Afi
memfokuskan pandangannya lalu
mempercepat langkahnya mengekori anggota The Band yang terburu memasuki waiting
room. Tanpa
banyak berpikir, Afi menerobos maju lalu dengan penuh tenaga meneriakkan
satu-satunya nama yang sedari tadi menghantui pikirannya, “ARIIIII!”. Seketika
suasana hening dan puluhan kepala yang berdesakkan di depannya berbalik ke
arahnya. Afi hanya terdiam dan kehilangan suaranya ketika orang yang
dipanggilnya membalikkan wajahnya dan mengerutkan kening.
Orang
yang dipanggilnya mendekat, Afi bisa merasakan detak jantungnya mulai berpesta
tidak beraturan. Gugup, ia terus menerus memeluk paper bag yang hampir seharian ini bertengger di tangannya yang
basah.
“Sorry,
kita kenal, ya?” tanya Ari tepat ketika ia sampai di depannya. Afi menggigit
bibirnya lalu menggeleng pelan. “Oh gitu, yaudah deh. Gue pikir gue pernah
denger suara lo sebelum ini. Sini...” ujarnya tersenyum sambil meminta paper bag yang ada di tangan Afi. Afi
mendadak merasa tidak memiliki tenaga dan tanpa ba-bi-bu langsung memberikan paper bag yang berada di tangannya. Sesaat setelah mendapatkan paper bag itu, Ari langsung mengeluarkan isinya.
“Robot?”
tanya Ari bingung sambil mengangkat robot Ultraman yang ada di tangannya.
Wajahnya terlihat geli. Afi dengan polosnya tersenyum lebar dan menjawab, “Iya.
Biar kamu lebih kaya cowo mainnya robot, bukan malah main boneka.” Ari terkekeh
dan pada saat itu juga hati Afi meleleh dan senyumnya merekah bahagia. Oh,
Ari... Kehangatan yang Afi rasakan sukses membuatnya tak sadarkan diri. Ia tidak sadar bahwa adegan yang baru saja ia dilakukannya akan siap dilahap ribuan
mata keesokan harinya. Bahkan ia
juga tidak sadar akan perubahan air muka Ari semenjak mengobrol dengannya.
Dya berjalan cepat dari gerbang
sekolah menuju kelasnya di lantai dua, yang ada di pikirannya hanya satu:
segera bertemu Afi dan meminta penjelasan tentang apa yang dilihatnya kemarin
sore di televisi. Dya tidak habis pikir kenapa Afi nekat melakukan hal bodoh
itu, bahkan di hadapan publik. Dya tidak ingin sahabat sejak kecilnya itu salah
mengambil langkah dan akan mendapat aib yang tak terkira malunya dengan berada
di dekat Ari, si vokalis The Band.
“Afi, maksud lo kemarin apaan, sih?!
Jangan melakukan hal bodoh kayak gitu lagi!” Dya langsung mencak-mencak di
hadapan Afi sesampainya ia di kelas. Afi menunjuk wajahnya sendiri dengan
heran. “Emang gue ngapain, Dya?”
Nih anak benar-benar nggak tahu
bahayanya gosip di media massa, ya? Belum sempat Dya membuka mulutnya mengajukan
protes dan semua wejangan yang sudah ia siapkan sejak
malam, seorang guru kimia bertubuh tambun memasuki kelas.
Bel tanda istirahat berbunyi. Dya
yang sudah menanti pelajaran Kimia dan English
segera berakhir langsung menuju bangku Afi. Belum sempat ia buka suara, Afi
sudah menariknya menuju kantin. Lapar,
katanya dengan raut wajah yang aneh. Dya langsung sadar, ini pasti bukan hanya
karena sekedar lapar.
Koridor menuju kantin saat itu penuh
sesak. Mayoritas murid menuju kantin yang sama dengan mereka karena hanya
kantin di sebelah sanalah yang menyajikan menu bervariatif dengan harga yang
terjangkau. Ditambah lagi, Afi berspekulasi kalau Ari pun akan menuju kantin
yang sama. Benar saja, belum sampai di kantin, Afi dan Dya berpapasan dengan
Ari yang berjalan dari arah berlawanan.
Afi
tampak grogi ketika mendapati orang yang paling ditunggu-tunggunya itu muncul
di hadapannya. Tanpa disangka-sangka, Ari melambaikan tangannya ke arah Afi.
Dya memasang muka garang. Namun sebaliknya dengan Afi. Entah apa yang ada
dipikiran Afi, tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya dengan cepat dan “BUK!!!” dahi
mulus Afi sukses mencium tiang sekolah dengan keras. Bahkan bunyinya pun dapat
mengubah ekspresi Dya yang awalnya menakutkan menjadi tercengang. Ari berhasil
dibuat diam seribu bahasa dengan aksinya. Dengan satu tangan menutupi benjol
besar yang tercipta di dahinya, Afi
menarik
tangan Dya untuk berbalik menuju kelas.
“Lo kan tadi nyari-nyariin tuh
orang, kenapa setelah ketemu malah mau kabur gitu? Gini kan hasilnya.” Dya mengompres luka
Afi dengan es batu yang ia dapatkan dari kantin.
“Kan gue grogi, Dya. Apalagi dia
dadah gitu.”
Kedua pipi Afi memerah seketika. Benar-benar wajah orang polos yang sedang
jatuh cinta. Ralat, mungkin itu wajah orang bloon yang terjangkit virus merah
jambu.
Dya mendengus kesal. “Lo itu ya, Fi.
Jangan gampang memberikan hati ke anak band kayak Ari. Playboy tuh orang.” Afi tampak tidak percaya. “Buktinya, lo baru
nyapa dia kemarin, kan? Masa Ari udah berani dadah gitu. Lo itu harus jual mahal
ke cowok, biar nggak diremehin.” Afi hanya mengangguk mengiyakan. Entah ia mengerti atau tidak. Huh,
dasar Afi.
Sementara itu di ruangan lain Ari
tengah melamunkan seseorang. Afifah Triana Wicaksono, ya ia tahu orang itu.
Dipandanginya robot Ultraman berwarna biru pemberian Afi. Ia jadi teringat
wajah Afi ketika menjawab pertanyaannya tentang robot kemarin. Ia tersenyum
pelan. Sebenarnya, ia tahu kamera sedang menyorotnya ketika ia mendekati gadis
itu, tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin sekali saja mengobrol dengan gadis
lugu yang sudah lama ia perhatikan itu. Apapun yang berada pada gadis itu mampu
membuatnya bersemangat. Sambil menyentil kening benda biru di tangannya, Ari
mengangguk pelan dan tersenyum puas. Ya, dia harus melakukan sesuatu. Ari tidak
sabar menunggu hari esok.
Suasana sepulang sekolah selalu
ramai. Dya dan Afi berjalan bersisian menuju gerbang sekolah. Dya bersyukur
karena hari ini ia berhasil menyembunyikan Afi di dalam kelas. Tapi kini ia
kembali merasa was-was. Keberhasilannya sedari pagi itu bukan tidak
memungkinkan bahwa Afi dan Ari akan bertemu saat pulang sekolah.
Langkah Dya dan Afi berhenti. Di
tengah lapangan telah berdiri stage
kecil dan di atasnya berdiri Ari dengan gitarnya. Setelah mata Ari mendapati
Afi yang berdiri tercengang membaca spanduk besar bertuliskan “ARI untuk AFI. Love You, Afifah Triana Wicaksono”, ia
langsung memetik senar-senar gitarnya. Dari mulutnya terdengar alunan indah
lagu Inilah Cintaku-Petra Sihombing. Kerumunan yang terbentuk di sekitar
panggung itu bersorak riuh ketika menyadari si obyek yang dimaksud Ari sudah
berada di TKP.
Dya menyikut lengan Afi pelan
setelah dilihatnya sahabatnya itu hanya mematung mendengarkan suara Ari. “Ingat
pesan gue.” Afi hanya mengangguk tak peduli.
Setelah satu lagu selesai, Ari turun
dari panggung. Ia membelah keramaian dan berjalan menghampiri Afi. Ia
menunjukkan tangan kanannya yang sedari tadi tersembunyi di balik punggung. Ari
mengangsurkan setangkai mawar merah ke hadapan Afi.
“Would
you be my girlfriend?” sorakan anak-anak semakin ramai setelah mendengar
pertanyaan itu keluar dari mulut Ari. Sebaliknya, Dya yang masih berada di
samping Afi tampak jengah dan mencibir tanpa suara.
“Nggak.” jawab Afi spontan. Keriuhan itu
langsung berubah menjadi sepi. Wajah bahagia Ari yang penuh optimistis itu pun
pergi entah kemana.
“Apa?” tanya Ari tak percaya.
Padahal selama ini ia yakin bahwa gadis ini amat sangat tergila-gila pada
dirinya. Ari pun tidak mengerti, mata Afi masih menunjukkan binar-binar bahagia karena persembahan
yang diberikan Ari, tetapi kenapa ia menolak?
“Iya, gue nggak bisa jadi pacar lo
karena gue harus jual mahal,” Dya yang mendengar jawaban Afi langsung menepuk
dahi tak habis pikir. “Lo itu anak band, pasti punya banyak fans. Gue nggak mau
diremehin sama lo.”
lanjut Afi masih dengan enteng.
Ari memandang Afi dengan tatapan
kosong tak mengerti. Baru kali ini ia ditolak cewek dengan alasan yang sangat
tidak masuk akal, yah, ia memang tidak pernah ditolak.
“Tapi, tapi,” Afi kini mulai panik.
“Tapi gue sebenernya juga suka sama lo. Gue pengin banget jadi pacar lo, kok.
Bener. Cuma.... ya itu tadi, Ri.”
Ari menggeleng pelan tak percaya. Kepolosan yang diberikan Afi sungguh sukses
membuatnya heran sekaligus jatuh hati. Sedangkan Afi masih terlihat plin-plan
dengan jawabannya sendiri.
Kerumunan yang tadi sibuk bersorak
riuh kini mulai meninggalkan lapangan dengan sebelumnya menghela napas kesal.
Ternyata ada aja ya cewek cantik yang polosnya kelewat bloon. Dya ikut-ikutan
meninggalkan Ari dan Afi berdua. Dya sudah tidak mau ambil pusing dengan
mencegah Afi agar menjauh dari Ari. Biarlah mereka menyelesaikan urusan mereka
sendiri.
“Jadi, gimana?” tanya Ari bingung.
Afi menggigit bibirnya pelan, “Gue
juga bingung, menurut lo gimana?”
BIODATA
Halo, perkenalkan ini karya kami. Aku Lulu
Nur Afifah dan temanku Hafshah Widya Arini. Kami bisa dihubungi di FB: Lulu Nur Afifah dan Hafshah Widya Arini, twitter:
@Fifah_LNA dan @hafshahwidya
No comments:
Post a Comment