“Yeeee! Congrats
yaa Tia!” ucap Nia ketika aku melewatinya di lorong sekolah.
“Selamat, selamat.” teriak anak-anak kelas XI yang berebut
mengucapkan selamat kepadaku. Semuanya tersenyum penuh ketulusan.
“Tiara, selamat ya. Semoga mulai sekarang kamu jadi tambah
percaya diri.”ucap Dika ketika aku tidak sengaja berpapasan dengannya. Aku
hanya mengangguk
dan tersenyum malu.
Hari ini adalah hari yang luar biasa buatku. Pagi
ini sekolahku melaksanakan upacara seperti biasa dan diakhir upacara namaku
dipanggil untuk mendapat penghargaan dari Bapak kepala sekolah. Minggu lalu aku
mengikuti lomba speech di SMA Tiara Bangsa
dan atas pertolonganNya aku memenangkan perlombaan pertamaku itu. Oleh karena
itu, aku mendapatkan sangat banyak ucapan selamat dari teman-temanku.
Aku memasuki kelas dengan wajah bersemu. Berterimakasih
atas semua yang telah orang-orang ucapkan kepadaku. Aku sungguh sangat
tersanjung hari ini, hal yang sangat jarang buatku. Semoga ini menjadi awal
yang baik untuk satu minggu yang akanmelelahkan ke depan.
“Ra, selamat ya. Kita tau sebenernya kamu emang jago
kok, cuma mungkin selama ini kamu kurang percaya diri aja.” ucap sahabat
baikku, Tika.Aku hanya tersenyum.
“Oh iya Ra, gimana komentar ortu lo?” Tanya Kira
polos. Aku termenung,mama sama papasebenernya udah aku kasih kabar tapi mereka
masih belum komentar apa-apa.
“Gatau juga Ki gimana. Aku belom kasih tahu.”ucapku
berbohong dengan penuh senyum palsu. Kira dan Tika hanya menggeleng.
“Kamu yang sabar, ya Yara. Mungkin emang butuh
waktu.” ucap Tika sambil mengelus tanganku lembut. Lagi-lagi aku hanya bisa
tersenyum.
“Oh
iya Ra, kamu mau pulang sama siapa? Aku pulang barengan Kia nih, mau gabung
ga?” tanya Tika lembut kepadaku. Hampir saja aku mengiyakan jika aku tidak melihat
mobil yang menjemputku sudah ada di tempat parkir.
“Gausah deh Ka, aku pulang sama Pak Beno aja, itu
udah jemput.” jawabku setengah hati.
“Oh yaudah kalo gitu kita duluan ya.” Tika dan Kira
pun berlalu dengan mobil jeepnya. Akhirnya aku sendiri lagi, menghadapi hari
yang entah akan bagaimana. Hmm… Tuhan, kuharap hari ini tidak akan merepotkan.
Sesampainya di rumah aku sudah bisa menebak, pasti
kosong, tidak ada orangsama sekali. Seperti biasa aku langsung masuk ke dalam
kamarku dan memilih untuk mengurung diri di dalam kamar hingga ada orang yang
datang. Aku merasa sangat lelah hari ini, mungkin tidur siang akan cukup
membantu.
“No, it is not
only your choice, it is our choice!”
“Whatever you
say, I just want to leave all this. This all going me crazy.”
“Tapi kamu ga bisa gitu Tiara itu anak kita berdua,
bukan cuma anak kamu aja.”suara mama..
“Tapi aku yang ngasih dia makan dan fasilitas
lainnya.” Suara papa….
“But…………” suaranya
hilang…. Mama… Papa… kemana?
Jam berapa sekarang? Aku langsung melihat jam yang
ada di sebelah kiri tempat tidurku. Oh, sudah jam 6 sore rupanya. Aku yang
masih kebingungan akhirnya memilih untuk bangun dan duduk di kasur. Karena
pusing, aku mencoba untuk meminum air yang ada di meja belajarku. Beberapa saat
kemudian aku baru merasa lumayan.
Mama papakenapa sih setiap hari bertengkar?Mama papa
seharusnya tidak mengalami hal-hal seperti ini. Pasangan kekasih sejak SMA yang
selalu akur tidak mungkin jadi begini. Memang, mama dan papa memiliki budaya
yang berbeda. Papa yang orang Perancis sedangkan mama orang Indonesia. Tapi apayang
sebenarnya jadi masalahnya? Pusing, aku pun mengusap kepalaku pelan. Beberapa
saat kemudian pintuku diketuk oleh seseorang.
“Nona, sudah waktunya makan malam. Sudah ditunggu Nyonya.”
ucap Bi Inah, kepala pembantu di rumah ini.
“Iya, Bi. Aku turun.”jawabku yang langsung berjalan menuju
ke ruang makan.
Sesampainya di ruang makan, aku langsung duduk tepat
di depankursi mama. Aku melihat ke sekitar dan tidak ada ciri-ciri keberadaan
papa. Aku pun menunduk lesu. Terlalu tinggikah mimpiku jika aku berharap kami
bisa makan malam sekeluarga?
“Where is Dad,
Mom?” tanyaku seperti
kebiasaanku sesaat setelah aku duduk di depan mama.
“Going
somewhere. Katanya masih ada kerjaan yang belum selesai, mama juga gatau
kemana. Mama udah ga ngerti lagi sama papamu itu.”jawab mama skeptis. Aku?
Hanya bisa menghela napas berat berkali-kali. Tapi tetap kuusahakan untuk
tersenyum tipis ketika mama melihat ke arahku. Dan tidak lama kemudian, papa
keluar dari kamar dengan pakaian lengkap dan menuju keluar rumah dengan sangat
terburu-buru.
“Adrian…. Where
you will go? Don’t you want to say good bye first to us?” tanya mamaku
ketika sadar aku memerhatikan papa yang hampir lewat begitu saja di hadapanku
tanpa menyapaku sama sekali.
“Oh please
Clara, I don’t have more time for that. I have to go now.”jawab papaku dengan tegas, masih tidak
mengacuhkanku. Mamaku mencoba untuk berbisik pada papaku.
“Tapi Clara, aku sedang terburu-buru!” dan mereka
pun bertengkar dalam bahasa Prancis, bahasa yang tidak ada seorang pun mengerti
di rumah ini. Mereka terus bertengkar tanpa sadar disini ada aku yang terdiam
seperti patung melihat mereka. Dan ketika pertengkaran mulai memuncak, aku
bersaha untuk menghentikannya.
“Daddy please stops
it! It will not working to always fight every time. You both are wasting time
too much.”
“You know
nothing, Tiara. You will never understand what we are talking about, so just
silent and sleep. You are too young to know our problem!”
“Adrian!” teriak mamaku pada papaku dengan tangan
hampir akan menampar papa sedangkan aku menganga tak percaya papaku bisa mengatakan
itu. Tanpa disadari air mataku jatuh ke pipiku, tetes demi tetes. Wajah papaku
yang kaku akhirnya sedikit mengendur. Setelah melihat air mataku, mamaku
langsung mencobauntuk memelukku dan papaku berusaha untuk mengelap air mata
yang mengalir di pipiku. Aku berontak. Aku menangis deras.
“Tiara, sorry
I said that. It is out of my control.” pinta papa sambil mencoba
merangkulku.
“Don’t touch
me……” namun papa dan mama tetap ada diam di tempatnya tanpa merubah posisi
sedikit pun. “DON’T TOUCH ME I said,
don’t you hear that? Don’t touch me, don’t touch me!”
“Tiara, kamu ga boleh ngomong gitu.”
“Mama yang ga boleh ngomong gitu. Mama ga ngerti sama
aku, mama ga kenal aku, bahkan mama sama papa gatau kan kalo aku menang lomba speech yang kuikutin kemaren? Jadi
sebenernya mama sama papa yang ga berhak ngomong gitu ke aku!” dan tepat setelah itu, aku langsung
lari kearah kamarku dengan air mata terus bergulir.
