Angin
berhembus kencang menusuk-nusuk kulitku yang memerah. Meskipun sudah memakai
jaket bulu yang tebal, angin tetap sanggup membuatku menggigil hebat.
Kurapatkan kedua tepi jaketku yang sudah menempel. Kuelus-elus bulu yang
bertengger di ujungnya untuk mendapatkan kehangatan.
Tiba-tiba
ponselku bergetar. Suara berat khas pria berceloteh di telingaku.
“Iya....
Hm... aku bentar lagi nyampe depan cafe kok,
jemput Papa.” ujarku bersamaan dengan uap putih keluar dari mulutku. Papa
lagi-lagi mengingatkanku akan tempat yang harus kudatangi hingga akhirnya
memutus telepon. Aku harus berjalan lebih cepat lagi. Papa sudah menungguku.
Langkahku memelan ketika sebuah
bangunan megah berada di hadapanku. Di latar belakangi oleh menara Eiffel yang
puncaknya sudah hampir memutih, Ouei Cafe
terlihat sangat anggun. Tiba-tiba kulihat sepasang ibu dan anak perempuan keluar
dari cafe, pembicaraan mereka
menggelitik telingaku.
“Mom,
aku besok mau pakai kerudung seperti mom ya.” Sang ibu dengan hijab yang
menutupi sebagian badannya tersenyum dan mengelus rambut coklat anaknya.
“Biar
anget” celetuk sang anak.
Tiba-tiba
ibunya berhenti dan memegang tangan anaknya, “Hijab dipakai untuk menutupi
aurat kita, bukan untuk melindungi diri dari dingin.”
Tiba-tiba
anak yang kira-kira berumur 7 tahun itu berbicara bersamaan dengan ibunya,
“Hijab dipakai untuk menghindarkan kita dari fitnah dan bahaya.” ujarnya.
“Nah
itu tau?” sambung ibunya.
“Aku
cuma kedinginan, mom.”
“Eh, yang kaya gitu nggak boleh dijadiin
mainan.” tambah ibunya ketika ia menangkap kerlingan di mata anaknya. Sang anak
pun mengangguk dan suara mereka menghilang pada belokan gang sebelah Ouei Cafe.
Pemandangan
di depanku tiba-tiba kabur. Setetes cairan bening yang baru saja terjun dari
mataku seolah membeku di musim dingin ini dan mengganggu penglihatanku.
Sepasang ibu dan anak tadi mengingatkanku pada mama. Entah mengapa, namun aku
merasa deja vu melihat adegan tadi.
Aku adalah anak tunggal dari
sepasang suami istri yang sudah bercerai. Kini aku hidup dengan papa di Paris. Aku
hanya sebentar tinggal bersama mama di Indonesia. Mama yang sangat sibuk
membuatku merasa sendirian di sana. Itulah mengapa aku langsung mengiyakan
ajakan papa untuk tinggal di negeri yang katanya romantis ini. Lagi pula, kapan
lagi aku akan mendapatkan kesempatan tinggal di sini?
--
“Assalamu’alaikum
sayang, gimana kabar kamu disana? Apa rencana kamu akhir minggu ini sama
papamu?” suara lembut mama menyapa telingaku.
Aku
menyahut sekenanya, “Waalaikum salam.
Gatau nih mah, masih belum tahu.” Aku pun mendengarkan mama yang mulai
berceloteh seperti biasa.
Mama selalu bercerita banyak padaku
setiap kali menelepon di sela-sela kesibukannya. Dan kali ini mama bercerita bahwa
ia membelikanku sebuah hijab yang sama seperti hijab milik mama. Mama harap
kami bisa menggunakannya ketika lebaran nanti. Aku memang belum berhijab, tapi ketika
lebaran aku biasanya menyelempangkan hijabku pada rambut. Meskipun sebenarnya
bukan hijab seperti itu yang mama
harapkan.
Suara mama melemah, “Yasudah, mama masih ada deadline nih, inget pesen mama, Allah mencintai
hambaNya yang taat pada apa yang Ia perintahkan. Allah juga selalu punya jalan
yang indah untuk kita dan terkadang, melalui jalan yang tidak pernah kita duga
sebelumnya. ” ucap mama, aku hanya mengangguk tidak pasti.
Seluruh kejadian yang terjadi
beberapa hari belakangan menghantui pikiranku. Kenapa semua orang disekelilingku
akhir-akhir ini menyinggung kata hijab padaku? Mama yang membelikanku hijab,
Papa yang di hari sebelumnya memujiku cantik ketika memakai mukena, dan obrolan
sepasang ibu dan anak di cafe itu.
Apa mereka sengaja? Ah, mana mungkin. Tapi, ini adalah sebuah kebetulan yang
sempurna. Tiba-tiba ada dorongan yang kuat
dalam diriku untuk bertanya langsung pada yang Maha Kuasa akan kebetulan ini.
Maka akupun mengambil air wudhu dan bersimpuh shalat isya menghadapNya.
--
Dalam pondok yang sepi,
aku menjadi salah seorang peserta pengajian. Seorang ustadzah berbicara,
“Rambut seorang perempuan adalah harta karun bagi dirinya. Rambut adalah
perhiasan-bagian dari aurat seorang wanita-yang tidak boleh diumbar pada orang
yang tidak berhak melihatnya. Rambut adalah mahkota tersembunyi seorang wanita,
dimana mahkota itu hanya dapat di lihat oleh orang-orang tertentu yang telah
memilikinya.”
Salah seorang murid
menyahut, “Kalo kita tidak menutupnya memangnya apa yang akan terjadi?”
Ustadzah itu tersenyum,
“Maka wanita itu akan rugi di dunia maupun di akhirat.”
Tiba-tiba aku sudah
berada di sebuah lorong sepi yang berbau tidak enak, beberapa orang wanita
berjalan di depanku. Seorang wanita yang menggunakan terusan kerja yang tidak
terbuka melewatiku. Seorang laki-laki muda yang sama-sama rapih dengan wanita
itu yang menggodanya. Laki-laki ini tidak mabuk, terlihat dari pendangannya
yang masih tegas, namun ia tetap mengajak wanita ini ikut dengannya. Aku
bergidik melihatnya.
Tiba-tiba aku sudah
berada di tempat lain lagi. Kali ini tempatnya panas dan pengap, yang terlihat
di sekelilingku hanya merah-warna dari api yang membara. Sekilas kulihat wanita
yang sebelumnya kulihat berteriak meminta tolong ke arahku. Ketika kuulurkan
tanganku, ia jatuh lunglai dan deburan ombak tiba-tiba menerjangku hingga aku
tidak sadarkan diri.
Mimpiku sungguh tidak
aneh. Yang aneh adalah, aku menyadari ini mimpi dan aku sama sekali tidak
ketakutan ketika aku bangun.
--
Cahaya
menyilaukan berebut masuk ke dalam mataku tepat ketika aku membuka mata. Aku mengangkat
kepala sambil memerhatikan sekitar. Rumahku sepi, tidak ada alunan instrumen
mozart suka yang papa putar di setiap pagi. Terlalu hening.
Aku
pergi keluar kamar dan menghampiri kamar papa, lalu aku tertegun. Dari pintu
yang tidak tertutup, kulihat papa sedang bersimpuh diatas sajadah. Hening dan
sepi menyatu menjadi satu membuat papa terlihat bercahaya dan sangat khusyu
dalam berdoa. Aku memang tidak tahu apa yang papa doakan, namun rasanya damai
sekali melihat pemandangan ini. Tiba-tiba papa melihat ke arahku dan tersenyum.
“Mau
berdoa juga, Leona?” tanyanya. Aku tersenyum ke arahnya. Setelah itu papa
melambaikan tangannya, memintaku untuk mendekat. Aku berjalan pelan.
“Kalo
kamu mau, papa bisa nyiapin mukenanya,” tambahnya.
Seketika
aku teringat kejadian semalam, ketika aku shalat dan terlelap dalam keadaan
bertanya-tanya dengan semua kejadian yang ada. Lalu mimpi itu. Mimpi menambah pertanyaan di kepalaku akan apa maksudnya.
Ucapan mama terngiang di telingaku, “Allah
mencintai hambaNya yang selalu taat pada apa yang Ia perintahkan.” Aku
menghembuskan napas pelan. “Allah juga selalu
punya jalan yang indah untuk kita.” Mungkin aku harus bertanya sekali lagi
pada Allah. “Dan terkadang, melalui jalan
yang tidak pernah kita duga sebelumnya.” Lalu aku mengangguk ke arah papa.
--
Papa
yang terduduk di sofa menatapku lama. Aku membuka mukena dan berjalan kearah
papa. “Lama banget berdoanya, doain apa?” tanya papa. Aku menatap matanya
hingga akhirnya memutuskan untuk bercerita mengenai mimpiku semalam.
Papa
terdiam lama setelah mendengar ceritaku. Beliau hanya mengangguk dan berdeham
selama mendengarkanku sehingga aku tidak tahu apa tanggapan papa terhadap
ceritaku. “Menurut papa, maksud dari mimpi aku apa pah?”
Papa
mengangkat bahu seraya berkata, “Papa bukan penafsir mimpi, Leona. Tapi
senangkep papa...” papa berdeham lagi, “Sepertinya Allah rindu melihatmu
mengenakan hijab. Di setiap saat, bukan hanya ketika kamu shalat.” Aku terkejut
medengar jawaban papa.
Sesungguhnya,
sebelum mama dan papa berpisah, aku dan mama berhijab. Ketika di Indonesia
dulu, berhijab adalah hal yang lumrah di kalangan masyarakat. Ketika mereka
berpisah, mama melepas hijabnya karena tuntutan pekerjaan dan papa pergi ke
Prancis. Aku sendiri masih mengenakan hijab saat itu, namun ketika aku melihat
realita mama yang melepas hijabnya karena kerasnya hidup harus mama tempuh
dalam menghidupiku sebagai single parent,
aku pun mulai melepas hijabku. Dengan anggapan aku bisa lebih diterima di
lingkungan dengan melepas hijab. Bagiku, hidup terasa keras di Jakarta tanpa
kehadiran seorang papa dan mama yang terlalu sibuk bekerja. Hingga akhirnya
papa mengajakku tinggal di Paris. Orang yang menggunakan hijab sangat jarang
disini, sehingga aku tetap teguh pada pilihanku dengan tidak berhijab, karena
pilihan itu terlihat lebih mudah bagiku.
“Leona,
berhijab bukan hanya tentang menutupi rambutmu dari lawan jenis. Tapi juga
tentang menjaga dirimu selangkah lebih jauh dari kemaksiatan. Dengan
menggunakan hijab, setidaknya kamu akan membentengi dirimu sendiri dari hal
buruk dan akan berpikir ulang terhadap segala hal yang akan kamu lakukan. Hijab
adalah perisai bagi wanita yang menjaganya dari,”
“Fitnah
dan bahaya.” Kata-kata itu tiba-tiba berkelebat di kepalaku, aku bahkan tidak
sadar mengatakannya. Aku hanya merasa potongan kata itu tepat dengan apa yang
papa katakan sebelumnya.
Mata
papa membesar, “Kok kamu tahu apa yang akan papa katakan?” Papa menatapku lama,
menunggu jawaban. Aku tidak menyangka bahwa papa berpikiran seperti itu juga.
Aku hanya terdiam, tidak tahu mau menjawab apa.
Umurku
hampir menginjak 20 tahun. Dan hampir selama itu aku mengekspos rambutku ke
seluruh dunia. Kedua orang tuaku memang bukan orang yang sangat agamis dan
lingkungan hidupku di sini juga terbilang tidak agamis. Namun mamaku berhijab lagi
sejak dua tahun lalu dan aku mengikuti perkumpulan remaja islam disini-sesuai
saran papa. Meskipun mamaku berhijab, aku sangat jarang bertemu dengannya
sehingga semangat berhijabnya ketika beliau mendapat hidayah tidak tertularkan
padaku. Tapi sepertinya Allah memiliki jalan lain dalam menunjukkan kasih
sayangnya padaku.
Aku
tersenyum pada cermin di hadapanku. Yang sedang kulihat didepanku itu, sungguh
cantik dan anggun. Kain sutra berwarna ungu yang sedang kugunakan di kepalaku terlihat
cocok dengan balutan blus putih favoritku. Aku mengangguk beberapa kali,
berusaha menguatkan hati untuk menutup auratku mulai hari ini. Ini adalah
perintahNya, dan rambutku adalah perhiasan yang tidak boleh sembarang orang
melihatnya.
Tiba-tiba
papa melewati kamarku dan terpana melihatku. Beliau masuk ke kamarku dan
tersenyum. Ini adalah pertama kalinya aku menggunakan hijab selain ketika aku
akan shalat. Aku yang biasanya hanya menyelempangkan hijab di rambut, kini
menggunakannya dengan benar, dan papa tahu pasti apa maksud dari semua ini.
“Pa....
apa akan lebih baik jika Leona berhijab?” tanyaku. Mata papa berair, dan sambil
mengelus puncak hijabku papa berkata, “Papa akan sangat bersyukur jika kamu
memilih ini. Karena yang lebih cocok menjadi mahkota bagi seorang wanita
bukanlah rambutnya, tapi hijabnya.”
Hatiku
berdesir mendengar apa yang papa katakan. Aku pun melihat pantulan diriku
sekali lagi di cermin dan mengangguk mantap. Papa ikut mengangguk senang. Aku
tersenyum bahagia karena bisa membuat papa senang. Dan aku tahu, akan ada satu
orang lagi yang senang dengan keputusanku ini.
No comments:
Post a Comment