Friday, December 27, 2013

My Sun

Deburan ombak menyapa saraf-saraf telingaku lembut, membuatku tertarik untuk membuka mata, melihat air yang berkejaran dan sinar kuning sang mentari yang siap untuk menyongsong harinya di pagi ini. Tapi tidak, aku tidak membuka mata. Kunikmati detik demi detik yang kumiliki di pagi yang damai ini. Kuambil napas sepanjang yang kubisa dan menghembuskannya perlahan. Dapat kubayangkan hembusan napasku bersatu dengan angin laut yang sedari tadi memainkan rambutku. Oh, aku sungguh jatuh cinta dengan kedamaian ini. Seperti jatuh cintanya aku pada kedamaian yang kau buat untukku.
            “Hei, jangan lari kamu. Ayo siniii!” teriak Leon padaku. Aku berbalik ke arahnya lalu menjulurkan lidahku untuk mengejeknya. Dia mendengus kesal lalu berlari mengejarku.
            Aku terus berlari hingga akhirnya sebuah tangan besar menagkapku dari belakang dan menggelitiku tepat di pinggang. Aku tertawa dibuatnya. “Stop it, Leon!” pintaku memohon. Tapi dia sama sekali tidak berhenti menggerakkan jari-jarinya di pinggangku. Dia malah ikut tertawa “Rasakan!” ujarnya sambil tertawa. Aku mencubit tangannya ganas, baru dia berhenti. Akhirnya, aku dan dia sama-sama terduduk di tepian pantai sambil memegangi pipi kami yang pegal karena kelelahan tertawa.
            Napasnya terengah-engah dan terdengar kasar. Aku puas mendengarnya, itu berarti aku berhasil membuatnya berolahraga. Dia malas sekali berolahraga, padahal dia kan cowok.
            “Capek, Ra. Awas loh ya kalo kamu ngabur-ngabur lagi kaya tadi.” ujarnya sambil memelototiku. Aku memutarkan bola mataku lalu menantang tatapannya, “Iih, dasar cowok lemah. Kamu justru harus banyak olahraga kaya gitu biar kuat.” ujarku. Kedua mata hazel itu tiba-tiba melembut, menatap mataku dalam. Aku terpaku ketika cahaya matahari senja ikut menimpa wajahnya. Burung camar yang sedari tadi berisik ikut terdiam, seakan merasakan dahsyatnya aura orang yang memiliki mata hazel itu.
            “Gabisa, Ra. Aku gamau kehilangan kamu gara-gara maksain olahraga gitu. Aku gaakan bisa.” ucapnya pelan, matanya tertancap pada mataku. Aku hampir tersedak, apa maksudnya? Alih-alih bertanya dengan serius, aku memilih untuk tersenyum padanya lalu menyenderkan kepalaku di bahunya, menatap terbenamnya matahari senja di pantai selatan yang indah ini, berdua. Tiba-tiba seekor kepiting lewat di depan kami, “Kepiting itu jadi saksi bahwa kita pernah ada disini, Ra.” Dia mengecup puncak kepalaku. Aku tersenyum diatas bahunya. Damai.
            Kubuka mataku pelan, ribuan cahaya berebut memasuki mataku. Sebuah bola besar berwarna oranye di ufuk timur mewarnai pandangan pertamaku. Aku mengedipkan mataku berkali-kali. Melihat bola itu, tidak melihat, melihat lagi, tidak lagi hingga akhirnya mataku sendiri yang terbiasa dengan cahaya yang dipancarkan oleh bola besar itu. Aku melihat cahayanya lagi, menatapnya dalam, berharap dia menjawab pertanyaan yang sedari tadi berseliweran di dalam kepalaku. Tapi bola itu tidak menjawab, ia hanya diam dan terus naik ke tempat dirinya seharusnya berada.
            Smartphone-ku bergetar, aku meraba setiap inci dari sakuku untuk mendapatkannya. “Halo?” sapaku setelah kupencet tombol hijau tanda menjawab telepon.
            “Hei, Ra, dimana lo?” sahut Anti, sahabatku dari seberang sana.
            “Gue? Disini ajanih, kenapa?” jawabku asal sambil menutupi mataku. Aku mulai kesilauan.
            “Ya iya, makanya gue tanya lo ada dimana. Retoris lo ah.” omelnya kesal. Aku tertawa pelan untuk menimbali omelannya itu.
“Malah ketawa lagi, gila lo. Dimana lo?” tanyanya lagi dengan nada mengintimidasi yang sudah kuhafal. Aku mengelilingkan pandangan ke sekitarku untuk menjawab pertanyaan Anti, namun aku tidak menemukan apapun selain pasir-pasir putih yang membentang luas dan air yang berkejaran tiada henti. Aku menghembuskan napas pelan lalu menjawab, “Gue lagi di pantai, Ti.” Tidak ada jawaban, hening. Aku tahu, Anti pasti kaget mendengarnya.
“Ya ampun, Ra… Lo sendiri?” tanyanya setelah beberapa saat terdiam. Aku bergumam-gumam ria untuk menjawabnya.
 “Kenapa lo ga bangunin gue ajasih kalo lo emang mau main pasir di pantai? Kenapa sendiri? Lo jangan suka menyendiri gitu deh, bukan lo banget…. Lo…”
 “Gue gamau main pasir, Anti…” potongku lembut. “Lagian gue emang lagi pengen sendiri. Lo tau, melepaskan semua yang berkeliaran di otak lo beberapa hari terakhir itu ga gampang.” lanjutku dengan sabar. Anti hanya mendengarkan. Sepi lagi beberapa saat sebelum Anti berkata dengan tidak sabar, “Gue kesana, ya. Tunggu gue!” Hubungan telepon tiba-tiba mati. Aku hanya berdecak mendengarnya. Aku tidak heran, Anti memang selalu begitu. Bahkan sepertinya ia akan lupa untuk membawa smartphone-nya kesini. Ya, si ceroboh itu…
“Kamu kemana sih? Kenapa ngilang mulu? Kamu bosen, sama aku? Kalo iya, kita putus aja Leon!” teriakku marah sesampainya aku di cafeteria favorit kami. Leon bergerak-gerak gusar di depanku, sama sekali tidak menanggapi teriakanku. Matanya gelisah, aku berdecak kesal. “Leon! Liat aku!” bentakku. Sontak, dia memfokuskan wajahnya padaku. Matanya menatapku tepat di manik mataku. Matanya terlihat lelah dan memelas. Wajahnya lebih putih dari biasanya, pucat. Tiba-tiba aku merasa khawatir.
“Le, kamu kenapa?” tanyaku sambil menelusuri wajahnya yang terlihat menyedihkan. “Kamu sakit?” tanyaku lagi. Dia tidak menjawab, hanya tersenyum. Leon meraih jariku dan mengecupnya lembut.
“Tiara, kamu harus percaya sama aku. Alasan aku menghilang akhir-akhir ini bukan karena ada orang lain, ko. Ada hal yang harus kuselesaiin secepatnya. Nanti kalo aku udah selesai, aku bakal balik ke kamu kaya dulu.” Tiba-tiba jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Bukan karena tersipu sehingga ada ribuan kupu-kupu hadir dalam perutku dan membuatku deg-degan. Lebih karena aku khawatir.
“Hal apa, Le? Kamu bisa cerita sama aku kalo itu terlalu berat kamu tanggung sendiri. Kalo kamu tanggung sendiri nanti kamu kecapean dan sakit.  Aku gamau kamu sakit, Le.” jawabku sambil menyentuh keningnya. Tidak panas, syukurlah. Leon menarik tanganku dari keningnya lalu menelungkupkannya diantara kedua tangan besarnya.
“Tangan kamu selalu kecil dan lembut, ya Ra. Rapuh banget.” ujarnya tiba-tiba. Aku mendelik tidak mengerti. “Aku gamau tangan rapuh ini terluka, Ra. Makanya biarinin aku aja yang ngurus ini semua. Kamu percaya sama aku, aku pasti balik lagi.” tambahnya. Mata hazel cantiknya menyiratkan keseriusan yang membuatku otomatis mengangguk dan memercayainya.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan, yang kulakukan hanya menatap wajahnya. Sedangkan ia sedang melihat sesuatu yang entah apa itu dari kaca besar di sebelahnya. Sebenarnya, aku sungguh senang berrtemu lagi dengannya semenjak beberapa bulan yang berat ini. Kemunculannya yang tiba-tiba membuat perasaan gembira dan kesal membuncah seketika aku melihatnya. Tapi sekarang, setelah aku meihat wajahnya, semua perasaan itu sirna digantikan oleh perasaan khawatir yang berkelanjutan.
“Le, liat apa sih?” tanyaku memecah keheningan. Leon mengalihkan pandangannya dari benda diluar sana padaku. Ia tersenyum tipis, “Aku liat matahari, Ra.” jawabnya. Keningku berkerut bingung, “Terus?” tanyaku. Leon menjeaskan, “Matahari itu ga pernah ingkar janji, Ra. Malem, dia selau pergi ninggalin kita dengan semua cahayanya yang menghangatkan,bikin kita terkadang sedih dia tinggal. Tapi paginya, dia selalu datang lagi buat membagikan kehangatannya ke kita. Aku kagum sama dia, Ra.” jelasnya sambil menunjuk matahari di luar sana. Aku mengikuti pandangannya lalu mengangguk mengerti.
Leon kembai memfokuskan pandangannya padaku. “Ra, aku mau jadi matahari itu buat kamu. Aku mau menghangatkan hari-hari kamu. Dan aku akan selau memegang janji aku ke kamu. Boleh ga aku jadi matahari kamu?” tanyanya tiba-tiba. Hatiku mencelos, dia bilang apa? Aku mengerjapkan mata berkai-kali dan mencubit tanganku untuk memastikan bahwa aku tidak bermimpi. Leon masih tersenyum di tempatnya, ke arahku. Setelah sadar bahwa ini bukan mimpi, aku mengangguk sekuat tenaga-agar Leon tahu aku mengangguk-lalu tersenyum padanya. “Promise?” tanyaku sambil mengacungkan jari kelingkingku padanya. Dengan cepat dia mengaitkan kelingkingnya pada kelingkingku. “Promise.” Aku tersenyum bahagia.
“Tiara!” teriak Anti dari belakang batu karang yang baru saja terkena ombak. Aku menoleh lalu melambaikan tanganku padanya, hanya untuk menunjukkan bahwa aku sudah mendengarnya.
“Hosh… hosh.. hosh…. Gila, lo udah jalan sejauh ini, Ra?” ucapnya sesaat setelah dia sampai di tempatku.
Aku tersenyum padanya, “Lo aja kali Ti yang ngerasa jauh. Ini ga jauh, ah.” jawabku sambil meraih tangannya yang menggapai-gapai tanganku kelelahan. Anti menegakkan badannya lalu melepas tangannya dari genggamanku dengan sekali sentakan. “Kaya lesbi lo Ra pegang-pegang tangan gue.” ujarnya bercanda. Aku hanya terdiam, tidak menanggapinya sama sekali.
Anti mulai berceloteh tentang banyak hal di sebelahku. Membuat pagi sepi yang sedari tadi kurasakan menjadi pagi ramai yang ceria. Anti memang selalu menjadi mood booster-ku. Terkadang, ia bahkan berhasil membuatku tertawa, meskipun tawaku tidak selepas dan segila dulu. Yah, aku bersyukur karena Anti selalu ada disisiku, tetap menyemangatiku dan membuat hariku menjadi sedikit lebih berwarna.
“Ra? Tiara? Tiara? Lo ngelamunin apasih?” aku menoleh padanya, mengangkat alis sambil pura-pura mendengarkannya. “Kita lagi liburan, Tiaraaaa… Woi! Lo kenapa malah tambah diem sih diajak liburan? Lo harusnya berusaha buat lupain semuanya tentang Leon, Tiara. Always thinking about him just make you hurt more, let him go, Ra.” ucapnya. Mendengar nama Leon disebut, aku mengangkat kepala dan mencoba untuk fokus pada Anti.
Anti berdecak keras dan menghentakkan tanganku, “Ra! Sadar, Ra, sadar! Lo udah ngga sama dia lagi, lo jangan inget dia terus kalo itu emang bikin lo sakit. Hidup lo ga berakhir cuma dengan berakhirnya hubungan lo sama dia. Masih banyak ikan di laut, ra!” teriaknya tepat di depan wajahku. Matanya menyala-nyala, bukan marah, tapi terlihat sangat khawatir. Aku sendiri sedang menahan segala gejolak perasaan yang berebut keluar untuk menunjukkan wujudnya.
Tiba-tiba seekor kepiting melewatiku dan Anti. Dan bertepatan dengan itu, air yang sudah lama tertimbun di dalam mataku ini jatuh begitu saja. Anti terkesiap, mencerna keadaanku beberapa saat lalu langsung memelukku erat dalam pangkuannya.
“Yaampun Tiara, sori ya, gue gatau kalo ini pantai yang sama dengan pantai lo dan Leon waktu itu, dan kepiting itu….. Aduh, sori, Ra.” ucapnya tiba-tiba. Aku hanya mengangguk pelan dalam tangisku. “Sabar, ya Tiara..” ujar Anti berkali-kali sambil mengelus-elus rambutku.
 “I love you Ra.” ujar Leon mesra di daun telingaku. Suaranya yang bergetar sama sekali tidak mengurangi makna dalam kata itu. Bahkan, suaranya itu ikut menggetarkan hatiku dan membuat jantungku berdebar lebih keras. Rasa pusing yang menyergapku karena bau obat rumah sakit seketika hilang mendengar Leon berkata seperti itu.
Tangannya yang lebih kecil dari biasanya menggenggam tanganku. “Maaf Ra, kamu harus liat aku kaya gini.” ujarnya. Aku menggeleng pelan sambil menempatkan telunjukku di bibirnya. “Kamu… jangan banyak… ngomong dulu ya..” ucapku sambil menahan cairan bening yang sudah menumpuk di dalam pelupuk mataku.
“Jangan nangis, Tiara..” ujar Leon terbata. Aku mengangguk sambil mengelus kepalanya lembut. Dia tersenyum padaku, menatapku penuh arti. Aku balas menatapnya, sekedar untuk membuatnya senang. Tak sadar bahwa menatapnya balik akan mengaktifkan bom yang sudah sejak tadi ada di dalam mulut Leon. “Tiara, I want give up this to you.” ujarnya. Diam-diam aku berdoa dalam hati atas maksud dari ucapannya itu. Semoga saja apapun yang dia maksud, itu adalah hal yang baik.
“Just if I’m gone, will you still believe in my promise?” tanyanya. Aku tercekat. ‘Just if I’m gone’ terlihat seperti kata perpisahan buatku. “Maksud…. Kamu.. apa?” tanyaku. Leon melanjutkan kata-katanya tanpa menghiraukan pertanyaanku tadi. “Yah, you have to. Believe me, Ra. Aku gaakan pernah ninggalin kamu. You are my star, and I am your sun. Star and sun is always belongs together.” Mataku mulai berkaca-kaca, aku tak yakin akan sanggup menahan cairan ini keluar setelah Leon selesai berbicara.
“Wherever I am Ra, I am still yours and it will always be. Wherever I am, I will always shining your days. I am a sun, remember? So, if you miss me someday, just see to the sun, and I will smile for you from that Sun.” aku terpaku, cairan-cairan bening ini sudah bercucuran keluar lagi dari mataku. Aku menggeleng pelan, memintanya untuk berhenti berbicara. Leon tidak berbicara lagi setelah itu. Tanpa sadar, Leon meremas jari-jari tanganku, dan akupun meremasnya balik. Jari kami terpaut, mata kami saling pandang, menceritakan masing-masing kehidupan kami yang sendiri. Aku beberapa bulan ini tanpa dia, dan dia dengan penyakitnya yang ganas.
Air mataku tidak berhenti jatuh ketika Leon berusaha sebisa mungkin menghiburku untuk tidak menangis. Aku membayangkan jika ini benar-benar ucapan selamat tinggal dari Leon. Ah, tidak aku harus menepis fikiran itu. Aku tahu, Leon masih disini, disisiku. Dan akan selalu di sisiku.
“Meskipun kanker ini ngerenggut semua tenaga dan kesehatanku, kanker ini tetep gabisa ngerenggut rasa sayangku buat kamu. It will never end. Just like the sun. Selama matahari itu masih bersinar dengan setia di setiap harinya, aku juga bakal dengan setia sayang sama kamu. Jadi, if I go somewhere, jangan sedih. Inget positifnya aja ya Ra, bahwa aku selalu bawa perasaan ini buat kamu bahkan kalo aku udah ga ada. I love you, Tiara.” ujarnya lagi.
Mataku buram tertutupi air mata yang keluar deras tiada henti. Leon melepas genggamannya dari tanganku lalu mengelus mataku pelan. “Whatever will be, will be Ra.” bisiknya pelan. Aku balas berbisik lembut padanya, “I love you too, Leon.” Leon tersenyum tenang, damai. Dan beberapa detik kemudian matanya terpejam dan suara dengingan yang sedari tadi berbunyi teratur di ruangan ini mengeluarkan bunyi keras yang memekakkan telingaku. Aku tak bisa mendengar apa-apa lagi selain tangisanku yang pecah.
Aku mengangkat kepalaku dari bahu Anti, menghapus sisa tangisku yang tiba-tiba pecah tadi. Anti masih saja mengucapkan kata yang sama. Tapi sekarang, aku sudah lebih tenang. Keberadaan Anti dan tepukan tangannya di punggungku benar-benar seperti endorphin bagiku, yang lama-lama memberiku keberanian untuk bangkit dan tersenyum.
Semburat kuning memasuki mataku lagi ketika aku menolehkan kepala ke arah timur. Aku menatapnya, lama. Anti sempat bingung lalu hendak memelukku lagi tapi ia berhenti ketika ia melihatku tersenyum. Anti ikut melihat matahari pagi yang menyembul malu-malu diantara awan.
“Kenapa sama mataharinya, Ra?” tanya Anti bingung.
“Lo salah, Ti. Leon will always be mine, our love will never ends.” jawabku yang membuat Anti mulai mengambil ancang-ancang takut-takut jika aku menangis. “We are lover forever.” tambahku. Anti maju satu langkah mendekatiku. “Karena dia akan selalu ada di sini.” ucapku sambil menatap matahari di depanku dan memegang dadaku pelan. Anti terdiam lama, tidak berceloteh lagi seperti biasa. Hening menyergap kami, hal yang tidak biasa jika aku bersama Anti.
Aku mengangguk mantap, lalu menatap Anti, “Kayanya gue bisa ikhlasin Leon deh Ti.” Mata Anti membelalak lalu tersenyum menyemangatiku. Senyumku ikut mengembang. Kutolehkan lagi kepalaku pada matahari pagi ini dan tersenyum padanya. 

Ya, aku harus percaya pada Leon. Wherever he is, he will always beside me. Morning, my sun J

No comments: