Deburan
ombak menyapa saraf-saraf telingaku lembut, membuatku tertarik untuk membuka
mata, melihat air yang berkejaran dan sinar kuning sang mentari yang siap untuk
menyongsong harinya di pagi ini. Tapi tidak, aku tidak membuka mata. Kunikmati
detik demi detik yang kumiliki di pagi yang damai ini. Kuambil napas sepanjang
yang kubisa dan menghembuskannya perlahan. Dapat kubayangkan hembusan napasku
bersatu dengan angin laut yang sedari tadi memainkan rambutku. Oh, aku sungguh
jatuh cinta dengan kedamaian ini. Seperti jatuh cintanya aku pada kedamaian
yang kau buat untukku.
“Hei,
jangan lari kamu. Ayo siniii!” teriak Leon padaku. Aku berbalik ke arahnya lalu
menjulurkan lidahku untuk mengejeknya. Dia mendengus kesal lalu berlari
mengejarku.
Aku
terus berlari hingga akhirnya sebuah tangan besar menagkapku dari belakang dan
menggelitiku tepat di pinggang. Aku tertawa dibuatnya. “Stop it, Leon!” pintaku
memohon. Tapi dia sama sekali tidak berhenti menggerakkan jari-jarinya di pinggangku.
Dia malah ikut tertawa “Rasakan!” ujarnya sambil tertawa. Aku mencubit
tangannya ganas, baru dia berhenti. Akhirnya, aku dan dia sama-sama terduduk di
tepian pantai sambil memegangi pipi kami yang pegal karena kelelahan tertawa.
Napasnya
terengah-engah dan terdengar kasar. Aku puas mendengarnya, itu berarti aku
berhasil membuatnya berolahraga. Dia malas sekali berolahraga, padahal dia kan
cowok.
“Capek,
Ra. Awas loh ya kalo kamu ngabur-ngabur lagi kaya tadi.” ujarnya sambil
memelototiku. Aku memutarkan bola mataku lalu menantang tatapannya, “Iih, dasar
cowok lemah. Kamu justru harus banyak olahraga kaya gitu biar kuat.” ujarku.
Kedua mata hazel itu tiba-tiba melembut, menatap mataku dalam. Aku terpaku ketika
cahaya matahari senja ikut menimpa wajahnya. Burung camar yang sedari tadi
berisik ikut terdiam, seakan merasakan dahsyatnya aura orang yang memiliki mata
hazel itu.
“Gabisa,
Ra. Aku gamau kehilangan kamu gara-gara maksain olahraga gitu. Aku gaakan
bisa.” ucapnya pelan, matanya tertancap pada mataku. Aku hampir tersedak, apa
maksudnya? Alih-alih bertanya dengan serius, aku memilih untuk tersenyum
padanya lalu menyenderkan kepalaku di bahunya, menatap terbenamnya matahari
senja di pantai selatan yang indah ini, berdua. Tiba-tiba seekor kepiting lewat
di depan kami, “Kepiting itu jadi saksi bahwa kita pernah ada disini, Ra.” Dia
mengecup puncak kepalaku. Aku tersenyum diatas bahunya. Damai.
Kubuka mataku pelan, ribuan cahaya
berebut memasuki mataku. Sebuah bola besar berwarna oranye di ufuk timur
mewarnai pandangan pertamaku. Aku mengedipkan mataku berkali-kali. Melihat bola
itu, tidak melihat, melihat lagi, tidak lagi hingga akhirnya mataku sendiri
yang terbiasa dengan cahaya yang dipancarkan oleh bola besar itu. Aku melihat
cahayanya lagi, menatapnya dalam, berharap dia menjawab pertanyaan yang sedari
tadi berseliweran di dalam kepalaku. Tapi bola itu tidak menjawab, ia hanya
diam dan terus naik ke tempat dirinya seharusnya berada.
Smartphone-ku
bergetar, aku meraba setiap inci dari sakuku untuk mendapatkannya. “Halo?” sapaku
setelah kupencet tombol hijau tanda menjawab telepon.
“Hei, Ra, dimana lo?” sahut Anti,
sahabatku dari seberang sana.
“Gue? Disini ajanih, kenapa?” jawabku
asal sambil menutupi mataku. Aku mulai kesilauan.
“Ya iya, makanya gue tanya lo ada
dimana. Retoris lo ah.” omelnya kesal. Aku tertawa pelan untuk menimbali
omelannya itu.
“Malah
ketawa lagi, gila lo. Dimana lo?” tanyanya lagi dengan nada mengintimidasi yang
sudah kuhafal. Aku mengelilingkan pandangan ke sekitarku untuk menjawab
pertanyaan Anti, namun aku tidak menemukan apapun selain pasir-pasir putih yang
membentang luas dan air yang berkejaran tiada henti. Aku menghembuskan napas
pelan lalu menjawab, “Gue lagi di pantai, Ti.” Tidak ada jawaban, hening. Aku tahu,
Anti pasti kaget mendengarnya.
“Ya
ampun, Ra… Lo sendiri?” tanyanya setelah beberapa saat terdiam. Aku
bergumam-gumam ria untuk menjawabnya.
“Kenapa lo ga bangunin gue ajasih kalo lo
emang mau main pasir di pantai? Kenapa sendiri? Lo jangan suka menyendiri gitu
deh, bukan lo banget…. Lo…”
“Gue gamau main pasir, Anti…” potongku lembut.
“Lagian gue emang lagi pengen sendiri. Lo tau, melepaskan semua yang
berkeliaran di otak lo beberapa hari terakhir itu ga gampang.” lanjutku dengan
sabar. Anti hanya mendengarkan. Sepi lagi beberapa saat sebelum Anti berkata
dengan tidak sabar, “Gue kesana, ya. Tunggu gue!” Hubungan telepon tiba-tiba
mati. Aku hanya berdecak mendengarnya. Aku tidak heran, Anti memang selalu
begitu. Bahkan sepertinya ia akan lupa untuk membawa smartphone-nya kesini. Ya, si ceroboh itu…
“Kamu kemana sih? Kenapa ngilang
mulu? Kamu bosen, sama aku? Kalo iya, kita putus aja Leon!” teriakku marah
sesampainya aku di cafeteria favorit kami. Leon bergerak-gerak gusar di
depanku, sama sekali tidak menanggapi teriakanku. Matanya gelisah, aku berdecak
kesal. “Leon! Liat aku!” bentakku. Sontak, dia memfokuskan wajahnya padaku.
Matanya menatapku tepat di manik mataku. Matanya terlihat lelah dan memelas.
Wajahnya lebih putih dari biasanya, pucat. Tiba-tiba aku merasa khawatir.
“Le, kamu kenapa?” tanyaku sambil
menelusuri wajahnya yang terlihat menyedihkan. “Kamu sakit?” tanyaku lagi. Dia
tidak menjawab, hanya tersenyum. Leon meraih jariku dan mengecupnya lembut.
“Tiara, kamu harus percaya sama
aku. Alasan aku menghilang akhir-akhir ini bukan karena ada orang lain, ko. Ada
hal yang harus kuselesaiin secepatnya. Nanti kalo aku udah selesai, aku bakal
balik ke kamu kaya dulu.” Tiba-tiba jantungku berdegup lebih cepat dari
biasanya. Bukan karena tersipu sehingga ada ribuan kupu-kupu hadir dalam
perutku dan membuatku deg-degan. Lebih karena aku khawatir.
“Hal apa, Le? Kamu bisa cerita sama
aku kalo itu terlalu berat kamu tanggung sendiri. Kalo kamu tanggung sendiri
nanti kamu kecapean dan sakit. Aku gamau
kamu sakit, Le.” jawabku sambil menyentuh keningnya. Tidak panas, syukurlah.
Leon menarik tanganku dari keningnya lalu menelungkupkannya diantara kedua
tangan besarnya.
“Tangan kamu selalu kecil dan
lembut, ya Ra. Rapuh banget.” ujarnya tiba-tiba. Aku mendelik tidak mengerti.
“Aku gamau tangan rapuh ini terluka, Ra. Makanya biarinin aku aja yang ngurus
ini semua. Kamu percaya sama aku, aku pasti balik lagi.” tambahnya. Mata hazel
cantiknya menyiratkan keseriusan yang membuatku otomatis mengangguk dan
memercayainya.
Beberapa saat berlalu dalam
keheningan, yang kulakukan hanya menatap wajahnya. Sedangkan ia sedang melihat sesuatu
yang entah apa itu dari kaca besar di sebelahnya. Sebenarnya, aku sungguh
senang berrtemu lagi dengannya semenjak beberapa bulan yang berat ini.
Kemunculannya yang tiba-tiba membuat perasaan gembira dan kesal membuncah
seketika aku melihatnya. Tapi sekarang, setelah aku meihat wajahnya, semua
perasaan itu sirna digantikan oleh perasaan khawatir yang berkelanjutan.
“Le, liat apa sih?” tanyaku memecah
keheningan. Leon mengalihkan pandangannya dari benda diluar sana padaku. Ia
tersenyum tipis, “Aku liat matahari, Ra.” jawabnya. Keningku berkerut bingung,
“Terus?” tanyaku. Leon menjeaskan, “Matahari itu ga pernah ingkar janji, Ra.
Malem, dia selau pergi ninggalin kita dengan semua cahayanya yang
menghangatkan,bikin kita terkadang sedih dia tinggal. Tapi paginya, dia selalu
datang lagi buat membagikan kehangatannya ke kita. Aku kagum sama dia, Ra.” jelasnya
sambil menunjuk matahari di luar sana. Aku mengikuti pandangannya lalu
mengangguk mengerti.
Leon kembai memfokuskan
pandangannya padaku. “Ra, aku mau jadi matahari itu buat kamu. Aku mau
menghangatkan hari-hari kamu. Dan aku akan selau memegang janji aku ke kamu.
Boleh ga aku jadi matahari kamu?” tanyanya tiba-tiba. Hatiku mencelos, dia
bilang apa? Aku mengerjapkan mata berkai-kali dan mencubit tanganku untuk
memastikan bahwa aku tidak bermimpi. Leon masih tersenyum di tempatnya, ke
arahku. Setelah sadar bahwa ini bukan mimpi, aku mengangguk sekuat tenaga-agar
Leon tahu aku mengangguk-lalu tersenyum padanya. “Promise?” tanyaku sambil
mengacungkan jari kelingkingku padanya. Dengan cepat dia mengaitkan
kelingkingnya pada kelingkingku. “Promise.” Aku tersenyum bahagia.
“Tiara!”
teriak Anti dari belakang batu karang yang baru saja terkena ombak. Aku menoleh
lalu melambaikan tanganku padanya, hanya untuk menunjukkan bahwa aku sudah
mendengarnya.
“Hosh…
hosh.. hosh…. Gila, lo udah jalan sejauh ini, Ra?” ucapnya sesaat setelah dia
sampai di tempatku.
Aku
tersenyum padanya, “Lo aja kali Ti yang ngerasa jauh. Ini ga jauh, ah.” jawabku
sambil meraih tangannya yang menggapai-gapai tanganku kelelahan. Anti
menegakkan badannya lalu melepas tangannya dari genggamanku dengan sekali sentakan.
“Kaya lesbi lo Ra pegang-pegang tangan gue.” ujarnya bercanda. Aku hanya
terdiam, tidak menanggapinya sama sekali.
Anti
mulai berceloteh tentang banyak hal di sebelahku. Membuat pagi sepi yang sedari
tadi kurasakan menjadi pagi ramai yang ceria. Anti memang selalu menjadi mood booster-ku.
Terkadang, ia bahkan berhasil membuatku tertawa, meskipun tawaku tidak selepas
dan segila dulu. Yah, aku bersyukur karena Anti selalu ada disisiku, tetap
menyemangatiku dan membuat hariku menjadi sedikit lebih berwarna.
“Ra?
Tiara? Tiara? Lo ngelamunin apasih?” aku menoleh padanya, mengangkat alis sambil
pura-pura mendengarkannya. “Kita lagi liburan, Tiaraaaa… Woi! Lo kenapa malah
tambah diem sih diajak liburan? Lo harusnya berusaha buat lupain semuanya
tentang Leon, Tiara. Always thinking
about him just make you hurt more, let him go, Ra.” ucapnya. Mendengar nama
Leon disebut, aku mengangkat kepala dan mencoba untuk fokus pada Anti.
Anti
berdecak keras dan menghentakkan tanganku, “Ra! Sadar, Ra, sadar! Lo udah ngga
sama dia lagi, lo jangan inget dia terus kalo itu emang bikin lo sakit. Hidup
lo ga berakhir cuma dengan berakhirnya hubungan lo sama dia. Masih banyak ikan
di laut, ra!” teriaknya tepat di depan wajahku. Matanya menyala-nyala, bukan
marah, tapi terlihat sangat khawatir. Aku sendiri sedang menahan segala gejolak
perasaan yang berebut keluar untuk menunjukkan wujudnya.
Tiba-tiba
seekor kepiting melewatiku dan Anti. Dan bertepatan dengan itu, air yang sudah
lama tertimbun di dalam mataku ini jatuh begitu saja. Anti terkesiap, mencerna
keadaanku beberapa saat lalu langsung memelukku erat dalam pangkuannya.
“Yaampun
Tiara, sori ya, gue gatau kalo ini pantai yang sama dengan pantai lo dan Leon
waktu itu, dan kepiting itu….. Aduh, sori, Ra.” ucapnya tiba-tiba. Aku hanya
mengangguk pelan dalam tangisku. “Sabar, ya Tiara..” ujar Anti berkali-kali
sambil mengelus-elus rambutku.
“I love you Ra.” ujar Leon mesra di daun
telingaku. Suaranya yang bergetar sama sekali tidak mengurangi makna dalam kata
itu. Bahkan, suaranya itu ikut menggetarkan hatiku dan membuat jantungku
berdebar lebih keras. Rasa pusing yang menyergapku karena bau obat rumah sakit seketika
hilang mendengar Leon berkata seperti itu.
Tangannya yang lebih kecil dari
biasanya menggenggam tanganku. “Maaf Ra, kamu harus liat aku kaya gini.” ujarnya.
Aku menggeleng pelan sambil menempatkan telunjukku di bibirnya. “Kamu… jangan
banyak… ngomong dulu ya..” ucapku sambil menahan cairan bening yang sudah
menumpuk di dalam pelupuk mataku.
“Jangan nangis, Tiara..” ujar Leon
terbata. Aku mengangguk sambil mengelus kepalanya lembut. Dia tersenyum padaku,
menatapku penuh arti. Aku balas menatapnya, sekedar untuk membuatnya senang.
Tak sadar bahwa menatapnya balik akan mengaktifkan bom yang sudah sejak tadi
ada di dalam mulut Leon. “Tiara, I want give up this to you.” ujarnya.
Diam-diam aku berdoa dalam hati atas maksud dari ucapannya itu. Semoga saja
apapun yang dia maksud, itu adalah hal yang baik.
“Just if I’m gone, will you still
believe in my promise?” tanyanya. Aku tercekat. ‘Just if I’m gone’ terlihat
seperti kata perpisahan buatku. “Maksud…. Kamu.. apa?” tanyaku. Leon
melanjutkan kata-katanya tanpa menghiraukan pertanyaanku tadi. “Yah, you have
to. Believe me, Ra. Aku gaakan pernah ninggalin kamu. You are my star, and I am
your sun. Star and sun is always belongs together.” Mataku mulai berkaca-kaca,
aku tak yakin akan sanggup menahan cairan ini keluar setelah Leon selesai
berbicara.
“Wherever I am Ra, I am still yours
and it will always be. Wherever I am, I will always shining your days. I am a
sun, remember? So, if you miss me someday, just see to the sun, and I will
smile for you from that Sun.” aku terpaku, cairan-cairan bening ini sudah
bercucuran keluar lagi dari mataku. Aku menggeleng pelan, memintanya untuk
berhenti berbicara. Leon tidak berbicara lagi setelah itu. Tanpa sadar, Leon
meremas jari-jari tanganku, dan akupun meremasnya balik. Jari kami terpaut,
mata kami saling pandang, menceritakan masing-masing kehidupan kami yang
sendiri. Aku beberapa bulan ini tanpa dia, dan dia dengan penyakitnya yang
ganas.
Air mataku tidak berhenti jatuh
ketika Leon berusaha sebisa mungkin menghiburku untuk tidak menangis. Aku
membayangkan jika ini benar-benar ucapan selamat tinggal dari Leon. Ah, tidak
aku harus menepis fikiran itu. Aku tahu, Leon masih disini, disisiku. Dan akan
selalu di sisiku.
“Meskipun kanker ini ngerenggut
semua tenaga dan kesehatanku, kanker ini tetep gabisa ngerenggut rasa sayangku
buat kamu. It will never end. Just like the sun. Selama matahari itu masih
bersinar dengan setia di setiap harinya, aku juga bakal dengan setia sayang
sama kamu. Jadi, if I go somewhere, jangan sedih. Inget positifnya aja ya Ra,
bahwa aku selalu bawa perasaan ini buat kamu bahkan kalo aku udah ga ada. I love
you, Tiara.” ujarnya lagi.
Mataku buram tertutupi air mata
yang keluar deras tiada henti. Leon melepas genggamannya dari tanganku lalu
mengelus mataku pelan. “Whatever will be, will be Ra.” bisiknya pelan. Aku
balas berbisik lembut padanya, “I love you too, Leon.” Leon tersenyum tenang,
damai. Dan beberapa detik kemudian matanya terpejam dan suara dengingan yang
sedari tadi berbunyi teratur di ruangan ini mengeluarkan bunyi keras yang memekakkan
telingaku. Aku tak bisa mendengar apa-apa lagi selain tangisanku yang pecah.
Aku
mengangkat kepalaku dari bahu Anti, menghapus sisa tangisku yang tiba-tiba
pecah tadi. Anti masih saja mengucapkan kata yang sama. Tapi sekarang, aku
sudah lebih tenang. Keberadaan Anti dan tepukan tangannya di punggungku
benar-benar seperti endorphin bagiku,
yang lama-lama memberiku keberanian untuk bangkit dan tersenyum.
Semburat
kuning memasuki mataku lagi ketika aku menolehkan kepala ke arah timur. Aku
menatapnya, lama. Anti sempat bingung lalu hendak memelukku lagi tapi ia berhenti
ketika ia melihatku tersenyum. Anti ikut melihat matahari pagi yang menyembul
malu-malu diantara awan.
“Kenapa
sama mataharinya, Ra?” tanya Anti bingung.
“Lo
salah, Ti. Leon will always be mine, our
love will never ends.” jawabku yang membuat Anti mulai mengambil
ancang-ancang takut-takut jika aku menangis. “We are lover forever.” tambahku. Anti maju satu langkah
mendekatiku. “Karena dia akan selalu ada di sini.” ucapku sambil menatap
matahari di depanku dan memegang dadaku pelan. Anti terdiam lama, tidak
berceloteh lagi seperti biasa. Hening menyergap kami, hal yang tidak biasa jika
aku bersama Anti.
Aku
mengangguk mantap, lalu menatap Anti, “Kayanya gue bisa ikhlasin Leon deh Ti.”
Mata Anti membelalak lalu tersenyum menyemangatiku. Senyumku ikut mengembang.
Kutolehkan lagi kepalaku pada matahari pagi ini dan tersenyum padanya.
Ya,
aku harus percaya pada Leon. Wherever he
is, he will always beside me. Morning, my sun J
No comments:
Post a Comment