Sad? OF COURSE!
But what can I do? Nothing.
It was all wasted. I don't have anything.
He should know that he is an important person for me. And I did everything for him. I want to be beautiful for him, I paid so much for that. I want to be her princess and make him proud, I buy everything for that.
But then, it happened. And he didn't understand.
Yes, it was not his fault. But at least he's trying, did he?
What in the fairytale, would always remain there. I'll never be a princess. I must be know that. Why did I think something else.
Dissapointed? Should I said no?
Hm. Just poker face. I couldn't feel anything.
Whatever happens, happen.
Hm.
I don't know what is happy anymore.
Why did I write this tho, he will never ever read this.
THE REVE!
Meant every single thing God give to me.
Tuesday, October 16, 2018
Sunday, August 7, 2016
Prolog-Light in Helsinki
Salju
turun tanpa henti dari langit mendung kota ini. Gadis itu lagi-lagi memilih
duduk di pojokan perpustakaan. Membuka buku usang sambil menikmati pemandangan
kota melalui kaca besar di depannya.
Masih
sama.
Suasana
dan pemandangan yang ia lihat di depannya masih sama seperti tahun lalu. Saat
ia bisa dengan bebas mengekspresikan dirinya di depan orang itu. Saat-saat ketika ia menikmati harinya beserta senyum
orang di sekitarnya. Saat-saat ia merasakan kebahagiaan sesungguhnya.
Orang
bilang kehidupan berputar. Kadang di atas dan kadang di bawah. Ketika kau sudah
terlalu lama berada di bawah, momen ketika kau berada di atas sangatlah
berarti-walau hanya sekejap saja. Sesungguhnya ia lebih merindukan orang yang
menemaninya selama momen itu dibanding momen itu sendiri. Karena orang itulah
tercipta momen yang membuatnya merasa berada diatas angin. Namun sayang, orang
itu pergi terlalu cepat.
Ia
tahu orang itu pergi karena ingin memperbaiki segalanya. Namun entah mengapa, ia
merasa semua yang pernah mereka jalani bersama sungguh fana. Dan janji yang
pernah orang itu ucapkan bagai buih di dermaga.
Yang
bisa hilang kapan saja.
Us
“Ya, aku suka sama kamu, Ka. Aku sayang sama kamu, apa itu
salah?” ucapku tak terkendali. Alka membeku di depanku. Dia mendekat ke arahku,
memegang bahuku dengan penuh tenaga lalu mengguncang-guncang pundakku seraya
berkata, “Kamu bohong,kan? Jangan bercanda Lid, ga lucu tau!”
Bulu
kudukku meremang mendengar teriakannya tepat di depan wajahku. Bahuku rasanya
sudah mati rasa karena cengkraman Alka yang keras. Alka tetap menatap wajaku
ketika aku mengaduh kesakitan. Ia bahkan tidak mengurangi cengkramannya
sedikitpun.
Tapi
cengkraman itu rasanya biasa saja bila dibandingkan dengan tatapan Alka yang
menyala-nyala. Entah kenapa matanya itu sungguh menyakitiku. Kenapa? Kenapa
ketika aku menyatakan perasaanku, Alka marah? Apa yang salah jika aku jatuh
hati padanya? Apa itu artinya bahwa ia sama sekali menyukaiku? Bahkan
membenciku?
“Lihat
mataku, Lidia! Bicaralah bahwa kamu tidak menyukaiku. Kamu tidak boleh
menyukaiku, Lidia!” bentaknya. Aku menunduk semakin dalam. Matanya yang tajam
seakan menyayat-nyayat hatiku, sakit. Alka mengguncang-guncangkan diriku agar
wajahku naik tapi aku tetap menunduk. Alka frustasi lalu melepaskan
cengkramannya. Seketika rasa kehilangan memenuhi tubuhku. Aku takut Alka pergi.
“Kenapa
sih kamu gabisa bilang kalo ga suka sama aku?” tanyanya tiba-tiba masih dengan
nada yang menusuk. Air mataku mulai berdesakkan untuk keluar. Karena kenyataannya aku suka kamu, Alka. Aku
jatuh cinta sama kamu.
“Kalo
kamu gabilang kamu gasuka sama aku, itu bakal jadi bencana Lid. Ayo bilang kamu
gasuka aku!” bisik Alka dari belakangku. Aku sudah tidak bisa lagi menahan air
mataku. Alka menolakku. Aku benar-benar ditolak dengan cara yan kasar. Ia
bahkan sepertinya membenci ide aku menyukainya. Oh, Alka... seburuk itukah aku
dimatamu? Tapi, kenapa?
“Maaf
Alka...” desisku. Alka yang berada di belakangku diam menunggu. “Maaf karena
aku menyukaimu bahkan terlanjur jatuh cinta padamu.” Bisikku pelan. Alka masih
terdiam. “Maaf, aku tidak bisa bilang jika aku tidak menyukaimu. Karena aku
sungguh-sungguh jatuh cinta padamu. Salahkan saja aku karena telah lancang
mencintaimu. Aku sadar bahwa aku memang tidak pantas untukmu. Tapi bagaimanapun
itu aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri.” Air mataku tiba-tiba
mengalir deras dan kakiku gemetar.
“Maaf jika aku menjadi bencana
untukmu.” Akupun lumpuh dan terjatuh kebawah tapi sebelum lututku sempat
menyentuh lantai, Alka menangkapku dari belakang. Ia memelukku.
“Alka?” panggilku. Alka tidak menjawab.
Ia tetap memelukku. “Alka, kamu gausah ngasihanin aku kaya gini. Ka?” ujarku.
Tiba-tiba Alka membalik badanku dan memelukku erat. Air mataku terhenti. Ada
apalagi dengan Alka?
“Maaf Lidia, aku sungguh minta maaf.”
ujarnya. Aku menengadahkan kepalaku dan menatap matanya. “Maaf untuk?” tanyaku.
“Karena telah memaksamu untuk
berbohong.” ujarnya. Mataku berkedip mendengarnya. Belati lagi-lagi menusuk
dadaku. “Dan karena telah berbohong padamu tentang perasaanku.” tambahnya. Aku
berkedip berkali-kali tak percaya. Apa itu maksudnya?
Alka merengkuhku lebih dalam di
pelukannya lalu mengecup keningku. “I’m
madly truly crazy in love with you, Lidia.” ujarnya. Jantungku berdetak dua
kali lebih cepat. Hangat tubuhnya menginduksi tubuhku yang dingin untuk hangat
juga. Rasanya aku menemukan kembali sosok Alka yang hilang beberapa saat yang
lalu. Tapi, kenapa Alka tiba-tiba berubah 180 derajat dari sebelumnya? Dia
bahkan mencium keningku. Tuhan, Alka kenapa sih?
“Ka, kamu kenapa sih? Kenapa
berubah-berubah terus kaya gini?” tanyaku dalam pelukannya. Alka hanya diam
namun tiba-tiba ia melepas pelukannya.
“Bahu kamu ga kenapa-kenapa, kan?”
tanyanya sambil mengelus bahuku. Diantara debaran-debaran halus ddalam dadaku,
aku termenung. Pasti ada yang terjadi. Kenapa Alka langsung berubah begini? Apa
ia sedang pura-pura? Apa pernyataannya juga hanya pura-pura? Tiba-tiba saja aku
menatap Alka curiga.
“Kenapa?” tanya Alka heran aku
menatapnya curiga.
“Kamu yang kenapa.” Ujarku sambil
menepis tangannya dari bahuku. Aku berjalan tegak dan menjauhinya menuju sofa.
Aku harus duduk jika ingin bertanya padanya agar aku tidak lemas dan terjatuh
lagi seperti tadi. Tanpa kusangka Alka mengikutiku untuk duduk di sofa. Aku
terdiam, menunggunya berbicara.
Akhirnya Alka menyerah dan membuka
suaranya, “Yaudah, apa yang pengen kamu tau?”
Aku tersenyum menang. Dengan malu-malu
aku bertanya padanya, “Kamu beneran suka sama aku?” tanyaku so cool. Alka menghembuskan napas lalu
mengangguk. Hampir saja aku berteriak kegirangan sebelum akhirnya aku
mengendalikan diriku. “Sejak kapan? Kenapa? Em, terus......” tanyaku spontan.
Alka menatapku dalam, aku langsung
membisu. “Aku rasa semenjak kita pertama ketemu.” Jawabnya pasrah, aku menahan
napas. “Dan, em....” Alka berdeham sejenak sebelum menjawab pertanyaan keduaku,
“Emang jatuh cinta sama kamu butuh alasan, ya?” ujarnya. Kontan sesuatu meleleh
dalam diriku. Jantungku berdetak semakin cepat sampai aku lupa bahwa aku belum
mengambil napas. Kami terdiam lama.
“Thanks, Ka.” Ujarku memecah
keheningan. Alka mendekatkan posisi duduknya padaku hingga sekarang lutut kami
saling bersentuhan.
“Tadi... maaf, ya?” ucapnya setengah
bertanya padaku. Aku tersenyum dan mengangguk. “Aku takut kamu bakal menyesal
karena suka sama aku. Aku, kan bukan orang yang baik.” Ujarnya.
“Hush, kamu baik kok.” Ujarku.
“Ya, aku hanya takut membebanimu saja
sebenarnya.” Tambahnya.
Bismillah, I am Back
“Allah always have the best plan
for us. Oh, really?”
Angin berhembus kencang menusuk-nusuk kulitku yang
memerah. Meskipun sudah memakai jaket bulu yang tebal, angin sungguh sanggup
untuk tetap membuatku menggigil hebat. Kurapatkan kedua tepi jaketku yang sudah
menempel. Kuelus-elus bulu yang bertengger di ujungnya untuk mendapatkan
kehangatan.
Tiba-tiba sesuatu dalam tasku bergetar. Sontak kumasukkan
tanganku acak mencari benda yang bergetar itu. Tepat ketika aku memegang benda
itu aku langsung memencet tombol berwarna hijau yang menyala-nyala. Sebelum aku
menjawab sapaan dari seberang, kuhembuskan napas berat, warna putih keluar
bersusulan dari mulutku.
“Iya.... Hm... iya..... aku bentar
lagi nyampe di katedral kok, jemput Pere1.” Suara diseberang semakin
lama semakin mengecil hingga akhirnya menghilang. Aku langsung melemparkan
pandanganku pada jalan yang terbentang di depan dan berjalan lebih cepat lagi.
Pere sudah menungguku.
Langkahku memelan ketika sebuah
bangunan megah berada di hadapanku. Dilatarbelakangi oleh menara Eiffel yang
puncaknya sudah hampir memutih, Katedral Pantekosta terlihat sangat anggun. Sesaat,
aku menimbang-nimbang apakah aku harus masuk atau tidak. Aku kan, bukan
termasuk jemaatnya. Tapi karena keadaan sekitarku semakin terasa menusuk dan
membuatku sesak, kuputuskan untuk mencari kehangatan di dalam.
Ini bukan pertama kalinya aku masuk
ke gereja, mungkin sudah yang kedua atau ketiga kalinya. Dan setiap aku
melakukannya, rasa ingin tahuku tergelitik dengan hal apapun yang berada di
dalamnya. Beruntung, tepat ketika aku masuk ke dalam, sebuah tangan besar
dengan sweater yang kukenal langsung
memelukku erat. Hal ini membuatku tidak perlu bertanya-tanya lagi pada pastor
tentang apa yang sedang dilakukan di dalam.
Aku adalah anak tunggal dari
sepasang suami istri yang memiliki perbedaan kepercayaan. Pere adalah seorang
kristiani sedangkan mama adalah seorang muslimah. Hidupku bahagia dengan itu
dan aku cukup mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuaku, meskipun
sekarang mereka telah bercerai.
Kini aku hidup dengan pere di Paris. Pere
dipindahkerjakan oleh perusahaannya tujuh tahun lalu kesini. Itulah hal yang
membuat kedua orangtuaku berpisah. By the
way, aku selalu menganggap bahwa hidup adalah sebuah pilihan. Maka ketika
pere mengajakku untuk tinggal bersamanya disini lima tahun yang lalu, aku
langsung mengiyakan. Lagi pula, kapan lagi aku akan mendapatkan kesempatan
seperti ini?
“Leona, nanti malam kamu mau dimasakin
apa?” tanya pere tiba-tiba. Mata biru lautnya menatapku intens, membuatku
terpesona. Aku hanya menaikkan bahu. Diam-diam aku tersenyum, sepertinya aku
tahu kenapa dulu mama jatuh cinta pada pere.
“Maaf, ya Leona pere lagi manja nih.
Pere lagi kangen sama kamu.” ujarnya lalu menepuk-nepuk wajahku di dalam
tangannya yang besar. Aku tersenyum semanis mungkin dan mengangguk, “Aku gapapa
kok Pere, aku juga kan kangen sama Pere.” jawabku mantap. Bola matanya bersinar
lalu menggandeng tanganku pelan, “Kita pergi keluar aja yuk malam ini.” Aku
mengangguk setuju.
--
“Assalamu’alaikum sayang, gimana
kabar kamu disana? Apa rencana kamu hari ini sama papamu?” suara lembut mama
menyapa telingaku di pagi yang dingin ini. Aku menyahut asal karena baru saja
bangun.
“Waalaikum salam. Gatau nih, disini
kan ga lagi weekend mam, jadi
palingan aku sekolah dan Pere kerja kaya biasa.” Aku berusaha untuk
merenggangkan badanku sambil mendengarkan mama yang mulai berceloteh seperti
biasa.
Mama selalu bercerita banyak padaku
setiap kali menelepon. Dan kali ini mama bercerita tentang acara liqo yang
diikutinya kemarin dan merasa sangat puas dengan pembicaranya. Ia bahkan sedang
mencoba untuk berbisnis dengan pembicara itu. Seperti biasa, ketika mama sedang
bercerita, akulah yang akan menjadi pendengar setia mama.
“Udah salat,
sayang?” aku tersentak dengan pertanyaan yang tiba-tiba mama ajukan, bingung
harus menjawab apa. Pasalnya, aku baru saja bangun ketika mama menelepon.
Akhirnya aku menggeleng, meskipun
aku tahu mama tidak bisa melihatku, lalu dengan gelagapan aku menjawab, “Belum,
mam. Nanti aja.” Terdengar desahan napas panjang dari ujung sana yang membuatku
merasa bersalah. Suara mama melemah, “Yasudah, tapi solat ya, jangan lupa. Oh
iya, ingat Leona. Allah always have the
best way for us.” ucap mama, aku hanya mengangguk tidak pasti.
Berhubungan dengan apa yang mama ucapkan, sebenarnya
terkadang aku bertanya-tanya, ‘jalan apa’ yang mama maksud. Tapi, aku tidak
pernah berani ‘bertanya betulan’ padanya. Semua pertanyaan itu hanya kubiarkan
berkelana bebas dalam benakku. Yang membuatku jenuh adalah kenyataan bahwa mama
selalu mengucapkan kalimat itu setiap kami akan memutuskan telepon. Mama sangat
memercayai quote itu. Aku? Yah, mungkin percaya.
--
“Halo, Leona, assalamualaikum.” Dion,
orang yang beberapa bulan terakhir menghantui mimpiku, menyapaku dan berjalan
ke arahku. Aku mengangguk ke bawah, pura-pura tidak tertarik padanya dan sekuat
mungkin menahan keinginanku untuk menjelajahi wajah indonya.
“Leona?” orang itu memanggil namaku lagi ketika aku
tidak juga membalas tatapannya.
“Ya?” akhirnya, kuangkat kepalaku dan berusaha untuk
tersenyum padanya.
Bukannya membalas senyumku, dia malah
mengangguk-angguk puas. “Aku mau pamit, nih Len,” ujarnya tiba-tiba. Aku
terbelalak dan tanpa sengaja menyahut “Hah?”. Dia tersenyum sambil mengajakku
duduk di kursi taman sebelah kami untuk menjelaskan alasannya. Aku mengikutinya
pelan.
“Aku mau pulang ke Indonesia. Studiku udah selesai
disini. Lagian, disini juga ngapain, bosen. Mendingan buka praktek yang
bermanfaat di Indonesia sana.” ujarnya tenang. Keningku bekerut heran. Hei, ini
kan Paris. Bisa-bisanya dia bosan berada disini, ckck.
“Jadi.... aku mau pamitan.” tambahnya lagi.
“Kapan pulangnya?” tanyaku spontan.
“Lusa nih kayanya. Kenapa? Mau ikut?” Aku
memberengut ketika ia tanya begitu.
“Kamu aja deh yang pulang. Aku masih betah disini.” jawabku
selanjutnya. Tiba-tiba mata hazel itu menelitiku dari atas kebawah lalu
tersenyum simpul.
“Wah, gimana ini, aku pasti kangen kamu.” ujarnya
pelan. Kurasakan pipiku memanas, pasti merona dia bilang begitu. Dia tetap
menatapku, menunggu jawaban. Aku hanya menunduk salah tingkah.
“Le, jangan
lupa sama Allah, ya. Allah itu harus selalu menjadi nomor satu.” tambahnya
pelan. Aku merasa tersentil. Apasih maksudnya? Mengingat Allah? Kapan terakhir
kali aku melakukannya? “Ya?” tanyanya lagi. Aku mengangguk pelan.
“Salat, Le. Itu yang terpenting. Salat itu tiang
agama. Kalo kamu ga salat, imanmu dipertanyakan. Jangan cuma
jadi islam KTP, emangnya kamu mau masuk surganya juga cuma di KTP doang?” Aku
mendesah tak rela. Dion memulai ceramahnya sebelum ia pergi. Aku hanya bisa tersenyum
hambar disetiap dia menatapku. Dion memang taat beribadah dan sebenarnya hal
itu yang membuatku jatuh hati padanya. Tapi, ini kan pertemuan terakhir kami.
Masa dia malah menceramahiku? Aku mendengus kesal.
--
“Lying down,
underneath the stars thinking about the way you look....”
ponselku bergetar. Dengan sigap, aku langsung mengangkat telepon yang berasal
dari getaran ponselku tadi.
“Leona?” tanya suara di seberang.
“Ya?” jawabku spontan. Orang yang menelponku rupanya
sedang buru-buru karena ia langsung menjawab. “Mamamu kecelakaan. Kecelakaan
beruntun. Ia terhimpit mobil. Sekarang sedang berada di RSCM.” ujarnya cepat.
Aku membelalak tak percaya. Bisa kurasakan keringat langsung membanjiri
tengkukku dan tanganku bergetar hebat. “Ma.... mama.... kecelakaan apa?”
seketika runtutan cerita meluncur dari suara diseberang yang kukenali sebagai
suara tanteku. Lututku melemas dan ponselku langsung jatuh entah kemana.
--
“Sayang, pere yakin mamamu gak akan apa-apa kok. Dia
kan kuat, just believe that.” ujar
pere yang sedari tadi menenangkanku. Tadi aku sedang sarapan dengan pere dan
tiba-tiba saja ponselku bergetar. Pere kaget karena aku tiba-tiba terjatuh dan
hampir pingsan ketika aku mengangkat ponsel. Untung saja pere cekatan dan
langsung bisa menebak apa yang bisa terjadi. Alhasil, pere sekuat tenaga
menenangkanku yang shock tiba-tiba.
Tapi entah, aku bahkan tidak bisa mendengar apa yang pere katakan. Aku terlalu
tuli untuk itu sekarang. Satu-satunya hal yang masih terngiang di telingaku
adalah ketika tante bilang bahwa mama kecelakaan dan runtutan kejadiannya yang
mengenaskan. Oh Tuhan, kenapa orang sebaik mama yang harus mendapatkan musibah
separah itu? Berita ini sungguh membuatku takut.
Aku gemetar, membayangkan kemungkinan terburuk yang
akan menimpa mama. Kugosok mataku yang perih karena belum berhenti menangis
sejak tadi. Oh, mama... Beberapa saat pere pergi dari sisiku dan langsung
memesan dua tiket menuju Jakarta. Ketika pere kembali, aku masih menggigil
hebat ketakutan.
Pikiranku melayang lagi. Mulai terbayang di pelupuk
mataku jika aku kehilangan mama. Aku pasti akan merindukan suaranya, aromanya,
derai tawanya, senyumnya. Ya Tuhan.... aku bahkan sudah mulai rindu padanya.
Skeptis, aku menyalahkan semua kejadian ini pada
Allah, tuhanku dan mama. Hanya Dialah dzat yang bisa ikut campur dalam urusan
ini. Lalu, sebagai Maha Bijaksana, dimana keadilanNya itu? Kenapa mama yang Allah
hukum? Apa ini jalan terbaik yang Kau beri untuk mama? Aku merasa pilu, mama
selalu memercayai kata-kata itu. Ya Allah, Jika memang ada yang salah dengan
keluarga kami, kenapa bukan aku saja yang dihukum? Bukankah aku yang paling
jauh dariMu ya Rabb? Ya Allah...
kenapa Kau begitu kejam padaku? Aku menangis-lagi. Aku bahkan tidak tahu
bagaimana caranya menghentikan tangis ini.
“Sayang, kamu
udah bisa solat mayit, kan?” tanya mama sambil mengerling ke arahku. Aku tertawa
mengejek, “Aduh, belum bisa nih ma. Lagian, buat apa?”tanyaku sambil merangkul
mama. Mama menggeleng, “Iiih, kamu ini islam tapi kok gabisa solat mayit. Kalo
mama yang meninggal, mama ga ridho loh kalo kamu ga nyolatin mama.” ujar mama.
Sontak aku melirik mama,”Ih, mama apaan, sih? Kayak yang ngarepin mati aja.”
Aku melepas rangkulanku sambil cemberut. Mama mendekatiku lagi lalu memelukku.
“Kematian itu pasti, sayang. Pasti.” Hening.
“Kalo mama yang meninggal, aku yang bakal
urusin semuanya. Mandiin, nyolatin, nguburin, bersihin pusaranya, bahkan bacain
Yasin tiap hari. Aku yang bakal lakuin, ma.”tambahku tiba tiba. Mama menatapku
intens.
Cahaya menyilaukan berebut menelusup ke dalam mataku
tepat ketika aku membuka mata. Aku mengangkat kepalaku pelan sambil memerhatikan
sekitar. Rumahku sepi, tidak ada alunan instrumen mozart yang disukai pere
seperti setiap sore. Terlalu hening. Tiba-tiba aku teringat mimpiku barusan. Aku
menghembuskan napas berat, kenapa aku malah bermimpi seperti tadi? Apa itu.....
tanda? Aku menggeleng pelan, menahan cairan bening yang mendesak untuk keluar lagi
dari mataku.
Untuk menahan cairan ini keluar, aku bangkit dan
memaksa diriku bekerja secepat mungkin untuk mencari pere. Aku menyusuri ruang
keluarga dan dapur. Tidak ada. Dimana pere? Namun, sesampainya di kamar pere,
aku terpaku.
Ribuan rasa bersalah menyergapku. Hening dan sepi
menyatu menjadi satu membuat pere terlihat bercahaya dan sangat khusyu dalam
berdoa. Tanpa harus dikatakan, aku tahu apa yang pere sedang doakan. Ya, pere
sekarang sedang berlutut di hadapan patung bunda maria sambil menelungkupkan
tangannya di dada. Ia menunduk dalam sambil beberapa kali mengambil napas
berat. Tiba-tiba pere melihat ke arahku dan tersenyum.
“Mau berdoa juga, Leona?” tanyanya. Aku tersenyum ke
arahnya. Setelah itu pere melambaikan tangannya, memintaku untuk mendekat. Aku
berjalan pelan. “Gimana? Kamu mau ikut berdoa juga ga buat mama?” tanyanya lagi
sambil menunjuk ke patung bunda maria yang berada di depanku. Aku membelalak
kaget. Maksud pere.... namun tiba-tiba pere langsung terbahak beberapa saat
setelah melihat ekspresiku.
“Hahaha, bukan itu sayang maksud pere. Bukan.” Pere
mengelus puncak kepalaku lalu melanjutkan, “Kalo kamu mau, pere mau nyiapin
mukenanya, maksudnya. Kamu jangan pura-pura kaget gitu ah.” tambahnya.
Aku baru bisa menangkap maksud pere beberapa detik
setelahnya. Dan ketika aku menyadari apa maksud pere, ada rasa penasaran
menghampiriku. Berdoa juga? Bolehkah? Kapan terakhir kalinya aku berdoa
padaNya, ya? Jika sekarang aku berdoa, masihkah Dia mendengar doaku? Tiba-tiba
ucapan mama terngiang di telingaku, “Allah selalu punya jalan yang lebih indah
untuk kita.” Really? What way? Inikah? Pray for mom? Dengan cara bertaubat? Aku menghembuskan napas pelan.
Yah, apa salahnya mencoba. Lalu aku mengangguk ke arah pere.
Aku merasa sangat nervous, aku bahkan bisa mendengar detak jantungku yang
bertalu-talu ketika aku memakai kain putih suci di atas kepalaku. Ringan dan
nyaman sekali rasanya. Ketika aku hendak mengangkat tanganku untuk mendirikan
salat maghrib, karena kusadari ini masih jam maghrib, tanganku bergetar hebat tapi
anehnya tidak sama sekali terasa berat. Aku menghembuskan napas pelan. Bismillahirrahmanirrahim. Allahu akbar.
Fiuh,
ini adalah salat pertamaku setelah sekian lama aku meninggalkannya. Hatiku
rasanya damai sekali. Aku tidak pernah menyangka bisa setenang ini ketika mama
sedang sekarat. Dalam doa, kuminta segala hal yang kuharapkan untuk mama.
Meminta ridhonya dalam doaku, memintakan maaf atas dosa-dosa mama and especially,
meminta agar mama cepat disembuhkan. Setelah itu, aku tersungkur dalam sujud
dan tangisku hingga waktu isya datang. Sudah waktuku untuk bertaubat.
Keesokan harinya, aku merasa baru. Semenjak salat
maghrib kemarin, aku berkomitmen penuh untuk selalu menjalankan kewajibanku
sebagai hambaNya. Since yesterday, I just
realize that I believe in God and my only one God is Allah SWT. So I should
have to respect Him as best as I can.
Kemarin, setelah selesai salat dan berdoa aku merasa
tenang luar biasa dan yang aneh adalah bahwa aku merasa tidak panik sama
sekali. Ditambah lagi sejam setelah itu, tante menelepon bahwa masa kritis
sudah berhasil mama lewati dan bahkan mama sudah sempat sadar kemarin malam.
Sekarang mama hanya tinggal dirawat beberapa hari lagi untuk menyeimbangkan
keadaan tubuh mama yang masih shock
akibat kecelakaan yang mama alami. Dan, hal itulah tambah yang membuatku yakin
bahwa Dia menerima taubatku. Hal itu pulalah yang membuatku sadar bahwa aku
harus berubah. Ya Rabb, I am back in Your way.
Aku tersenyum pada cermin di depanku. Yang sedang
kulihat didepanku itu, sungguh cantik dan anggun. Kain sutra berwarna ungu yang
sedang kugunakan di kepalaku terlihat cocok dengan balutan blus putih
favoritku. Aku mengangguk beberapa kali, berusaha menguatkan hati untuk menutup
auratku mulai hari ini. Aku kan, sudah baligh.
Bahkan, pere yang awalnya hanya lewat saja terpana
ketika melihatku. Ia mendekat lalu langsung menciumi keningku beberapa kali. Ia
memelukku seraya berkata, “Alhamdulillah,
ya Leona. Alhamdulillah.” Aku
mengangguk dalam pelukannya karena mengerti apa yang sedang pere maksudkan.
Mama. Ya, sudah lama sekali mama ingin melihatku berjilbab. Dan pere sangat
menyukai seorang wanita yang berjilbab, menawan, katanya. Bahkan konon dulu
pere jatuh cinta pada mama karena jilbab panjang yang menempel pada mama.
“Pere, kita jadi kan ke Indonesia?” tanyaku penuh
harap. Tanpa menunggu lebih lama lagi, pere langsung mengangguk. Aku tersenyum
berterimakasih pada pere, “Bagus deh soalnya aku mau ngasih seseorang kejutan.”
Pere tersenyum puas.
--
Sinar terik matahari dan aroma bandara yang penuh
sesak langsung menyambutku ketika aku baru saja menginjakkan kaki lagi disini.
Bandara Soetta tidak berubah sama sekali semenjak kepergianku beberapa tahun
lalu. Tetap ramai dan penuh dengan orang yang hilir mudik dengan urusannya
masing-masing. Dan tentu saja, orang-orang pribumi dan gayanya yang kurindukan.
Aku memutar kepalaku pelan sambil mencari orang yang akan menjemputku. Aku
tidak bersama pere karena kemarin aku ada ujian kenaikan tingkat di sekolah.
Sehingga pere berangkat kemarin dan aku berangkat sendiri hari ini.
Rencananya, mama sendiri yang akan menjemputku
disini. Meskipun mama masih perlu dirawat, mama meminta izin mati-matian pada
dokter untuk menjemput anaknya yang merantau sudah lama ke negeri orang.
Awalnya dokter tidak mengizinkan. Menghilangkan fobia dan memulihkan kesehatan
mama yang mengalami kecelakaan beruntun tentu tidak semudah itu, bukan? Tapi
ketika pere datang dan berjanji untuk menjaga mama akhirnya dokter itu
mengizinkan.
Seketika aku terpaku pada sosok seorang wanita yang
terduduk di kursi roda dan sedang menatapku. Dress bercorak sakura dan jilbab yang melekat padanya sangat
kukenali. Di belakangnya terdapat seorang pria paruh baya yang dengan sepenuh
hati mendorongkan kursi roda sang wanita. Aku terdiam di tempat beberapa saat
ketika wanita itu melambai ke arahku. Mama... Aku menunduk. Oh, tidak. Aku
tidak boleh menangis di saat seperti ini.
Mama dan pere mengambil langkah mendekat ke arahku
dan saat itu juga aku langsung berlari ke arah mereka tanpa peduli dengan
tatapan aneh banyak orang. Aku rindu, sungguh sangat rindu mama. Ketika sampai
di depannya, aku berlutut di bawah kakinya dan memeluknya erat. Mama memelukku
balik dan kurasakan mataku basah dan airnya merembes pada jilbabku dan jilbab
mama. Mama mengusap mataku pelan dan menggeleng, aku tidak boleh menangis di
saat sebahagia ini, katanya. Aku mengangguk dan menghapus air mata yang masih
menggenang di pelupuk mataku. Aku pun mulai bercerita pada mama tentang
perjalanan perdanaku pulang ke Indonesia sendirian. Mama juga ikut bercerita
tentang betapa ia tidak sabar menungguku pulang sejak kemarin. Plus, tidak lupa mama juga melontarkan
pujian atas keanggunanku memakai jilbab.
“Ehem, kangen sih boleh tapi ga nyampe ninggalin
koper di tengah jalan juga dong.” Seketika aku mendengar suara yang sangat kuhafal
di belakangku. Aku menepuk kepalaku pelan, masa sih ini benar suaranya?
Bagaimana bisa? Mungkin, karena ini Indonesia aku juga jadi rindu padanya,
pikirku.
“Wah, apa iya ditinggal disana, Dion? Wah, bahaya
sekali ya.” ujar mamaku tiba-tiba. Aku heran dan akhirnya membalikkan badanku.
“Halo.” Sapanya. Aku menganga kaget. Kenapa bisa? Pere yang mengerti keadaan
langsung menepuk pundak Dion pelan sambil menjawab rasa penasaranku.
“Kamu harus bilang makasih sama dia. Dia orang yang
nekat untuk menyelamatkan mamamu dari himpitan mobilnya yang sudah rusak. Kebetulan,
dia juga seorang dokter. Jadi dia langsung melarikan mamamu dan korban lainnya
ke rumah sakit terdekat.” ujar pere pelan. “Ayo kena...” sebelum pere
menyelesaikan ucapannya, Dion sudah memotongnya sopan.
“Halo, Leona, apa kabar?” tanyanya. Pere membelalak
bingung, lalu menatapku dan Dion bergantian. Mama yang melihatnya langsung
mengambil alih keadaan, “Kamu ini gak tau ya kalau mereka teman se-almamater di
Paris?” kerling mama pada pere. Pere tambah membelalak. Aku mengangguk pada
pere, mengiyakan perkataan mama barusan. Lalu tatapanku beralih pada Dion yang
sedang menatapku tepat di manik mataku. “Alhamdulillah.”
Setelah itu kami bergegas pulang ke rumah mama. Pere
dan mama berjalan di depan sementara aku dan Dion berjalan beriringan tepat di
belakang mereka. Sebenarnya, aku merasa salah. Masa dua pasang insan manusia
yang bukan muhrim berjalan saling beriringan? Yang membuatku risih adalah
kenyataan bahwa aku sangat nyaman berada di dekat laki-laki ini. Ya Allah,
maafkan aku karena aku sangat rindu aroma laki-laki di sebelahku ini. Bahkan
aku sempat merasa waktu berhenti berputar ketika Dion menatap manik mataku.
“Leona, like
what I said before that you will look
perfect when you wear a veil. And you prove it now. Now, you are crazily
beautiful, Leona.”aku merasa malu luar biasa ketika
kurasakan pipiku memanas mendengar Dion berkata seperti itu.
“Oh yah I ever
thought about it before, but in that time I just feel wrong. But I am totally
serious now.” ujarnya tiba-tiba.
Keningku berkerut, mulai tertarik dengan pembicaraan
abstrak ini. “What that was mean,
Dion? What do you just talk about?”
tanyaku. Dion tiba-tiba berhenti berjalan dan memandangku lekat.
“Aku tahu kamu yang sekarang pasti sudah berbeda
dengan kamu yang kutemui beberapa bulan lalu. Aku tahu, kamu yang sekarang jauh
lebih dewasa dari kamu yang kemarin. Maka dari itu sebelum ada yang membuatku
menyesal, aku akan memutuskannya sekarang.” jawabnya. Aku masih mengerutkan
keningku lalu ikut berhenti berjalan di depannya. “Apaan, sih Dion? Aneh banget
ih.” tanyaku tidak sabar.
Dion menangkap kedua bahuku di tangannya, memaksaku
untuk langsung berhadapan dengannya. “Sekarang, aku sudah yakin dengan pilihan
hatiku, Leona. Cepat atau lambat, kamu harus mengetahui tentang hal ini. Sudah
sejak lama aku memiliki perasaan ini padamu namun selama ini aku masih ragu.
Ketika aku harus meninggalkanmu kemarin itu, aku merasa sebagian jiwaku
tertinggal di kota yang sudah membuatku jatuh cinta. Tapi sekarang aku sudah
mantap. Aku bersyukur karena ternyata Allah mengabulkan permintaanku. Aku pernah
meminta, jika kamu memang orang yang Ia pilihkan untukku, aku ingin Ia
memberiku petunjuk. Dan dengan kamu menggunakan jilbab sekarang, itu sudah
lebih dari cukup sebagai jawaban dariNya.” ujarnya yang sukses membuatku
menganga lebih lebar.
Dion menatap mataku lekat, “Leona, will you marry me?”
Pertanyaan tiba-tiba itu sukses membuatku terlihat
seperti ubi rebus. Aku menunduk dalam, tidak berani untuk menantang matanya
yang sedang mencari-cari tatapanku dalam matanya. Aku kaget, kenapa tiba-tiba Dion
mengatakannya di saat seperti ini? Aku melirik mama dan pere yang ternyata
ikut-ikutan mendengarkan percakapan kami sedari tadi dari depan mobil. Mereka
tersenyum dan mengangguk setuju. Sepertinya, Dion sudah berhasil memenangkan
hati kedua orang tuaku. Oh, bahkan dia sudah mencuri hatiku jauh sebelum itu.
Ketika aku belum juga menjawab pertanyaannya, dia
menatapku salah tingkah. “Jangan salah sangka, Leona. Aku begini bukan karena
aku ingin menikah muda. Tapi, bukankah semuanya akan menjadi lebih indah ketika
kita melaksanakannya sesuai dengan syariat dan perintahNya?” pada titik ini,
aku baru bisa menatap matanya dan ribuan rasa syukur langsung kupanjatkan
padaNya. Dengan menyebut asmaMu ya Allah, aku mengangguk di hadapannya dan di
hadapan kedua orang tuaku. Dion terlihat lega. Baik mata dan bibirnya
mengulaskan senyum penuh syukur yang membuatku jatuh hati lagi padanya.
Terjawab sudah pertanyaanku selama ini. Ya, Allah
memang memiliki rencana yang lebih indah untuk kita. Bahkan, yang terbaik untuk
kita. Just believe Him in everything He
give to us.
Aku dan Kamu
Mata
hazel itu lagi-lagi membiusku. Wajahnya yang rileks dan kecoklatan membuat
hatiku berdesir. Bibirnya mengulaskan senyum yang cukup menawan. Perlahan
ujung-ujung bibirku ikut mengangkat. Dalam diam kunikmati pemandangan ini dari
jauh.
“OI!”
Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dan mendorong badanku keras. Orang yang
tak perlu kutanyakan lagi siapa. Refleks, aku langsung berdiri dan memukulnya
balik. Ia menghindar dan seperti biasa aku akan berlari untuk membalasnya.
“Dasar
pendek, lari aja payah.” ledeknya beberapa meter dari jangkauanku. Aku
mendengus kesal dan bersiap melempar barang terdekat dariku. Ketika kuangkat
tempat pensil yang kupegangi, bukannya takut, ia malah semakin semangat
mengerjaiku. Ia menjulurkan lidahnya padaku. Aku berhenti mengerjarnya. Aku
baru tersadar sesuatu. Orang yang semenjak tadi kuperhatikan sepertinya merasa
terganggu dengan kegiatanku dan Rama sehingga ia sudah hilang dari pandanganku.
Aku menunduk, menyesal.
Rama terbahak
melihat ekspresiku. Ia berjalan mendekatiku, mengelus puncak kepalaku dan
berujar, “Pendek.” Bukannya membalas, aku memilih untuk menginjak kakinya lalu
berdecak kesal. Dia yang membuat’nya’ pergi. Rama mulai menjahiliku lagi, tapi
aku hanya terdiam.
“Kenapa
deh?” tanyanya ketika sadar aku tidak tertarik sama sekali untuk membalasnya.
Aku
menghembuskan napas kesal. Sambil menunjukkan telunjukku pada Rama, aku
mengerang, “Kamu, sih. Bikin bete aja, dianya pergi kan.”
Sedetik
kemudian aku menyesal karena kulihat mata Rama melebar jahil, “Ciee.. siapa
tuh? Cerita dong! Cie.. cie…” Kusambar buku di sebelahku dan kututup telingaku
oleh buku itu ketika Rama dengan hebohnya meledekku di depan anak-anak sekelas.
Tiba-tiba Rama berhenti meledekku. Dari bawah kulihat sepatunya menjauh.
“Woi!
Tungguin gue dong!” teriak Rama beberapa saat kemudian.
“Ahmad!”
Deg… Tiba-tiba saja aku bisa mendengar detakan jantungku. Rama sukses membuat
hatiku melonjak-lonjak tak karuan. Bukan dengan sikapnya, tapi nama orang yang
ia panggillah yang mampu membuat hatiku berdentuman lebih cepat. Ahmad…
--
“Fi,
kamu serius gamau kenalan sama dia?” tanya Dya, sahabatku, ketika ia
memergokiku sedang memerhatikan Ahmad. Aku tersenyum hambar.
Ahmad.
Sebenarnya, aku tidak kenal dengannya. Tidak pernah berkenalan maksudnya. Aku
memang mengenalnya. Bahkan mulai mengaguminya. Tapi aku yakin 100% bahwa ia
tidak mengenalku. Ia bagaikan udara untukku, ada, tapi tidak bisa kusentuh. Aku
tersenyum sendiri. Ia bahkan bukan hanya udara. Ia juga planet bagiku. Benda
merah nan jauh disana yang selalu kukagumi. Mars-ku.
“Aw!” Dengan
terpaksa, aku menarik diriku dari pesona Ahmad karena Dya mencubitku. “Ngga
Dya, ngapain lagian. Males ah.” jawabku asal.
“Aku
sekelas loh sama dia. Apa mau kukenalin kalian? Kamu tuh ya jangan bisanya cuma
liatin dia dari jauh doang. Kenallah minimal.” ujar Dya prihatin. Aku tersenyum
mendengarnya.
“Gausah,
Dya. Biarinin aku tetep jadi bayangan buat dia. Gak keliatan.” jawabku tegas.
Dya hanya menghembuskan napasnya sambil menepuk pundakku halus, berusaha
memahami apa maksudku.
--
“Hei,
ajarin aku yang ini dong! Heeeei! Heeeii!” teriak Rama tepat di depan wajahku.
Ia sengaja membawa kursinya ke depanku agar kami bisa menghafal bersama.
Meskipun kami sering bertengkar, kami juga cukup sering bersinergi dalam
menghafal bersama. Terutama menghafal geografi. Rama suka pelajaran itu dan
kebetulan aku juga menyukainya. Biasanya kami akan saling menjelaskan satu sama
lain sesuai dengan kisi-kisi soal. Jika Rama menjelaskan nomor satu, aku akan
menjelaskan nomor dua dan seterusnya.
“Hei,
jangan bengong mulu napa. Bentar lagi udah mau ujian juga.” ujar Rama ketika
melihatku tidak juga bereaksi. Aku mengambil napas panjang lalu menatap Rama.
“Siapa
juga sih yang bengong mulu. Ngasal deh kalo ngomong, kebiasaan.” jawabku nyolot
dengan nada bicara mirip dengannya. Saking seringnya berinteraksi dengan Rama,
lama-lama cara bicaraku mirip dengannya. Rama pun sepertinya sudah terbiasa
dengan hal itu. “Mana?” tanyaku kasar. Dia berdecak kesal dan menunjuk salah
satu kisi-kisi. Akhirnya aku mulai menjelaskan.
--
“Katanya
Ahmad belum pernah pacaran loh. Dari dulu cewe-cewe aja suka sama dia tapi
dianya cuek gitu aja. Tapi gosipnya, sekarang dia lagi suka sama orang.” bisik
Iren padaku ketika kami sedang berjalan menuju kantin. “Siapa?” tanyaku
penasaran. Iren terdiam sebentar, membuat hatiku tiba-tiba berdetak tak
beraturan. Beberapa saat kemudian Iren berbisik pelan, “Silvi, anak kelas
kita.” Aku terdiam di tempat. Menahan tangis.
--
“Kok
akhir-akhir ini sedih sih kayanya?” tanya Rama yang mengikutiku duduk di
belakang papan tulis dorong kelas. Membuat teman sekelasku bertanya-tanya siapa
yang duduk disana karena hanya kaki kami saja yang terlihat.
Aku hanya
menggeleng pelan pada Rama. Lalu mulai menyibukkan diri dengan melihat-lihat
isi foto kamera Oca yang tadi kupinjam. Tanganku bergetar. Rama melihatnya dan
langsung merebut kamera Oca dari tanganku. “Liat barengan dong.” ujarnya sambil
mengutak-atik kameranya. Aku menatap Rama yang sedang sibuk dengan kamera Oca
sekilas. Aku menghembuskan napas lega. Sepertinya aku punya dinding kokoh untuk
bersandar kali ini. Aku tersenyum berterimakasih.
“Kok
malah senyum?” tanya Rama yang memergokiku sedang memerhatikannya. Aku
menggeleng dan menjawab dengan asal, “Haus.” berharap Rama tidak menemukan
tanda apapun di wajahku.
Tiba-tiba
Rama langsung beranjak dan membawakan minumnya untukku, “Nih, minum. Daripada
mati kehausan.” Disodorkannya aqua gelas miliknya padaku. Aku menurutinya
dengan meminum air itu lalu terdiam. Kukira, Rama akan berceloteh atau
menceramahiku tentang pentingnya minum atau apapun itu. Tapi nyatanya, Rama
hanya terdiam. Rama menatapku heran, tapi matanya menyiratkan bahwa ia mengerti.
Seakan-akan dia mencoba untuk mendengarkan keluh kesahku dalam diam. Aku lega
ketika beberapa lama kemudian Rama tidak juga berbicara. Hanya menemaniku.
Akupun
menerawang jauh, mencoba untuk meluruskan benang kusut yang ada di dalam
hatiku. Tiba-tiba aku menyadari sesuatu, aku menatap Rama dan tersenyum
padanya. Secara tidak langsung, ia membantuku untuk keluar dari rasa sakit
hatiku. Ia membantuku untuk melupakan Ahmad. Aku memantapkan hatiku dan
berbisik pelan, “Selamat tinggal, Mars.”
--
Waktu
berjalan cepat, sekarang aku sudah kelas sebelas. Perasaanku terhadap Ahmad
yang kalah sebelum berperang perlahan mulai kulupakan. Bahkan ketika kenyataan
mengatakan bahwa diantara Ahmad dan Silvi tidak ada apa-apa. Kubiarkan perasaan
itu membeku di sudut hatiku, kuasingkan. Agar ketika suatu saat perasaan itu
mencair, perasaan itu sudah berubah menjadi sesuatu yang lain.
Rama
banyak membantuku melewati hari-hari menyedihkanku. Ia selalu mengalihkan
fikiranku ketika aku sedang memikirkan Ahmad. Dengan mengerjaiku, misalnya.
Atau bahkan dengan meminjamiku jaketnya ketika hujan turun saat aku akan pulang
sekolah. Dengan kata lain, dengan perhatiannya.
Setelah
setahun mengenalnya, aku baru menyadari bahwa selama ini ia banyak memberikan perhatiannya
untukku. Membuatku sadar bahwa aku masih dianggap. Membuatku merasa nyaman saat
berada di dekatnya.
Aku
berterimakasih padanya karena hal itu. Karenanya, aku merasa ada. Aku senang
dengan kenyataan bahwa sekarang aku bukan bayangan lagi. Aku sudah terlihat.
Dan kenyataan bahwa Rama mengakui keberadaankulah yang membuatku merasa lebih
hidup.
--
Kulemparkan
ponselku ke kasur. Aku kesal, sudah beberapa menit ponsel itu tidak bergetar. Padahal
biasanya ponsel itu akan terus bergetar setiap menitnya. Huh, dasar cowo. Ada,
kalo ada maunya aja. Aku turun dari kasur dan bermaksud untuk meninggalkan
ponselku di kamar. Tapi niat tinggallah niat. Ketika kudengar suara getar
ponsel, aku langsung meloncat keatas kasur dan membuka isi pesannya dengan
cepat.
Maaf baru bales, tadi habis jenguk nenek. Kamu
lagi apa?
Aku
senyum-senyum sendiri membacanya. Terutama ketika kubaca pengirimnya, Rama. Aku
tidak tahu lagi harus berekspresi bagaimana setiap Rama mengirimiku pesan. Aku
terlalu senang karena dia nyata.
Awalnya
aku dan Rama melanjutkan kegiatan bertengkar kami di twitter. Tapi karena banyak anak-anak yang memprotes karena
keisengan kami di timeline, akhirnya
Rama meminta nomor ponselku. Sebenarnya aku heran. Aku dan Rama tidak pernah
saling mengontak satu sama lain sewaktu kelas sepuluh dulu. Tapi sekarang
tiba-tiba kami sering sms-an. Bahkan Rama menelpon. Anehnya, jika di sekolah
bertegur sapapun kami tidak pernah. Padahal sewaktu kelas sepuluh kami tidak
bisa dipisahkan.
Sekarang
aku selalu berharap bisa menghilang setiap Rama melihatku. Ditelan bumi
sekalipun rasanya tidak apa-apa. Aku merasa malu bertemu dengannya karena semua
obrolan kami sewaktu liburan. Terlebih lagi dengan panggilan yang kami gunakan
selama liburan. Mbingu dan Mbeu, yang awalnya plesetan julukan dari
kambing dan embe. Bodohnya, hatiku berbunga-bunga disetiap Rama memanggilku
‘mbingu’. Terdengar seperti ‘mbingku’ bagiku.
Sekarang,
semuanya terasa berkebalikan. Sekarang, ketika Ahmad memanggil nama Rama-lah
dadaku berdentuman lebih keras. Wajahku memanas dan aku akan langsung lari
ketika aku berpapasan dengan Rama. Ingin rasanya aku menyapanya, tapi aku tidak
berani. Aku dan Rama seperti bermain hide
and seek berpura-pura saling tidak melihat. Saling mencari sesuatu hal yang
sebenarnya ada di depan mata. Kami benar-benar seperti dua orang asing. Padahal
sebenarnya aku rindu padanya. Sangat-sangat rindu.
--
“Aku
suka sama kamu.” ujarnya ketika matahari senja perlahan menghilang di
perpustakaan sekolah. Tangannya menunjuk dirinya, menunjuk kata ‘suka’ yang ia
tuliskan ditangannya, dan menunjukku bergantian. Matanya yang tertancap tepat
dimataku memancarkan pandangan yang membuat perutku bergolak tak tenang. Aku
tak pernah melihat mata itu dimanapun sebelumnya. Matanya membuatku membeku.
“Jawab
dong, aku gapernah ngungkapin gini nih sebelumnya.” rajuknya lucu. Perlahan,
aku mulai tersenyum dan tanpa kusangka-sangka, ia balas tersenyum padaku. Ya
Tuhan, senyum itu. Senyum yang selalu bisa membuatku tersihir. Lidahku bahkan
rasanya kelu, bibirku beku.
Rama
mengangkat wajahnya dan menatapku intens, membuatku merasa seperti barang yang
akan hilang jika sekejap saja ia mengalihkan pandangan. Ya Tuhan, apa artinya
ini? Kenapa aku merasa begitu ringan? Apakah ini artinya aku jatuh cinta
padanya?
Selama
ini Rama memang menjadi pahlawanku. Ia selalu ada didekatku ketika aku
membutuhkan sandaran. Ia tersenyum ketika aku berhasil. Ia menjagaku ketika aku
ketakutan. Ia menghargaiku, melihatku, membantuku, menyayangiku. Ia
memerlakukanku dengan sangat sopan dan hati-hati seolah-olah aku ini barang
pecah. Ia bahkan menyukaiku. Meskipun
semua itu ia lakukan diam-diam di belakangku. Ya Tuhan, kenapa aku baru
menyadari semua ini?
Ahmad
mungkin udara bagiku. Tapi Rama, ia adalah oksigen yang kubutuhkan. Dia ada,
dan nyata. Dia adalah oksigen yang selalu mengisi hari-hariku. Tanpanya, aku
mati. Dan jika Ahmad adalah sebuah planet untukku, maka Rama adalah bintangnya.
Bintang yang dengan setia selalu menerangi sisi gelapku. Perlahan aku mulai
sadar. Rama bukanlah angin seperti Ahmad. Meskipun ia memiliki pilihan untuk
pergi, ia tetap berada disisiku selama ini. Yang membuatku sulit bernapas
adalah kenyataan bahwa ia memilihku.
Kurasakan
pipiku mulai memanas karena begitu lama Rama pandangi. Dengan cepat, kualihkan
pandanganku. Rama terlihat bingung. Aku mengambil napas panjang dan tersenyum
jahil padanya. Rama terlihat frustasi. Kuambil langkah menjauh darinya, ia
berdecak sebal di belakangku sambil pelan-pelan mengikutiku. Aku tersenyum
bahagia.
Aku
menyadari sesuatu. Rama bukanlah orang yang kebetulan membantuku untuk
melupakan Ahmad. Ia memang orang yang
dikirimkan padaku untuk melupakan Ahmad. Tuhan tahu segala hal lebih baik dari
padaku. Ketika seekor kumbang menolak untuk datang kepadaku, Ia mengirimiku kumbang
yang lain. Yang dengan senang hati mendekat dan memilihku. Aku sungguh tidak
bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Rama membuatku merasa spesial. Merasa
hidup. Merasa dibutuhkan. Aku berbalik, tersenyum. Alunan lagu tangga yang
kusukai tiba-tiba memenuhi benakku.
“Betapa sempurna
dirimu di mata hatiku
Tak pernah
kurasakan damai sedamai bersamamu
Tak ada yg bisa
yg mungkin kan mengganti tempatmu”
Ya,
aku juga menyukaimu, Rama. Amat sangat menyukaimu. Semoga aku dan kamu akan
selalu seperti ini selamanya.
“Kau membuat ku
merasa hebat
Karena ketulusan
cintamu
Ku merasa
teristimewa hanya
Hanya karena,
karena cinta
Kau beri padaku
sepenuhnya
Buatku selalu
merasa berarti”
Tangga-Hebat
Mahkota Seorang Wanita
Angin
berhembus kencang menusuk-nusuk kulitku yang memerah. Meskipun sudah memakai
jaket bulu yang tebal, angin tetap sanggup membuatku menggigil hebat.
Kurapatkan kedua tepi jaketku yang sudah menempel. Kuelus-elus bulu yang
bertengger di ujungnya untuk mendapatkan kehangatan.
Tiba-tiba
ponselku bergetar. Suara berat khas pria berceloteh di telingaku.
“Iya....
Hm... aku bentar lagi nyampe depan cafe kok,
jemput Papa.” ujarku bersamaan dengan uap putih keluar dari mulutku. Papa
lagi-lagi mengingatkanku akan tempat yang harus kudatangi hingga akhirnya
memutus telepon. Aku harus berjalan lebih cepat lagi. Papa sudah menungguku.
Langkahku memelan ketika sebuah
bangunan megah berada di hadapanku. Di latar belakangi oleh menara Eiffel yang
puncaknya sudah hampir memutih, Ouei Cafe
terlihat sangat anggun. Tiba-tiba kulihat sepasang ibu dan anak perempuan keluar
dari cafe, pembicaraan mereka
menggelitik telingaku.
“Mom,
aku besok mau pakai kerudung seperti mom ya.” Sang ibu dengan hijab yang
menutupi sebagian badannya tersenyum dan mengelus rambut coklat anaknya.
“Biar
anget” celetuk sang anak.
Tiba-tiba
ibunya berhenti dan memegang tangan anaknya, “Hijab dipakai untuk menutupi
aurat kita, bukan untuk melindungi diri dari dingin.”
Tiba-tiba
anak yang kira-kira berumur 7 tahun itu berbicara bersamaan dengan ibunya,
“Hijab dipakai untuk menghindarkan kita dari fitnah dan bahaya.” ujarnya.
“Nah
itu tau?” sambung ibunya.
“Aku
cuma kedinginan, mom.”
“Eh, yang kaya gitu nggak boleh dijadiin
mainan.” tambah ibunya ketika ia menangkap kerlingan di mata anaknya. Sang anak
pun mengangguk dan suara mereka menghilang pada belokan gang sebelah Ouei Cafe.
Pemandangan
di depanku tiba-tiba kabur. Setetes cairan bening yang baru saja terjun dari
mataku seolah membeku di musim dingin ini dan mengganggu penglihatanku.
Sepasang ibu dan anak tadi mengingatkanku pada mama. Entah mengapa, namun aku
merasa deja vu melihat adegan tadi.
Aku adalah anak tunggal dari
sepasang suami istri yang sudah bercerai. Kini aku hidup dengan papa di Paris. Aku
hanya sebentar tinggal bersama mama di Indonesia. Mama yang sangat sibuk
membuatku merasa sendirian di sana. Itulah mengapa aku langsung mengiyakan
ajakan papa untuk tinggal di negeri yang katanya romantis ini. Lagi pula, kapan
lagi aku akan mendapatkan kesempatan tinggal di sini?
--
“Assalamu’alaikum
sayang, gimana kabar kamu disana? Apa rencana kamu akhir minggu ini sama
papamu?” suara lembut mama menyapa telingaku.
Aku
menyahut sekenanya, “Waalaikum salam.
Gatau nih mah, masih belum tahu.” Aku pun mendengarkan mama yang mulai
berceloteh seperti biasa.
Mama selalu bercerita banyak padaku
setiap kali menelepon di sela-sela kesibukannya. Dan kali ini mama bercerita bahwa
ia membelikanku sebuah hijab yang sama seperti hijab milik mama. Mama harap
kami bisa menggunakannya ketika lebaran nanti. Aku memang belum berhijab, tapi ketika
lebaran aku biasanya menyelempangkan hijabku pada rambut. Meskipun sebenarnya
bukan hijab seperti itu yang mama
harapkan.
Suara mama melemah, “Yasudah, mama masih ada deadline nih, inget pesen mama, Allah mencintai
hambaNya yang taat pada apa yang Ia perintahkan. Allah juga selalu punya jalan
yang indah untuk kita dan terkadang, melalui jalan yang tidak pernah kita duga
sebelumnya. ” ucap mama, aku hanya mengangguk tidak pasti.
Seluruh kejadian yang terjadi
beberapa hari belakangan menghantui pikiranku. Kenapa semua orang disekelilingku
akhir-akhir ini menyinggung kata hijab padaku? Mama yang membelikanku hijab,
Papa yang di hari sebelumnya memujiku cantik ketika memakai mukena, dan obrolan
sepasang ibu dan anak di cafe itu.
Apa mereka sengaja? Ah, mana mungkin. Tapi, ini adalah sebuah kebetulan yang
sempurna. Tiba-tiba ada dorongan yang kuat
dalam diriku untuk bertanya langsung pada yang Maha Kuasa akan kebetulan ini.
Maka akupun mengambil air wudhu dan bersimpuh shalat isya menghadapNya.
--
Dalam pondok yang sepi,
aku menjadi salah seorang peserta pengajian. Seorang ustadzah berbicara,
“Rambut seorang perempuan adalah harta karun bagi dirinya. Rambut adalah
perhiasan-bagian dari aurat seorang wanita-yang tidak boleh diumbar pada orang
yang tidak berhak melihatnya. Rambut adalah mahkota tersembunyi seorang wanita,
dimana mahkota itu hanya dapat di lihat oleh orang-orang tertentu yang telah
memilikinya.”
Salah seorang murid
menyahut, “Kalo kita tidak menutupnya memangnya apa yang akan terjadi?”
Ustadzah itu tersenyum,
“Maka wanita itu akan rugi di dunia maupun di akhirat.”
Tiba-tiba aku sudah
berada di sebuah lorong sepi yang berbau tidak enak, beberapa orang wanita
berjalan di depanku. Seorang wanita yang menggunakan terusan kerja yang tidak
terbuka melewatiku. Seorang laki-laki muda yang sama-sama rapih dengan wanita
itu yang menggodanya. Laki-laki ini tidak mabuk, terlihat dari pendangannya
yang masih tegas, namun ia tetap mengajak wanita ini ikut dengannya. Aku
bergidik melihatnya.
Tiba-tiba aku sudah
berada di tempat lain lagi. Kali ini tempatnya panas dan pengap, yang terlihat
di sekelilingku hanya merah-warna dari api yang membara. Sekilas kulihat wanita
yang sebelumnya kulihat berteriak meminta tolong ke arahku. Ketika kuulurkan
tanganku, ia jatuh lunglai dan deburan ombak tiba-tiba menerjangku hingga aku
tidak sadarkan diri.
Mimpiku sungguh tidak
aneh. Yang aneh adalah, aku menyadari ini mimpi dan aku sama sekali tidak
ketakutan ketika aku bangun.
--
Cahaya
menyilaukan berebut masuk ke dalam mataku tepat ketika aku membuka mata. Aku mengangkat
kepala sambil memerhatikan sekitar. Rumahku sepi, tidak ada alunan instrumen
mozart suka yang papa putar di setiap pagi. Terlalu hening.
Aku
pergi keluar kamar dan menghampiri kamar papa, lalu aku tertegun. Dari pintu
yang tidak tertutup, kulihat papa sedang bersimpuh diatas sajadah. Hening dan
sepi menyatu menjadi satu membuat papa terlihat bercahaya dan sangat khusyu
dalam berdoa. Aku memang tidak tahu apa yang papa doakan, namun rasanya damai
sekali melihat pemandangan ini. Tiba-tiba papa melihat ke arahku dan tersenyum.
“Mau
berdoa juga, Leona?” tanyanya. Aku tersenyum ke arahnya. Setelah itu papa
melambaikan tangannya, memintaku untuk mendekat. Aku berjalan pelan.
“Kalo
kamu mau, papa bisa nyiapin mukenanya,” tambahnya.
Seketika
aku teringat kejadian semalam, ketika aku shalat dan terlelap dalam keadaan
bertanya-tanya dengan semua kejadian yang ada. Lalu mimpi itu. Mimpi menambah pertanyaan di kepalaku akan apa maksudnya.
Ucapan mama terngiang di telingaku, “Allah
mencintai hambaNya yang selalu taat pada apa yang Ia perintahkan.” Aku
menghembuskan napas pelan. “Allah juga selalu
punya jalan yang indah untuk kita.” Mungkin aku harus bertanya sekali lagi
pada Allah. “Dan terkadang, melalui jalan
yang tidak pernah kita duga sebelumnya.” Lalu aku mengangguk ke arah papa.
--
Papa
yang terduduk di sofa menatapku lama. Aku membuka mukena dan berjalan kearah
papa. “Lama banget berdoanya, doain apa?” tanya papa. Aku menatap matanya
hingga akhirnya memutuskan untuk bercerita mengenai mimpiku semalam.
Papa
terdiam lama setelah mendengar ceritaku. Beliau hanya mengangguk dan berdeham
selama mendengarkanku sehingga aku tidak tahu apa tanggapan papa terhadap
ceritaku. “Menurut papa, maksud dari mimpi aku apa pah?”
Papa
mengangkat bahu seraya berkata, “Papa bukan penafsir mimpi, Leona. Tapi
senangkep papa...” papa berdeham lagi, “Sepertinya Allah rindu melihatmu
mengenakan hijab. Di setiap saat, bukan hanya ketika kamu shalat.” Aku terkejut
medengar jawaban papa.
Sesungguhnya,
sebelum mama dan papa berpisah, aku dan mama berhijab. Ketika di Indonesia
dulu, berhijab adalah hal yang lumrah di kalangan masyarakat. Ketika mereka
berpisah, mama melepas hijabnya karena tuntutan pekerjaan dan papa pergi ke
Prancis. Aku sendiri masih mengenakan hijab saat itu, namun ketika aku melihat
realita mama yang melepas hijabnya karena kerasnya hidup harus mama tempuh
dalam menghidupiku sebagai single parent,
aku pun mulai melepas hijabku. Dengan anggapan aku bisa lebih diterima di
lingkungan dengan melepas hijab. Bagiku, hidup terasa keras di Jakarta tanpa
kehadiran seorang papa dan mama yang terlalu sibuk bekerja. Hingga akhirnya
papa mengajakku tinggal di Paris. Orang yang menggunakan hijab sangat jarang
disini, sehingga aku tetap teguh pada pilihanku dengan tidak berhijab, karena
pilihan itu terlihat lebih mudah bagiku.
“Leona,
berhijab bukan hanya tentang menutupi rambutmu dari lawan jenis. Tapi juga
tentang menjaga dirimu selangkah lebih jauh dari kemaksiatan. Dengan
menggunakan hijab, setidaknya kamu akan membentengi dirimu sendiri dari hal
buruk dan akan berpikir ulang terhadap segala hal yang akan kamu lakukan. Hijab
adalah perisai bagi wanita yang menjaganya dari,”
“Fitnah
dan bahaya.” Kata-kata itu tiba-tiba berkelebat di kepalaku, aku bahkan tidak
sadar mengatakannya. Aku hanya merasa potongan kata itu tepat dengan apa yang
papa katakan sebelumnya.
Mata
papa membesar, “Kok kamu tahu apa yang akan papa katakan?” Papa menatapku lama,
menunggu jawaban. Aku tidak menyangka bahwa papa berpikiran seperti itu juga.
Aku hanya terdiam, tidak tahu mau menjawab apa.
Umurku
hampir menginjak 20 tahun. Dan hampir selama itu aku mengekspos rambutku ke
seluruh dunia. Kedua orang tuaku memang bukan orang yang sangat agamis dan
lingkungan hidupku di sini juga terbilang tidak agamis. Namun mamaku berhijab lagi
sejak dua tahun lalu dan aku mengikuti perkumpulan remaja islam disini-sesuai
saran papa. Meskipun mamaku berhijab, aku sangat jarang bertemu dengannya
sehingga semangat berhijabnya ketika beliau mendapat hidayah tidak tertularkan
padaku. Tapi sepertinya Allah memiliki jalan lain dalam menunjukkan kasih
sayangnya padaku.
Aku
tersenyum pada cermin di hadapanku. Yang sedang kulihat didepanku itu, sungguh
cantik dan anggun. Kain sutra berwarna ungu yang sedang kugunakan di kepalaku terlihat
cocok dengan balutan blus putih favoritku. Aku mengangguk beberapa kali,
berusaha menguatkan hati untuk menutup auratku mulai hari ini. Ini adalah
perintahNya, dan rambutku adalah perhiasan yang tidak boleh sembarang orang
melihatnya.
Tiba-tiba
papa melewati kamarku dan terpana melihatku. Beliau masuk ke kamarku dan
tersenyum. Ini adalah pertama kalinya aku menggunakan hijab selain ketika aku
akan shalat. Aku yang biasanya hanya menyelempangkan hijab di rambut, kini
menggunakannya dengan benar, dan papa tahu pasti apa maksud dari semua ini.
“Pa....
apa akan lebih baik jika Leona berhijab?” tanyaku. Mata papa berair, dan sambil
mengelus puncak hijabku papa berkata, “Papa akan sangat bersyukur jika kamu
memilih ini. Karena yang lebih cocok menjadi mahkota bagi seorang wanita
bukanlah rambutnya, tapi hijabnya.”
Hatiku
berdesir mendengar apa yang papa katakan. Aku pun melihat pantulan diriku
sekali lagi di cermin dan mengangguk mantap. Papa ikut mengangguk senang. Aku
tersenyum bahagia karena bisa membuat papa senang. Dan aku tahu, akan ada satu
orang lagi yang senang dengan keputusanku ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)