Saturday, December 14, 2013

Menurut Lo?

            Suasana belakang panggung usai penampilan The Band riuh. Dari jauh terlihat Ari and the gang menuruni tangga dengan gagah. Bertepatan dengan saat itu Afi mendengar pekikan banyak remaja seumurannya yang memanggil nama anggota band itu satu persatu. Yang diteriaki hanya mengangguk dan melemparkan senyum bangga yang tentu saja mengundang teriakan baru dari deretan tak beraturan di depannya.
Afi memfokuskan pandangannya lalu  mempercepat langkahnya mengekori anggota The Band yang terburu memasuki waiting room. Tanpa banyak berpikir, Afi menerobos maju lalu dengan penuh tenaga meneriakkan satu-satunya nama yang sedari tadi menghantui pikirannya, “ARIIIII!”. Seketika suasana hening dan puluhan kepala yang berdesakkan di depannya berbalik ke arahnya. Afi hanya terdiam dan kehilangan suaranya ketika orang yang dipanggilnya membalikkan wajahnya dan mengerutkan kening.
Orang yang dipanggilnya mendekat, Afi bisa merasakan detak jantungnya mulai berpesta tidak beraturan. Gugup, ia terus menerus memeluk paper bag yang hampir seharian ini bertengger di tangannya yang basah.
            Sorry, kita kenal, ya?” tanya Ari tepat ketika ia sampai di depannya. Afi menggigit bibirnya lalu menggeleng pelan. “Oh gitu, yaudah deh. Gue pikir gue pernah denger suara lo sebelum ini. Sini...” ujarnya tersenyum sambil meminta paper bag yang ada di tangan Afi. Afi mendadak merasa tidak memiliki tenaga dan tanpa ba-bi-bu langsung memberikan paper bag yang berada di tangannya. Sesaat setelah mendapatkan paper bag itu, Ari langsung mengeluarkan isinya.
“Robot?” tanya Ari bingung sambil mengangkat robot Ultraman yang ada di tangannya. Wajahnya terlihat geli. Afi dengan polosnya tersenyum lebar dan menjawab, “Iya. Biar kamu lebih kaya cowo mainnya robot, bukan malah main boneka.” Ari terkekeh dan pada saat itu juga hati Afi meleleh dan senyumnya merekah bahagia. Oh, Ari... Kehangatan yang Afi rasakan sukses membuatnya tak sadarkan diri. Ia tidak sadar bahwa adegan yang baru saja ia dilakukannya akan siap dilahap ribuan mata keesokan harinya. Bahkan ia juga tidak sadar akan perubahan air muka Ari semenjak mengobrol dengannya.
            Dya berjalan cepat dari gerbang sekolah menuju kelasnya di lantai dua, yang ada di pikirannya hanya satu: segera bertemu Afi dan meminta penjelasan tentang apa yang dilihatnya kemarin sore di televisi. Dya tidak habis pikir kenapa Afi nekat melakukan hal bodoh itu, bahkan di hadapan publik. Dya tidak ingin sahabat sejak kecilnya itu salah mengambil langkah dan akan mendapat aib yang tak terkira malunya dengan berada di dekat Ari, si vokalis The Band.
            “Afi, maksud lo kemarin apaan, sih?! Jangan melakukan hal bodoh kayak gitu lagi!” Dya langsung mencak-mencak di hadapan Afi sesampainya ia di kelas. Afi menunjuk wajahnya sendiri dengan heran. “Emang gue ngapain, Dya?”
            Nih anak benar-benar nggak tahu bahayanya gosip di media massa, ya? Belum sempat Dya membuka mulutnya mengajukan protes dan semua wejangan yang sudah ia siapkan sejak malam, seorang guru kimia bertubuh tambun memasuki kelas.
            Bel tanda istirahat berbunyi. Dya yang sudah menanti pelajaran Kimia dan English segera berakhir langsung menuju bangku Afi. Belum sempat ia buka suara, Afi sudah menariknya menuju kantin. Lapar, katanya dengan raut wajah yang aneh. Dya langsung sadar, ini pasti bukan hanya karena sekedar lapar.
            Koridor menuju kantin saat itu penuh sesak. Mayoritas murid menuju kantin yang sama dengan mereka karena hanya kantin di sebelah sanalah yang menyajikan menu bervariatif dengan harga yang terjangkau. Ditambah lagi, Afi berspekulasi kalau Ari pun akan menuju kantin yang sama. Benar saja, belum sampai di kantin, Afi dan Dya berpapasan dengan Ari yang berjalan dari arah berlawanan. 
Afi tampak grogi ketika mendapati orang yang paling ditunggu-tunggunya itu muncul di hadapannya. Tanpa disangka-sangka, Ari melambaikan tangannya ke arah Afi. Dya memasang muka garang. Namun sebaliknya dengan Afi. Entah apa yang ada dipikiran Afi, tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya dengan cepat dan “BUK!!!” dahi mulus Afi sukses mencium tiang sekolah dengan keras. Bahkan bunyinya pun dapat mengubah ekspresi Dya yang awalnya menakutkan menjadi tercengang. Ari berhasil dibuat diam seribu bahasa dengan aksinya. Dengan satu tangan menutupi benjol besar yang tercipta di dahinya, Afi menarik tangan Dya untuk berbalik menuju kelas.
            “Lo kan tadi nyari-nyariin tuh orang, kenapa setelah ketemu malah mau kabur gitu? Gini kan hasilnya.” Dya mengompres luka Afi dengan es batu yang ia dapatkan dari kantin.
            “Kan gue grogi, Dya. Apalagi dia dadah gitu.” Kedua pipi Afi memerah seketika. Benar-benar wajah orang polos yang sedang jatuh cinta. Ralat, mungkin itu wajah orang bloon yang terjangkit virus merah jambu.
            Dya mendengus kesal. “Lo itu ya, Fi. Jangan gampang memberikan hati ke anak band kayak Ari. Playboy tuh orang.” Afi tampak tidak percaya. “Buktinya, lo baru nyapa dia kemarin, kan? Masa Ari udah berani dadah gitu. Lo itu harus jual mahal ke cowok, biar nggak diremehin.” Afi hanya mengangguk mengiyakan. Entah ia mengerti atau tidak. Huh, dasar Afi.
            Sementara itu di ruangan lain Ari tengah melamunkan seseorang. Afifah Triana Wicaksono, ya ia tahu orang itu. Dipandanginya robot Ultraman berwarna biru pemberian Afi. Ia jadi teringat wajah Afi ketika menjawab pertanyaannya tentang robot kemarin. Ia tersenyum pelan. Sebenarnya, ia tahu kamera sedang menyorotnya ketika ia mendekati gadis itu, tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin sekali saja mengobrol dengan gadis lugu yang sudah lama ia perhatikan itu. Apapun yang berada pada gadis itu mampu membuatnya bersemangat. Sambil menyentil kening benda biru di tangannya, Ari mengangguk pelan dan tersenyum puas. Ya, dia harus melakukan sesuatu. Ari tidak sabar menunggu hari esok.
            Suasana sepulang sekolah selalu ramai. Dya dan Afi berjalan bersisian menuju gerbang sekolah. Dya bersyukur karena hari ini ia berhasil menyembunyikan Afi di dalam kelas. Tapi kini ia kembali merasa was-was. Keberhasilannya sedari pagi itu bukan tidak memungkinkan bahwa Afi dan Ari akan bertemu saat pulang sekolah.
            Langkah Dya dan Afi berhenti. Di tengah lapangan telah berdiri stage kecil dan di atasnya berdiri Ari dengan gitarnya. Setelah mata Ari mendapati Afi yang berdiri tercengang membaca spanduk besar bertuliskan “ARI untuk AFI. Love You, Afifah Triana Wicaksono”, ia langsung memetik senar-senar gitarnya. Dari mulutnya terdengar alunan indah lagu Inilah Cintaku-Petra Sihombing. Kerumunan yang terbentuk di sekitar panggung itu bersorak riuh ketika menyadari si obyek yang dimaksud Ari sudah berada di TKP.
            Dya menyikut lengan Afi pelan setelah dilihatnya sahabatnya itu hanya mematung mendengarkan suara Ari. “Ingat pesan gue.” Afi hanya mengangguk tak peduli.
            Setelah satu lagu selesai, Ari turun dari panggung. Ia membelah keramaian dan berjalan menghampiri Afi. Ia menunjukkan tangan kanannya yang sedari tadi tersembunyi di balik punggung. Ari mengangsurkan setangkai mawar merah ke hadapan Afi.
            Would you be my girlfriend?” sorakan anak-anak semakin ramai setelah mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Ari. Sebaliknya, Dya yang masih berada di samping Afi tampak jengah dan mencibir tanpa suara.
            “Nggak.” jawab Afi spontan. Keriuhan itu langsung berubah menjadi sepi. Wajah bahagia Ari yang penuh optimistis itu pun pergi entah kemana.
            “Apa?” tanya Ari tak percaya. Padahal selama ini ia yakin bahwa gadis ini amat sangat tergila-gila pada dirinya. Ari pun tidak mengerti, mata Afi masih menunjukkan binar-binar bahagia karena persembahan yang diberikan Ari, tetapi kenapa ia menolak?
            “Iya, gue nggak bisa jadi pacar lo karena gue harus jual mahal,” Dya yang mendengar jawaban Afi langsung menepuk dahi tak habis pikir. “Lo itu anak band, pasti punya banyak fans. Gue nggak mau diremehin sama lo.” lanjut Afi masih dengan enteng.
            Ari memandang Afi dengan tatapan kosong tak mengerti. Baru kali ini ia ditolak cewek dengan alasan yang sangat tidak masuk akal, yah, ia memang tidak pernah ditolak.
            “Tapi, tapi,” Afi kini mulai panik. “Tapi gue sebenernya juga suka sama lo. Gue pengin banget jadi pacar lo, kok. Bener. Cuma.... ya itu tadi, Ri.” Ari menggeleng pelan tak percaya. Kepolosan yang diberikan Afi sungguh sukses membuatnya heran sekaligus jatuh hati. Sedangkan Afi masih terlihat plin-plan dengan jawabannya sendiri.
            Kerumunan yang tadi sibuk bersorak riuh kini mulai meninggalkan lapangan dengan sebelumnya menghela napas kesal. Ternyata ada aja ya cewek cantik yang polosnya kelewat bloon. Dya ikut-ikutan meninggalkan Ari dan Afi berdua. Dya sudah tidak mau ambil pusing dengan mencegah Afi agar menjauh dari Ari. Biarlah mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri.
            “Jadi, gimana?” tanya Ari bingung.
            Afi menggigit bibirnya pelan, “Gue juga bingung, menurut lo gimana?”





BIODATA
            Halo, perkenalkan ini karya kami. Aku Lulu Nur Afifah dan temanku Hafshah Widya Arini. Kami bisa dihubungi di FB: Lulu Nur Afifah dan Hafshah Widya Arini, twitter: @Fifah_LNA dan @hafshahwidya


No comments: