Wednesday, January 2, 2013

Resensi Novel Rumah Kaca



ANALISIS NOVEL RUMAH KACA
Laporan hasil pembacaan :
1
2.      Ringkasan Novel :
Pangemanann adalah seorang inspektur polisi yang memiliki keluarga yang sempurna dan bahagia. Ia sudah banyak memecahkan kasus-kasus berat dan diakui banyak orang. Pada suatu hari ia ditugaskan untuk memata-matai dan menyingkirkan seseorang yang tiada lain tiada bukan ialah orang yang ia kagumi, Raden Mas Minke. Akhirnya ia melakukan hal tersebut secara diam-diam dengan cara mendatangi rumah Minke seakan-akan ingin bersilaturahmi. Dalam tugas ini ia dibantu oleh Suurhof yang akan menjadi bawahannya langsung. Namun pada saat ini pagemanann masih belum berhasil. Akan tetapi ia selalu berusaha untuk mengenyahkan Minke. Pada akhirnya ia berhasil untuk menyingkirkan Raden Mas Minke hingga akhirnya Minke diasingkan ke Ambon. Minke adalah seorang pemimpin redaksi Koran. Ia berpihak kepada rakyat pribumi dan terus menerus menularkan semangat nasionalismenya kepada rakyat pribumi. Hal inilah yang merisaukan pemerintahan Belanda dan membuat Belanda mengambil jalan untuk mengasingkannya. Atas berhasilnya pangemanann menjatuhkan Minke, hadiahnya ia diangkat menjadi seorang ajukan komisaris.
Tiba-tiba,pangemanan dipecat dari jabatannya dan dipindahkan ke kantor pusat Algemenee secretarie untuk menggantikan Simon De Lange yang bunuh diri 3 hari sebelum kedatangannya sebagai orang yang memata-matai rakyat pribumi yang berpotensi untuk menjadi bibit menyulitkan bagi pemerintah Belanda sekaligus memusnahkan orang tersebut secara diam-diam. Dalam sepak terjangnya,muncullah Siti Soendari, seorang perawan yang sangat semangat dalam berpidato seputar nasionalisme, Marco, murid Minke yang suka menulis di surat kabar sambil mengobarkan semangat nasionalismenya dan orang-orang lainnya. Pekerjaannya di Algemene secretarie berjalan lancar namun diam-diam dia merasa jijik dan benci juga terhadap pekerjaannya karena secara tidak langsung ia melanggar hukum dan berlaku tidak adil terhadap orang-orang yang sebenarnya tidak berdosa, malah sebenarnya orang-orang yang mulia. Disamping itu, hubungannya dengan keluarganya pun memburuk sehingga Paullete meminta kembali ke Prancis bersama anak-anaknya.
Semakin lama, pangemanann merasa semakin sepi dan sendiri. Ia merasa semakin kehilangan segala sesuatu yang ia miliki. Semuanya hilang, termasuk dirinya sendiri. Ia merasa sudah tidak mengenal dirinya lagi. Akan tetapi ia tetap terus melanjutkan pekerjaannya. Sering kali ia merenung dan meratapi nasibnya sambil merasa bersalah terhadap semua orang yang sempat berurusan dengannya, terutama Raden Mas Minke. Tak jarang ia membaca buku Minke berulang-ulang berharap dengan begitu orang yang dihormatinya itu akan memaafkannya.
Ketika Gubernur Jendral Idenburg diganti menjadi Gubernur Jendral Van Limbung Stirum yang lebih lembut, Minke dibebaskan dari pengasingannya dan pangemanann menjemputnya. Minke yang sekarang sudah jauh berbeda dengan Minke dahulu yang memiliki banyak pengikut. Sekedar namanya pun sekarang sudah tidak terdengar lagi. Ia sudah dilupakan. Baru saja  Minke bebas, tak berapa lama kemudian ia meninggal dikarenakan penyakit disentri. Hal ini mengejutkan sang pangemanann sehingga ketika Minke hendak dikuburkan, ia ikut menggiringnya dari jauh. Sepeninggalnya Minke, pangemanann bertemu dengan Madame Sanikem La Bouq, yang tiada lain tiada bukan adalah ibunda dari Raden Mas Minke. Madam Sanikem yang tidak tahu apa pekerjaan pangemanann menanyakan keberadaan Minke kepada sang pengamanann dengan wajah berseri. Ketika pangemanann menceritakan kenyataan bahwa Minke telah meninggal, wajah Madam berubah padam. Ketika ditanya apa penyebabnya, pangemanann ragu dalam menjawab sehingga Madam mencurigainya dan hal ini sungguh membuat pangemanann merasa sangat hina. Ia merasa telah merenggut kebahagiaan orang yang ada di hadapannya ini. Setelah itu mereka berziarah ke makan Minke.
Sehabis itu mereka kembali ke rumah masing-masing. Pangemanann merasa sangat sakit jiwa dan raga. Seharian tadi, keringat dinginnya tak berhenti mengucur, wajahnya pucat dan bahkan berjalan pun ia tak sanggup. Ia sadar. Ia telah banyak sekali menghianati orang-orang yang memercayainya. Mulai dari istrinya yang ia khianati, bangsanya bahkan dirinya sendiri ia khianati. Ia merasa sangat tidak berguna sehingga pada akhirnya ia memutuskan untuk menuliskan surat kepada Madam La Bouq dan memberinya tulisan-tulisan Minke sambil mengakui segala pengkhianatannya selama ini. Setelah itu ia memberikan semua hal yang ia miliki sekarang kepada pembantunya sedangkan ia bertolak ke Belanda.
“Deposuit Potentes de Sade et Exaltavat Humiles”
Dia rendahkan Mereka Yang Berkuasa dan Naikkan Mereka Yang Terhina

3.

4.      Unsur Ekstrinsik :

Riwayat Hidup Pramoedya Ananta Toer :

Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya ialah guru dan ibunya ialah pedagang nasi. Ia meneruskan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia sanggup tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembalinya ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.

Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang.

Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memenangkan hadiah dari Universitas Michigan. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan sedang dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.

Pada 27 April 2006, Pram juga sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Saint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Pada 30 April 2006 pukul 08.55. Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.

No comments: