Saturday, December 14, 2013

Ketika Cinta Itu Pergi

“Yeeee! Congrats yaa Tia!” ucap Nia ketika aku melewatinya di lorong sekolah.
“Selamat, selamat.” teriak anak-anak kelas XI yang berebut mengucapkan selamat kepadaku. Semuanya tersenyum penuh ketulusan.
“Tiara, selamat ya. Semoga mulai sekarang kamu jadi tambah percaya diri.”ucap Dika ketika aku tidak sengaja berpapasan dengannya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum malu.
Hari ini adalah hari yang luar biasa buatku. Pagi ini sekolahku melaksanakan upacara seperti biasa dan diakhir upacara namaku dipanggil untuk mendapat penghargaan dari Bapak kepala sekolah. Minggu lalu aku mengikuti lomba speech di SMA Tiara Bangsa dan atas pertolonganNya aku memenangkan perlombaan pertamaku itu. Oleh karena itu, aku mendapatkan sangat banyak ucapan selamat dari teman-temanku.
Aku memasuki kelas dengan wajah bersemu. Berterimakasih atas semua yang telah orang-orang ucapkan kepadaku. Aku sungguh sangat tersanjung hari ini, hal yang sangat jarang buatku. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk satu minggu yang akanmelelahkan ke depan.
“Ra, selamat ya. Kita tau sebenernya kamu emang jago kok, cuma mungkin selama ini kamu kurang percaya diri aja.” ucap sahabat baikku, Tika.Aku hanya tersenyum.
“Oh iya Ra, gimana komentar ortu lo?” Tanya Kira polos. Aku termenung,mama sama papasebenernya udah aku kasih kabar tapi mereka masih belum komentar apa-apa.
“Gatau juga Ki gimana. Aku belom kasih tahu.”ucapku berbohong dengan penuh senyum palsu. Kira dan Tika hanya menggeleng.
“Kamu yang sabar, ya Yara. Mungkin emang butuh waktu.” ucap Tika sambil mengelus tanganku lembut. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum.
            “Oh iya Ra, kamu mau pulang sama siapa? Aku pulang barengan Kia nih, mau gabung ga?” tanya Tika lembut kepadaku. Hampir saja aku mengiyakan jika aku tidak melihat mobil yang menjemputku sudah ada di tempat parkir.
“Gausah deh Ka, aku pulang sama Pak Beno aja, itu udah jemput.” jawabku setengah hati.
“Oh yaudah kalo gitu kita duluan ya.” Tika dan Kira pun berlalu dengan mobil jeepnya. Akhirnya aku sendiri lagi, menghadapi hari yang entah akan bagaimana. Hmm… Tuhan, kuharap hari ini tidak akan merepotkan.
Sesampainya di rumah aku sudah bisa menebak, pasti kosong, tidak ada orangsama sekali. Seperti biasa aku langsung masuk ke dalam kamarku dan memilih untuk mengurung diri di dalam kamar hingga ada orang yang datang. Aku merasa sangat lelah hari ini, mungkin tidur siang akan cukup membantu.
“No, it is not only your choice, it is our choice!”
“Whatever you say, I just want to leave all this. This all going me crazy.”
“Tapi kamu ga bisa gitu Tiara itu anak kita berdua, bukan cuma anak kamu aja.”suara mama..
“Tapi aku yang ngasih dia makan dan fasilitas lainnya.” Suara papa….
But…………” suaranya hilang…. Mama… Papa… kemana?
Jam berapa sekarang? Aku langsung melihat jam yang ada di sebelah kiri tempat tidurku. Oh, sudah jam 6 sore rupanya. Aku yang masih kebingungan akhirnya memilih untuk bangun dan duduk di kasur. Karena pusing, aku mencoba untuk meminum air yang ada di meja belajarku. Beberapa saat kemudian aku baru merasa lumayan.
Mama papakenapa sih setiap hari bertengkar?Mama papa seharusnya tidak mengalami hal-hal seperti ini. Pasangan kekasih sejak SMA yang selalu akur tidak mungkin jadi begini. Memang, mama dan papa memiliki budaya yang berbeda. Papa yang orang Perancis sedangkan mama orang Indonesia. Tapi apayang sebenarnya jadi masalahnya? Pusing, aku pun mengusap kepalaku pelan. Beberapa saat kemudian pintuku diketuk oleh seseorang.
“Nona, sudah waktunya makan malam. Sudah ditunggu Nyonya.” ucap Bi Inah, kepala pembantu di rumah ini.
“Iya, Bi. Aku turun.”jawabku yang langsung berjalan menuju ke ruang makan.
Sesampainya di ruang makan, aku langsung duduk tepat di depankursi mama. Aku melihat ke sekitar dan tidak ada ciri-ciri keberadaan papa. Aku pun menunduk lesu. Terlalu tinggikah mimpiku jika aku berharap kami bisa makan malam sekeluarga?
“Where is Dad, Mom?” tanyaku seperti kebiasaanku sesaat setelah aku duduk di depan mama.
Going somewhere. Katanya masih ada kerjaan yang belum selesai, mama juga gatau kemana. Mama udah ga ngerti lagi sama papamu itu.”jawab mama skeptis. Aku? Hanya bisa menghela napas berat berkali-kali. Tapi tetap kuusahakan untuk tersenyum tipis ketika mama melihat ke arahku. Dan tidak lama kemudian, papa keluar dari kamar dengan pakaian lengkap dan menuju keluar rumah dengan sangat terburu-buru.
“Adrian…. Where you will go? Don’t you want to say good bye first to us?” tanya mamaku ketika sadar aku memerhatikan papa yang hampir lewat begitu saja di hadapanku tanpa menyapaku sama sekali.
“Oh please Clara, I don’t have more time for that. I have to go now.”jawab papaku dengan tegas, masih tidak mengacuhkanku. Mamaku mencoba untuk berbisik pada papaku.
“Tapi Clara, aku sedang terburu-buru!” dan mereka pun bertengkar dalam bahasa Prancis, bahasa yang tidak ada seorang pun mengerti di rumah ini. Mereka terus bertengkar tanpa sadar disini ada aku yang terdiam seperti patung melihat mereka. Dan ketika pertengkaran mulai memuncak, aku bersaha untuk menghentikannya.
Daddy please stops it! It will not working to always fight every time. You both are wasting time too much.”
“You know nothing, Tiara. You will never understand what we are talking about, so just silent and sleep. You are too young to know our problem!”
“Adrian!” teriak mamaku pada papaku dengan tangan hampir akan menampar papa sedangkan aku menganga tak percaya papaku bisa mengatakan itu. Tanpa disadari air mataku jatuh ke pipiku, tetes demi tetes. Wajah papaku yang kaku akhirnya sedikit mengendur. Setelah melihat air mataku, mamaku langsung mencobauntuk memelukku dan papaku berusaha untuk mengelap air mata yang mengalir di pipiku. Aku berontak. Aku menangis deras.
“Tiara, sorry I said that. It is out of my control.” pinta papa sambil mencoba merangkulku.
Don’t touch me……” namun papa dan mama tetap ada diam di tempatnya tanpa merubah posisi sedikit pun. “DON’T TOUCH ME I said, don’t you hear that? Don’t touch me, don’t touch me!”
“Tiara, kamu ga boleh ngomong gitu.”
Mama yang ga boleh ngomong gitu. Mama ga ngerti sama aku, mama ga kenal aku, bahkan mama sama papa gatau kan kalo aku menang lomba speech yang kuikutin kemaren? Jadi sebenernya mama sama papa yang ga berhak ngomong gitu ke aku! dan tepat setelah itu, aku langsung lari kearah kamarku dengan air mata terus bergulir.
Aku melesakkan seluruh wajahku ke bantal, kubiarkan bantalku menjadi basah kuyup, aku sudah tidak peduli lagi. Kedua orang tuaku, orang yang selama ini sangat aku banggakan ternyata bahkan tidak mengenalku, tidak menganggapku ada. Mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing, tanpa merasa perlu untuk mengurusku. Danaku kesepian lagi, sendiri memandangi langit malam tanpa bintang. Oh Tuhan… inikah memang jalanku?
Hari pun berlalu begitu cepat. Tak kurasa ini sudah pagi hari, rupanya semalam aku ketiduran. Tidurku nyenyak tanpa mimpi. Semalam… hmm bahkan mereka tak mencoba untuk merayuku untuk memaafkan perbuatan mereka. Sudahlah lebih baik aku bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Aku mendapat firasat bahwa hari ini akan sedikit menghibur.
Sesampainya di sekolah, baru saja aku memasuki gerbang tiba-tiba Dika datang dengan tasnya menyapaku.
“Hai, Yara. Kamu kenapa? Mukamu sembab begitu.” ucapnya bingung. Jantungku tiba-tiba berdetak dengan cepat dan bulu kudukku berdiri, seketika aku tegang. Ya ampun, masihkah tersisa tangisan semalam yang terlihat hingga pagi ini? Oh, tidak…
“Aku ga papa ko Dik, cuma kelilipan aja.” jawabku sekenanya. Aku tidak tahu mau menjawab apa lagi.
“Jawaban klasik, ya hahaha…. Jadi kenapa? Orang tua lagi?” tanyanya tepat sasaran. Aku yang tidak tahu harus menjawab apa benar-benar langsung mati kutu. Dika yang sepertinya mengerti langsung meraih tanganku dan mengusap bahuku pelan sambil berkata,
“You can trust me then.” Aku yang awalnya bersikukuh tidak mau memberi tahu akhirnya menyerah juga. Tepat ketika aku mulai bercerita, air mataku mengalir. Berat rasanya menahan air mata ini untuk tidak keluar. Pada akhirnya aku menceritakan semua kejadian semalam pada Dika. Air mataku tumpah ruah tak tertahankan mengalir deras seperti air terjun. Ia mengenggam tanganku erat dan sesekali mengelusnya jika ia merasa bersimpati. Setelah selesai bercerita, air mataku mengering. Dika hanya tersenyum penuh arti sedangkan aku merasa beban berton-ton yang selama ini ada di bahuku telah diangkat. Aku sangat lega ditambah lagi dengan keberadaan Dika yang menguatkan dan senyumnya yang menenangkan.
Setibanya di kelas, mataku membesar dan pandanganku mengabur. Melihat keadaanku yang sangat kacau, Tika dan Kira membawaku ke UKS untuk beristirahat. Ketika sampai di UKS mereka sempat bertanya “Kamu kenapa, Yara?” Aku hanya tersenyum dan mereka mengerti apa arti senyuman itu. Mereka pun menyuruhku untuk beristirahat dan membiarkanku sendiri.Lalu dalam kesendirian, akupun tertidur dengan mudahnya.
“Yara… banguuunnn. Ayo ini udah jam pulang looh. Kamu hampir tidur seharian di sini. Ayo bangun!” teriak Tika tepat di depanku yang sukses membuatku gelagapan ketika bangun. Dan tepat saat aku membuka mata, aku melihat ada tiga orang di depanku. Tika, Kira dan……… Dika. Ya ampun, kenapa Dika jadi ikut-ikutan?
“Yara, lo yang kuat yah di masa kritis ini. Jangan kalah sama keadaan.” ucap Kira tiba-tiba.
“Iya, Ra… kita percaya kok ini jalan yang terbaik buat kamu. Jangan nyerah dan tetap semangat yaa.” ucap Tika kemudian.
“Kalian tahu dari mana?” tanyaku bingung.
“Aku yang udah kasih tahu mereka. Gak apa-apa kan?” ucap Dika khawatir seraya mendekati tempat tidurku satu langkah. Wajahku tiba-tiba memanas dan jantungku berdegup lebih cepat. Tika dan Kira yang tahu aku pernah menyukai Dika serentak tersenyum penuh arti kepadaku.
“I..iyaa gak apa-apa ko Dik.” jawabku seadanya sambil memelototi Kira dan Tika. Ya Tuhan… kenapa reaksiku jadi berlebihan begini? Padahal tadi pagi masih biasa saja.
“Kamu yang tabah ya Tiara. Allah pasti ngasih jalan terbaik buat kamu. Semangat, ya.” ucap Dika dengan senyum. Senyum tulus yang menular karena sedetik kemudian aku merasakan sudut-sudut bibirku terangkat.
Waktu sudah menunjukkan jam 3 sore, aku diantar ketiga sahabatku sampai ke parkiran sampai aku menemukan mobil Pak Beno. Namun, aku sama sekali tidak menemukan mobil itu. Yang kutemukan sungguh diluar dugaanku, yaitu mobil papa dengan mama di dalamnya. Aku terpana sesaat, rindu akan pemandangan ini. Ketiga sahabatku yang tahu bahwa aku dijemput oleh kedua orang tuaku otomatis langsung pamit pergi dan sebelum pergi, mereka menyemangatiku dulu satu persatu. Aku hanya bisa tersenyum tipis.
Setelah mereka pergi, aku masuk ke dalam mobil papa. Beberapa menit awal mobil hening, tidak ada suara sama sekali, hanya helaan napas yang saling berkejaran saja yang kudengar. Lalu tiba-tiba mama memutar musik klasik yang dulu sering diputar oleh papa dan mama ketika berpergian berdua. Di tengah-tengah lagu, mama ikut bernyanyi. Suaranya merdu bagaikan kicauan burung kenari di pagi hari.Kulihat papa tersenyum tipis dari kaca depan. Mereka yang awalnya menatap kedepan tiba-tiba saling menatap sesaat tanpa sengaja lalu tersenyum bersama. Kurasakan percikan cinta yang menyenyat hati di dalam tatapan mereka. Aku terharu melihatnya lalu langsung memalingkan wajah.
Aku masih belum tahu kemana aku akan dibawa pergi oleh kedua orang tuaku. Mereka masih belum bicara kepadaku. Dan tiba-tiba di hampir akhir perjalanan mama bicara kepadaku,
“Kamu ingat Pantai Pangandaran, kan? Kita akan melepaskan penat kita sejenak disana.” ucap mama santai penuh senyum kepadaku. Aku terbelalak tak percaya. Mungkinkah ini suatu awal yang baru untuk keluarga kami?
“Tapi, mah, aku ga nyiapin apa-apa buat kesana.” kataku kegirangan.
We have already save it for you, babe. Don’t worry, just enjoy every time we have there. Oke?” ucap mama sambil mengelus kepalaku tiba-tiba. Sengatan listrik kasih sayang pun mengalir dari kepala yang mama sentuh ke seluruh tubuhku. “Thanks mom.”
Say it to your dad too. This is his idea.” ucap mama sambil memicingkan mata kearah papa. “Thanks, dad. It is amazing!” ucapku lalu tersenyum kearah kaca, dimana papa melihat senyumku dari situ.
Sesampainya di Pangandaran, kami check in ke salah satu hotel lalu beristirahat. Keesokan harinya kami langsung pergi ke pantai. Awalnya suasana canggung, namun berubah ketika papa mulai membuka pembicaraan kepadaku dan mama,
Why the situation is like these guys? We are in a holiday! Let have fun!”
“What we will do to make it fun, Dad?” tanyaku.
How about volley beach with clothes and jeans?” usul mamaku.
Aku tersenyum, “Okedeh.” dan kami pun mulai untuk bermain volley beach. A special volley beach family.
Malam menjelang, kami sedang duduk-duduk di pasir pantai sambil menunggu matahari terbenam. Suasana khidmat dan tenang. Semenjak tadi pagi, kami jadi akrab lagi, hening sekarang sudah berbeda dengan hening di hari kemarin. Benar-benar mimpi yang jadi kenyataan. Sesuatu hal yang sangat mengejutkan dari kedua orang tuaku. Hal yang tidak akan pernah kulupakan, salah satu momen terpenting dalam hidupku
Tiara…. Are you happy?” tanya mamaku tiba-tiba.
Sure, mom. Ini hal terindah yang pernah kita lakuin sebagai keluarga.” jawabku jujur. Mamaku tersenyum tipis, sangat tipis sehingga aku merasa itu bukanlah sebuah senyuman, melainkan suatu ejekan.
We have something to told, Tiara. An important thing.” Lanjut mamaku sambil melihat matahari yang mulaimenyelami lautan.
“Apa, ma?” tanyaku sambil menoleh pada mamaku namun mamaku malah menoleh pada papaku dan berkata “Tell her.” Papaku pun mengangguk lalu ia menghembuskan napasnya sebelum berbicara padaku.
We will get divorce, Tiara, soon.” ucapnya tanpa emosi. Suaranya hambar, namun matanya meluapkan banyak emosi dan kenangan yang menyakitkan.
What? Why?” tanyaku sambil berusaha untuk tidak marah.
“Kita rasa, kita udah engga cocok lagi, sayang. Gak ada lagi yang bisa kita pertahanin bersama. We are ends dan kita udah memutuskan.” ucap mama lembut sambil meraih tanganku, takut-takut aku kabur lagi.
“Tapi kalian kan punya aku. Kenapa kalian ga nyoba buat mertahanin aku aja sih? Padahal kan kalian udah saling cocok dari lama, kenapa waktu udah bersama malah harus pisah? Kita kan bisa bangun semuanya dari awal lagi, Tiara mau bantu kok. Kenapa harus cerai? Kena…” tanyaku tapi dipotong oleh suara papa yang tegas dan dalam.
“Tiara sayang, pernikahan bukanlah suatu hal yang mudah untuk dijalankan. Banyak sekali permasalahan yang ada di dalamnya. Dalam pernikahan kita memiliki banyak tanggung jawab yang harusditunaikan dan papa sadar, papa lalai dan sudah tidak sanggup lagi untuk memenuhi tanggung jawab tersebut.Nanti, jika kita sudah bercerai, kamu akan tinggal bersama mama.” ucap papa dalam, aku meresapinya sambil diam-diam meneteskan air mata.
But I love you both. Aku sama sekali gabisa bayangin hidup pisah sama mama ataupun papa. Aku gamau nanti salah satu dari kalian bakal lupa sama aku.”ucapku yang sudah memeluk papa erat sambil membanjiri kaosnya dengan tangisku.
“Nothing will change, trust me. I will always loving you everytime and you will always be my angel, Tiara. Alasan lainnya adalah karena papa dipindahkerjakan ke Prancis, tempat kelahiran papa. Papa tahu kalian akan sungkan jika diajak kesana, apalagi mamamu sangat menyukai pekerjaannya disini. Kami terlalu work holic, terlalu kuat berdiri sendiri sehingga rasa saling membutuhkan semakin lama semakin terkikis diantara kami. Kami tidak ingin memperpanjang penderitaanmu dengan teriakan-teriakan kami lagi. Kami ingin kamu hidup bahagia.” Aku hanya menghela napas, papa lalu menjelaskan.
“Tolong berikan kami waktu untuk saling berpikir, biarkan kami merasakan bagaimana rasanya kehilangan, biarkan kami melepas kini daripada mempertahankan lalu menyesal kemudian. Jika kami memang berjodoh, kelak kami akan saling jatuh cinta kembali.” ucap papa lagi, aku hanya mengangguk-ngangguk mengiyakan. Tidak kudengar suara mama sejak tadi dan ketika kulihat mama, ia sedang menagis juga sepertiku tapi dalam versi yang lebih anggun. Mama duduk tegak, melihat matahari terbenam sambil bercucuran air mata, menangis tidak bersuara. Papa pun akhirnya merangkul mama dan memeluk kami bersama.
Hari ini adalah hari keberangkatan papa ke Prancis. Papa dan mama sudah bercerai dan seperti yang direncanakan, hak asuh jatuh pada tangan mama dan aku tetap tinggal bersama mama di Indonesia. Papa akan selalu menghubungiku setiap hari dan kami akan sering-sering ber-videocalling. Sekarang kami bertiga ada di bandara, melepas kepergian papa ke tanah kelahirannya. Aku mencoba untuk berdiri tegak dan tidak menangis. Aku tidak ingin memberikan kesan buruk disaat-saat terakhir papa disini. Ketika pesawat keberangkatan papa sudah terdengar diumumkan untuk berangkat, papa sedang menatap mataku dalam.
“Tiara, kalau nanti ada lelaki yang benar-benar mencintaimu dan kamu juga cinta padanya, kamu jangan terlalu mencintainya hingga memberikan hidup dan matimu padanya. Biarkan Tuhan yang menunjukkan jalannya padamu, oke?” ucap papa lalu mencium puncak kepalaku lembut dan memelukku erat tepat ketika aku mengangguk. Setelah puas memelukku, papa beralih kepada mama. Meskipun mereka sudah bercerai, aku masih tetap bisa merasakan cinta yang besar diantara mereka. Papa menatap dalam ke mata mama, menguraikan belit-belit cinta diantara mereka. Tangan papa menggenggam tangan mama dan mama balas menggenggamnya. Mata mereka menceritakan kenangan kisah kasih antara mereka di masa lalu. Tangan mereka saling meremas, semakin lama semakin erat dan puncaknya papa mencium kening mama sangat lama. Mama memejamkan mata meresapi setiap detik terakhir yang mereka miliki. Selama sesaat kulihat keinginan mereka yang besar untuk kembali, namun tiba-tiba papa langsung melepaskan dirinya dari mama, menarik diri dari kenangan masa lalu mereka.
Setelah itu papa langsung menuju ke pesawatnya. Kami saling melambaikan tangan. Mama tersenyum, begitu pula papa dan aku. Namun masing-masing dari kami tahu, bahwa hati kami sedang berusaha untuk melepaskan dan berusaha untuk tidak menangis.

No comments: