tidak
pernah berani ‘bertanya betulan’ padanya. Semua pertanyaan itu hanya kubiarkan
berkelana bebas dalam benakku. Yang membuatku jenuh adalah kenyataan bahwa mama
selalu mengucapkan kalimat itu setiap kami akan memutuskan telepon. Mama sangat
memercayai quote itu. Aku? Yah, mungkin percaya.
--
“Halo, Leona, assalamualaikum.” Dion,
orang yang beberapa bulan terakhir menghantui mimpiku, menyapaku dan berjalan
ke arahku. Aku mengangguk ke bawah, pura-pura tidak tertarik padanya dan sekuat
mungkin menahan keinginanku untuk menjelajahi wajah indonya.
“Leona?” orang itu memanggil namaku lagi ketika aku
tidak juga membalas tatapannya.
“Ya?” akhirnya, kuangkat kepalaku dan berusaha untuk
tersenyum padanya.
Bukannya membalas senyumku, dia malah
mengangguk-angguk puas. “Aku mau pamit, nih Len,” ujarnya tiba-tiba. Aku
terbelalak dan tanpa sengaja menyahut “Hah?”. Dia tersenyum sambil mengajakku
duduk di kursi taman sebelah kami untuk menjelaskan alasannya. Aku mengikutinya
pelan.
“Aku mau pulang ke Indonesia. Studiku udah selesai
disini. Lagian, disini juga ngapain, bosen. Mendingan buka praktek yang
bermanfaat di Indonesia sana.” ujarnya tenang. Keningku bekerut heran. Hei, ini
kan Paris. Bisa-bisanya dia bosan berada disini, ckck.
“Jadi.... aku mau pamitan.” tambahnya lagi.
“Kapan pulangnya?” tanyaku spontan.
“Lusa nih kayanya. Kenapa? Mau ikut?” Aku
memberengut ketika ia tanya begitu.
“Kamu aja deh yang pulang. Aku masih betah disini.” jawabku
selanjutnya. Tiba-tiba mata hazel itu menelitiku dari atas kebawah lalu
tersenyum simpul.
“Wah, gimana ini, aku pasti kangen kamu.” ujarnya
pelan. Kurasakan pipiku memanas, pasti merona dia bilang begitu. Dia tetap
menatapku, menunggu jawaban. Aku hanya menunduk salah tingkah.
“Le, jangan
lupa sama Allah, ya. Allah itu harus selalu menjadi nomor satu.” tambahnya
pelan. Aku merasa tersentil. Apasih maksudnya? Mengingat Allah? Kapan terakhir
kali aku melakukannya? “Ya?” tanyanya lagi. Aku mengangguk pelan.
“Salat, Le. Itu yang terpenting. Salat itu tiang
agama. Kalo kamu ga salat, imanmu dipertanyakan. Jangan cuma
jadi islam KTP, emangnya kamu mau masuk surganya juga cuma di KTP doang?” Aku
mendesah tak rela. Dion memulai ceramahnya sebelum ia pergi. Aku hanya bisa tersenyum
hambar disetiap dia menatapku. Dion memang taat beribadah dan sebenarnya hal
itu yang membuatku jatuh hati padanya. Tapi, ini kan pertemuan terakhir kami.
Masa dia malah menceramahiku? Aku mendengus kesal.
--
“Lying down,
underneath the stars thinking about the way you look....”
ponselku bergetar. Dengan sigap, aku langsung mengangkat telepon yang berasal
dari getaran ponselku tadi.
“Leona?” tanya suara di seberang.
“Ya?” jawabku spontan. Orang yang menelponku rupanya
sedang buru-buru karena ia langsung menjawab. “Mamamu kecelakaan. Kecelakaan
beruntun. Ia terhimpit mobil. Sekarang sedang berada di RSCM.” ujarnya cepat.
Aku membelalak tak percaya. Bisa kurasakan keringat langsung membanjiri
tengkukku dan tanganku bergetar hebat. “Ma.... mama.... kecelakaan apa?”
seketika runtutan cerita meluncur dari suara diseberang yang kukenali sebagai
suara tanteku. Lututku melemas dan ponselku langsung jatuh entah kemana.
--
“Sayang, pere yakin mamamu gak akan apa-apa kok. Dia
kan kuat, just believe that.” ujar
pere yang sedari tadi menenangkanku. Tadi aku sedang sarapan dengan pere dan
tiba-tiba saja ponselku bergetar. Pere kaget karena aku tiba-tiba terjatuh dan
hampir pingsan ketika aku mengangkat ponsel. Untung saja pere cekatan dan
langsung bisa menebak apa yang bisa terjadi. Alhasil, pere sekuat tenaga
menenangkanku yang shock tiba-tiba.
Tapi entah, aku bahkan tidak bisa mendengar apa yang pere katakan. Aku terlalu
tuli untuk itu sekarang. Satu-satunya hal yang masih terngiang di telingaku
adalah ketika tante bilang bahwa mama kecelakaan dan runtutan kejadiannya yang
mengenaskan. Oh Tuhan, kenapa orang sebaik mama yang harus mendapatkan musibah
separah itu? Berita ini sungguh membuatku takut.
Aku gemetar, membayangkan kemungkinan terburuk yang
akan menimpa mama. Kugosok mataku yang perih karena belum berhenti menangis
sejak tadi. Oh, mama... Beberapa saat pere pergi dari sisiku dan langsung
memesan dua tiket menuju Jakarta. Ketika pere kembali, aku masih menggigil
hebat ketakutan.
Pikiranku melayang lagi. Mulai terbayang di pelupuk
mataku jika aku kehilangan mama. Aku pasti akan merindukan suaranya, aromanya,
derai tawanya, senyumnya. Ya Tuhan.... aku bahkan sudah mulai rindu padanya.
Skeptis, aku menyalahkan semua kejadian ini pada
Allah, tuhanku dan mama. Hanya Dialah dzat yang bisa ikut campur dalam urusan
ini. Lalu, sebagai Maha Bijaksana, dimana keadilanNya itu? Kenapa mama yang Allah
hukum? Apa ini jalan terbaik yang Kau beri untuk mama? Aku merasa pilu, mama
selalu memercayai kata-kata itu. Ya Allah, Jika memang ada yang salah dengan
keluarga kami, kenapa bukan aku saja yang dihukum? Bukankah aku yang paling
jauh dariMu ya Rabb? Ya Allah...
kenapa Kau begitu kejam padaku? Aku menangis-lagi. Aku bahkan tidak tahu
bagaimana caranya menghentikan tangis ini.
“Sayang, kamu
udah bisa solat mayit, kan?” tanya mama sambil mengerling ke arahku. Aku tertawa
mengejek, “Aduh, belum bisa nih ma. Lagian, buat apa?”tanyaku sambil merangkul
mama. Mama menggeleng, “Iiih, kamu ini islam tapi kok gabisa solat mayit. Kalo
mama yang meninggal, mama ga ridho loh kalo kamu ga nyolatin mama.” ujar mama.
Sontak aku melirik mama,”Ih, mama apaan, sih? Kayak yang ngarepin mati aja.”
Aku melepas rangkulanku sambil cemberut. Mama mendekatiku lagi lalu memelukku.
“Kematian itu pasti, sayang. Pasti.” Hening.
“Kalo mama yang meninggal, aku yang bakal
urusin semuanya. Mandiin, nyolatin, nguburin, bersihin pusaranya, bahkan bacain
Yasin tiap hari. Aku yang bakal lakuin, ma.”tambahku tiba tiba. Mama menatapku
intens.
Cahaya menyilaukan berebut menelusup ke dalam mataku
tepat ketika aku membuka mata. Aku mengangkat kepalaku pelan sambil memerhatikan
sekitar. Rumahku sepi, tidak ada alunan instrumen mozart yang disukai pere
seperti setiap sore. Terlalu hening. Tiba-tiba aku teringat mimpiku barusan. Aku
menghembuskan napas berat, kenapa aku malah bermimpi seperti tadi? Apa itu.....
tanda? Aku menggeleng pelan, menahan cairan bening yang mendesak untuk keluar lagi
dari mataku.
Untuk menahan cairan ini keluar, aku bangkit dan
memaksa diriku bekerja secepat mungkin untuk mencari pere. Aku menyusuri ruang
keluarga dan dapur. Tidak ada. Dimana pere? Namun, sesampainya di kamar pere,
aku terpaku.
Ribuan rasa bersalah menyergapku. Hening dan sepi
menyatu menjadi satu membuat pere terlihat bercahaya dan sangat khusyu dalam
berdoa. Tanpa harus dikatakan, aku tahu apa yang pere sedang doakan. Ya, pere
sekarang sedang berlutut di hadapan patung bunda maria sambil menelungkupkan
tangannya di dada. Ia menunduk dalam sambil beberapa kali mengambil napas
berat. Tiba-tiba pere melihat ke arahku dan tersenyum.
“Mau berdoa juga, Leona?” tanyanya. Aku tersenyum ke
arahnya. Setelah itu pere melambaikan tangannya, memintaku untuk mendekat. Aku
berjalan pelan. “Gimana? Kamu mau ikut berdoa juga ga buat mama?” tanyanya lagi
sambil menunjuk ke patung bunda maria yang berada di depanku. Aku membelalak
kaget. Maksud pere.... namun tiba-tiba pere langsung terbahak beberapa saat
setelah melihat ekspresiku.
“Hahaha, bukan itu sayang maksud pere. Bukan.” Pere
mengelus puncak kepalaku lalu melanjutkan, “Kalo kamu mau, pere mau nyiapin
mukenanya, maksudnya. Kamu jangan pura-pura kaget gitu ah.” tambahnya.
Aku baru bisa menangkap maksud pere beberapa detik
setelahnya. Dan ketika aku menyadari apa maksud pere, ada rasa penasaran
menghampiriku. Berdoa juga? Bolehkah? Kapan terakhir kalinya aku berdoa
padaNya, ya? Jika sekarang aku berdoa, masihkah Dia mendengar doaku? Tiba-tiba
ucapan mama terngiang di telingaku, “Allah selalu punya jalan yang lebih indah
untuk kita.” Really? What way? Inikah? Pray for mom? Dengan cara bertaubat? Aku menghembuskan napas pelan.
Yah, apa salahnya mencoba. Lalu aku mengangguk ke arah pere.
Aku merasa sangat nervous, aku bahkan bisa mendengar detak jantungku yang
bertalu-talu ketika aku memakai kain putih suci di atas kepalaku. Ringan dan
nyaman sekali rasanya. Ketika aku hendak mengangkat tanganku untuk mendirikan
salat maghrib, karena kusadari ini masih jam maghrib, tanganku bergetar hebat tapi
anehnya tidak sama sekali terasa berat. Aku menghembuskan napas pelan. Bismillahirrahmanirrahim. Allahu akbar.
Fiuh,
ini adalah salat pertamaku setelah sekian lama aku meninggalkannya. Hatiku
rasanya damai sekali. Aku tidak pernah menyangka bisa setenang ini ketika mama
sedang sekarat. Dalam doa, kuminta segala hal yang kuharapkan untuk mama.
Meminta ridhonya dalam doaku, memintakan maaf atas dosa-dosa mama and especially,
meminta agar mama cepat disembuhkan. Setelah itu, aku tersungkur dalam sujud
dan tangisku hingga waktu isya datang. Sudah waktuku untuk bertaubat.
Keesokan harinya, aku merasa baru. Semenjak salat
maghrib kemarin, aku berkomitmen penuh untuk selalu menjalankan kewajibanku
sebagai hambaNya. Since yesterday, I just
realize that I believe in God and my only one God is Allah SWT. So I should
have to respect Him as best as I can.
Kemarin, setelah selesai salat dan berdoa aku merasa
tenang luar biasa dan yang aneh adalah bahwa aku merasa tidak panik sama
sekali. Ditambah lagi sejam setelah itu, tante menelepon bahwa masa kritis
sudah berhasil mama lewati dan bahkan mama sudah sempat sadar kemarin malam.
Sekarang mama hanya tinggal dirawat beberapa hari lagi untuk menyeimbangkan
keadaan tubuh mama yang masih shock
akibat kecelakaan yang mama alami. Dan, hal itulah tambah yang membuatku yakin
bahwa Dia menerima taubatku. Hal itu pulalah yang membuatku sadar bahwa aku
harus berubah. Ya Rabb, I am back in Your way.
Aku tersenyum pada cermin di depanku. Yang sedang
kulihat didepanku itu, sungguh cantik dan anggun. Kain sutra berwarna ungu yang
sedang kugunakan di kepalaku terlihat cocok dengan balutan blus putih
favoritku. Aku mengangguk beberapa kali, berusaha menguatkan hati untuk menutup
auratku mulai hari ini. Aku kan, sudah baligh.
Bahkan, pere yang awalnya hanya lewat saja terpana
ketika melihatku. Ia mendekat lalu langsung menciumi keningku beberapa kali. Ia
memelukku seraya berkata, “Alhamdulillah,
ya Leona. Alhamdulillah.” Aku
mengangguk dalam pelukannya karena mengerti apa yang sedang pere maksudkan.
Mama. Ya, sudah lama sekali mama ingin melihatku berjilbab. Dan pere sangat
menyukai seorang wanita yang berjilbab, menawan, katanya. Bahkan konon dulu
pere jatuh cinta pada mama karena jilbab panjang yang menempel pada mama.
“Pere, kita jadi kan ke Indonesia?” tanyaku penuh
harap. Tanpa menunggu lebih lama lagi, pere langsung mengangguk. Aku tersenyum
berterimakasih pada pere, “Bagus deh soalnya aku mau ngasih seseorang kejutan.”
Pere tersenyum puas.
--
Sinar terik matahari dan aroma bandara yang penuh
sesak langsung menyambutku ketika aku baru saja menginjakkan kaki lagi disini.
Bandara Soetta tidak berubah sama sekali semenjak kepergianku beberapa tahun
lalu. Tetap ramai dan penuh dengan orang yang hilir mudik dengan urusannya
masing-masing. Dan tentu saja, orang-orang pribumi dan gayanya yang kurindukan.
Aku memutar kepalaku pelan sambil mencari orang yang akan menjemputku. Aku
tidak bersama pere karena kemarin aku ada ujian kenaikan tingkat di sekolah.
Sehingga pere berangkat kemarin dan aku berangkat sendiri hari ini.
Rencananya, mama sendiri yang akan menjemputku
disini. Meskipun mama masih perlu dirawat, mama meminta izin mati-matian pada
dokter untuk menjemput anaknya yang merantau sudah lama ke negeri orang.
Awalnya dokter tidak mengizinkan. Menghilangkan fobia dan memulihkan kesehatan
mama yang mengalami kecelakaan beruntun tentu tidak semudah itu, bukan? Tapi
ketika pere datang dan berjanji untuk menjaga mama akhirnya dokter itu
mengizinkan.
Seketika aku terpaku pada sosok seorang wanita yang
terduduk di kursi roda dan sedang menatapku. Dress bercorak sakura dan jilbab yang melekat padanya sangat
kukenali. Di belakangnya terdapat seorang pria paruh baya yang dengan sepenuh
hati mendorongkan kursi roda sang wanita. Aku terdiam di tempat beberapa saat
ketika wanita itu melambai ke arahku. Mama... Aku menunduk. Oh, tidak. Aku
tidak boleh menangis di saat seperti ini.
Mama dan pere mengambil langkah mendekat ke arahku
dan saat itu juga aku langsung berlari ke arah mereka tanpa peduli dengan
tatapan aneh banyak orang. Aku rindu, sungguh sangat rindu mama. Ketika sampai
di depannya, aku berlutut di bawah kakinya dan memeluknya erat. Mama memelukku
balik dan kurasakan mataku basah dan airnya merembes pada jilbabku dan jilbab
mama. Mama mengusap mataku pelan dan menggeleng, aku tidak boleh menangis di
saat sebahagia ini, katanya. Aku mengangguk dan menghapus air mata yang masih
menggenang di pelupuk mataku. Aku pun mulai bercerita pada mama tentang
perjalanan perdanaku pulang ke Indonesia sendirian. Mama juga ikut bercerita
tentang betapa ia tidak sabar menungguku pulang sejak kemarin. Plus, tidak lupa mama juga melontarkan
pujian atas keanggunanku memakai jilbab.
“Ehem, kangen sih boleh tapi ga nyampe ninggalin
koper di tengah jalan juga dong.” Seketika aku mendengar suara yang sangat kuhafal
di belakangku. Aku menepuk kepalaku pelan, masa sih ini benar suaranya?
Bagaimana bisa? Mungkin, karena ini Indonesia aku juga jadi rindu padanya,
pikirku.
“Wah, apa iya ditinggal disana, Dion? Wah, bahaya
sekali ya.” ujar mamaku tiba-tiba. Aku heran dan akhirnya membalikkan badanku.
“Halo.” Sapanya. Aku menganga kaget. Kenapa bisa? Pere yang mengerti keadaan
langsung menepuk pundak Dion pelan sambil menjawab rasa penasaranku.
“Kamu harus bilang makasih sama dia. Dia orang yang
nekat untuk menyelamatkan mamamu dari himpitan mobilnya yang sudah rusak. Kebetulan,
dia juga seorang dokter. Jadi dia langsung melarikan mamamu dan korban lainnya
ke rumah sakit terdekat.” ujar pere pelan. “Ayo kena...” sebelum pere
menyelesaikan ucapannya, Dion sudah memotongnya sopan.
“Halo, Leona, apa kabar?” tanyanya. Pere membelalak
bingung, lalu menatapku dan Dion bergantian. Mama yang melihatnya langsung
mengambil alih keadaan, “Kamu ini gak tau ya kalau mereka teman se-almamater di
Paris?” kerling mama pada pere. Pere tambah membelalak. Aku mengangguk pada
pere, mengiyakan perkataan mama barusan. Lalu tatapanku beralih pada Dion yang
sedang menatapku tepat di manik mataku. “Alhamdulillah.”
Setelah itu kami bergegas pulang ke rumah mama. Pere
dan mama berjalan di depan sementara aku dan Dion berjalan beriringan tepat di
belakang mereka. Sebenarnya, aku merasa salah. Masa dua pasang insan manusia
yang bukan muhrim berjalan saling beriringan? Yang membuatku risih adalah
kenyataan bahwa aku sangat nyaman berada di dekat laki-laki ini. Ya Allah,
maafkan aku karena aku sangat rindu aroma laki-laki di sebelahku ini. Bahkan
aku sempat merasa waktu berhenti berputar ketika Dion menatap manik mataku.
“Leona, like
what I said before that you will look
perfect when you wear a veil. And you prove it now. Now, you are crazily
beautiful, Leona.”aku merasa malu luar biasa ketika
kurasakan pipiku memanas mendengar Dion berkata seperti itu.
“Oh yah I ever
thought about it before, but in that time I just feel wrong. But I am totally
serious now.” ujarnya tiba-tiba.
Keningku berkerut, mulai tertarik dengan pembicaraan
abstrak ini. “What that was mean,
Dion? What do you just talk about?”
tanyaku. Dion tiba-tiba berhenti berjalan dan memandangku lekat.
“Aku tahu kamu yang sekarang pasti sudah berbeda
dengan kamu yang kutemui beberapa bulan lalu. Aku tahu, kamu yang sekarang jauh
lebih dewasa dari kamu yang kemarin. Maka dari itu sebelum ada yang membuatku
menyesal, aku akan memutuskannya sekarang.” jawabnya. Aku masih mengerutkan
keningku lalu ikut berhenti berjalan di depannya. “Apaan, sih Dion? Aneh banget
ih.” tanyaku tidak sabar.
Dion menangkap kedua bahuku di tangannya, memaksaku
untuk langsung berhadapan dengannya. “Sekarang, aku sudah yakin dengan pilihan
hatiku, Leona. Cepat atau lambat, kamu harus mengetahui tentang hal ini. Sudah
sejak lama aku memiliki perasaan ini padamu namun selama ini aku masih ragu.
Ketika aku harus meninggalkanmu kemarin itu, aku merasa sebagian jiwaku
tertinggal di kota yang sudah membuatku jatuh cinta. Tapi sekarang aku sudah
mantap. Aku bersyukur karena ternyata Allah mengabulkan permintaanku. Aku pernah
meminta, jika kamu memang orang yang Ia pilihkan untukku, aku ingin Ia
memberiku petunjuk. Dan dengan kamu menggunakan jilbab sekarang, itu sudah
lebih dari cukup sebagai jawaban dariNya.” ujarnya yang sukses membuatku
menganga lebih lebar.
Dion menatap mataku lekat, “Leona, will you marry me?”
Pertanyaan tiba-tiba itu sukses membuatku terlihat
seperti ubi rebus. Aku menunduk dalam, tidak berani untuk menantang matanya
yang sedang mencari-cari tatapanku dalam matanya. Aku kaget, kenapa tiba-tiba Dion
mengatakannya di saat seperti ini? Aku melirik mama dan pere yang ternyata
ikut-ikutan mendengarkan percakapan kami sedari tadi dari depan mobil. Mereka
tersenyum dan mengangguk setuju. Sepertinya, Dion sudah berhasil memenangkan
hati kedua orang tuaku. Oh, bahkan dia sudah mencuri hatiku jauh sebelum itu.
Ketika aku belum juga menjawab pertanyaannya, dia
menatapku salah tingkah. “Jangan salah sangka, Leona. Aku begini bukan karena
aku ingin menikah muda. Tapi, bukankah semuanya akan menjadi lebih indah ketika
kita melaksanakannya sesuai dengan syariat dan perintahNya?” pada titik ini,
aku baru bisa menatap matanya dan ribuan rasa syukur langsung kupanjatkan
padaNya. Dengan menyebut asmaMu ya Allah, aku mengangguk di hadapannya dan di
hadapan kedua orang tuaku. Dion terlihat lega. Baik mata dan bibirnya
mengulaskan senyum penuh syukur yang membuatku jatuh hati lagi padanya.
Terjawab sudah pertanyaanku selama ini. Ya, Allah
memang memiliki rencana yang lebih indah untuk kita. Bahkan, yang terbaik untuk
kita. Just believe Him in everything He
give to us.
No comments:
Post a Comment