Aku melesakkan seluruh wajahku ke bantal, kubiarkan
bantalku menjadi basah kuyup, aku sudah tidak peduli lagi. Kedua orang tuaku,
orang yang selama ini sangat aku banggakan ternyata bahkan tidak mengenalku,
tidak menganggapku ada. Mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka
masing-masing, tanpa merasa perlu untuk mengurusku. Danaku kesepian lagi,
sendiri memandangi langit malam tanpa bintang. Oh Tuhan… inikah memang jalanku?
Hari pun berlalu begitu cepat. Tak kurasa ini sudah
pagi hari, rupanya semalam aku ketiduran. Tidurku nyenyak tanpa mimpi. Semalam…
hmm bahkan mereka tak mencoba untuk merayuku untuk memaafkan perbuatan mereka.
Sudahlah lebih baik aku bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Aku mendapat
firasat bahwa hari ini akan sedikit menghibur.
Sesampainya di sekolah, baru saja aku memasuki
gerbang tiba-tiba Dika datang dengan tasnya menyapaku.
“Hai, Yara. Kamu kenapa? Mukamu sembab begitu.” ucapnya
bingung. Jantungku tiba-tiba berdetak dengan cepat dan bulu kudukku berdiri,
seketika aku tegang. Ya ampun, masihkah tersisa tangisan semalam yang terlihat
hingga pagi ini? Oh, tidak…
“Aku ga papa ko Dik, cuma kelilipan aja.” jawabku
sekenanya. Aku tidak tahu mau menjawab apa lagi.
“Jawaban klasik, ya hahaha…. Jadi kenapa? Orang tua
lagi?” tanyanya tepat sasaran. Aku yang tidak tahu harus menjawab apa
benar-benar langsung mati kutu. Dika yang sepertinya mengerti langsung meraih
tanganku dan mengusap bahuku pelan sambil berkata,
“You can trust
me then.” Aku yang awalnya
bersikukuh tidak mau memberi tahu akhirnya menyerah juga. Tepat ketika aku
mulai bercerita, air mataku mengalir. Berat rasanya menahan air mata ini untuk
tidak keluar. Pada akhirnya aku menceritakan semua kejadian semalam pada Dika. Air
mataku tumpah ruah tak tertahankan mengalir deras seperti air terjun. Ia
mengenggam tanganku erat dan sesekali mengelusnya jika ia merasa bersimpati.
Setelah selesai bercerita, air mataku mengering. Dika hanya tersenyum penuh
arti sedangkan aku merasa beban berton-ton yang selama ini ada di bahuku telah
diangkat. Aku sangat lega ditambah lagi dengan keberadaan Dika yang menguatkan
dan senyumnya yang menenangkan.
Setibanya di kelas, mataku membesar dan pandanganku
mengabur. Melihat keadaanku yang sangat kacau, Tika dan Kira membawaku ke UKS
untuk beristirahat. Ketika sampai di UKS mereka sempat bertanya “Kamu kenapa,
Yara?” Aku hanya tersenyum dan mereka mengerti apa arti senyuman itu. Mereka
pun menyuruhku untuk beristirahat dan membiarkanku sendiri.Lalu dalam
kesendirian, akupun tertidur dengan mudahnya.
“Yara… banguuunnn. Ayo ini udah jam pulang looh. Kamu
hampir tidur seharian di sini. Ayo bangun!” teriak Tika tepat di depanku yang
sukses membuatku gelagapan ketika bangun. Dan tepat saat aku membuka mata, aku
melihat ada tiga orang di depanku. Tika, Kira dan……… Dika. Ya ampun, kenapa
Dika jadi ikut-ikutan?
“Yara, lo yang kuat yah di masa kritis ini. Jangan
kalah sama keadaan.” ucap Kira tiba-tiba.
“Iya, Ra… kita percaya kok ini jalan yang terbaik
buat kamu. Jangan nyerah dan tetap semangat yaa.” ucap Tika kemudian.
“Kalian tahu dari mana?” tanyaku bingung.
“Aku yang udah kasih tahu mereka. Gak apa-apa kan?”
ucap Dika khawatir seraya mendekati tempat tidurku satu langkah. Wajahku
tiba-tiba memanas dan jantungku berdegup lebih cepat. Tika dan Kira yang tahu
aku pernah menyukai Dika serentak tersenyum penuh arti kepadaku.
“I..iyaa gak apa-apa ko Dik.” jawabku seadanya
sambil memelototi Kira dan Tika. Ya Tuhan… kenapa reaksiku jadi berlebihan
begini? Padahal tadi pagi masih biasa saja.
“Kamu yang tabah ya Tiara. Allah pasti ngasih jalan
terbaik buat kamu. Semangat, ya.” ucap Dika dengan senyum. Senyum tulus yang
menular karena sedetik kemudian aku merasakan sudut-sudut bibirku terangkat.
Waktu sudah menunjukkan jam 3 sore, aku diantar
ketiga sahabatku sampai ke parkiran sampai aku menemukan mobil Pak Beno. Namun,
aku sama sekali tidak menemukan mobil itu. Yang kutemukan sungguh diluar
dugaanku, yaitu mobil papa dengan mama di dalamnya. Aku terpana sesaat, rindu
akan pemandangan ini. Ketiga sahabatku yang tahu bahwa aku dijemput oleh kedua
orang tuaku otomatis langsung pamit pergi dan sebelum pergi, mereka
menyemangatiku dulu satu persatu. Aku hanya bisa tersenyum tipis.
Setelah mereka pergi, aku masuk ke dalam mobil papa.
Beberapa menit awal mobil hening, tidak ada suara sama sekali, hanya helaan
napas yang saling berkejaran saja yang kudengar. Lalu tiba-tiba mama memutar
musik klasik yang dulu sering diputar oleh papa dan mama ketika berpergian
berdua. Di tengah-tengah lagu, mama ikut bernyanyi. Suaranya merdu bagaikan kicauan
burung kenari di pagi hari.Kulihat papa tersenyum tipis dari kaca depan. Mereka
yang awalnya menatap kedepan tiba-tiba saling menatap sesaat tanpa sengaja lalu
tersenyum bersama. Kurasakan percikan cinta yang menyenyat hati di dalam
tatapan mereka. Aku terharu melihatnya lalu langsung memalingkan wajah.
Aku masih belum tahu kemana aku akan dibawa pergi
oleh kedua orang tuaku. Mereka masih belum bicara kepadaku. Dan tiba-tiba di
hampir akhir perjalanan mama bicara kepadaku,
“Kamu ingat Pantai Pangandaran, kan? Kita akan
melepaskan penat kita sejenak disana.” ucap mama santai penuh senyum kepadaku.
Aku terbelalak tak percaya. Mungkinkah ini suatu awal yang baru untuk keluarga
kami?
“Tapi, mah, aku ga nyiapin apa-apa buat kesana.” kataku
kegirangan.
“We have
already save it for you, babe. Don’t worry, just enjoy every time we have there.
Oke?” ucap mama sambil mengelus kepalaku tiba-tiba. Sengatan listrik kasih
sayang pun mengalir dari kepala yang mama sentuh ke seluruh tubuhku. “Thanks mom.”
“Say it to
your dad too. This is his idea.” ucap mama sambil memicingkan mata kearah
papa. “Thanks, dad. It is amazing!”
ucapku lalu tersenyum kearah kaca, dimana papa melihat senyumku dari situ.
Sesampainya di Pangandaran, kami check in ke salah satu hotel lalu beristirahat.
Keesokan harinya kami langsung pergi ke pantai. Awalnya suasana canggung, namun
berubah ketika papa mulai membuka pembicaraan kepadaku dan mama,
“Why the
situation is like these guys? We are in a holiday! Let have fun!”
“What we will do
to make it fun, Dad?” tanyaku.
“How about volley
beach with clothes and jeans?” usul mamaku.
Aku tersenyum, “Okedeh.” dan kami pun mulai untuk
bermain volley beach. A special volley beach
family.
Malam menjelang, kami sedang duduk-duduk di pasir
pantai sambil menunggu matahari terbenam. Suasana khidmat dan tenang. Semenjak
tadi pagi, kami jadi akrab lagi, hening sekarang sudah berbeda dengan hening di
hari kemarin. Benar-benar mimpi yang jadi kenyataan. Sesuatu hal yang sangat
mengejutkan dari kedua orang tuaku. Hal yang tidak akan pernah kulupakan, salah
satu momen terpenting dalam hidupku
“Tiara…. Are
you happy?” tanya mamaku tiba-tiba.
“Sure, mom. Ini
hal terindah yang pernah kita lakuin sebagai keluarga.” jawabku jujur. Mamaku
tersenyum tipis, sangat tipis sehingga aku merasa itu bukanlah sebuah senyuman,
melainkan suatu ejekan.
“We have
something to told, Tiara. An important thing.” Lanjut mamaku sambil melihat
matahari yang mulaimenyelami lautan.
“Apa, ma?” tanyaku sambil menoleh pada mamaku namun
mamaku malah menoleh pada papaku dan berkata “Tell her.” Papaku pun mengangguk lalu ia menghembuskan napasnya
sebelum berbicara padaku.
“We will get
divorce, Tiara, soon.” ucapnya tanpa emosi. Suaranya hambar, namun matanya
meluapkan banyak emosi dan kenangan yang menyakitkan.
“What? Why?”
tanyaku sambil berusaha untuk tidak marah.
“Kita rasa, kita udah engga cocok lagi, sayang. Gak
ada lagi yang bisa kita pertahanin bersama. We
are ends dan kita udah memutuskan.” ucap mama lembut sambil meraih
tanganku, takut-takut aku kabur lagi.
“Tapi kalian kan punya aku. Kenapa kalian ga nyoba
buat mertahanin aku aja sih? Padahal kan kalian udah saling cocok dari lama,
kenapa waktu udah bersama malah harus pisah? Kita kan bisa bangun semuanya dari
awal lagi, Tiara mau bantu kok. Kenapa harus cerai? Kena…” tanyaku tapi
dipotong oleh suara papa yang tegas dan dalam.
“Tiara sayang, pernikahan bukanlah suatu hal yang
mudah untuk dijalankan. Banyak sekali permasalahan yang ada di dalamnya. Dalam
pernikahan kita memiliki banyak tanggung jawab yang harusditunaikan dan papa
sadar, papa lalai dan sudah tidak sanggup lagi untuk memenuhi tanggung jawab
tersebut.Nanti, jika kita sudah bercerai, kamu akan tinggal bersama mama.” ucap
papa dalam, aku meresapinya sambil diam-diam meneteskan air mata.
“But I love
you both. Aku sama sekali gabisa bayangin hidup pisah sama mama ataupun
papa. Aku gamau nanti salah satu dari kalian bakal lupa sama aku.”ucapku yang
sudah memeluk papa erat sambil membanjiri kaosnya dengan tangisku.
“Nothing will
change, trust me. I will always loving you everytime and you will always be my
angel, Tiara. Alasan lainnya
adalah karena papa dipindahkerjakan ke Prancis, tempat kelahiran papa. Papa
tahu kalian akan sungkan jika diajak kesana, apalagi mamamu sangat menyukai
pekerjaannya disini. Kami terlalu work
holic, terlalu kuat berdiri sendiri sehingga rasa saling membutuhkan
semakin lama semakin terkikis diantara kami. Kami tidak ingin memperpanjang
penderitaanmu dengan teriakan-teriakan kami lagi. Kami ingin kamu hidup bahagia.”
Aku hanya menghela napas, papa lalu menjelaskan.
“Tolong berikan kami waktu untuk saling berpikir,
biarkan kami merasakan bagaimana rasanya kehilangan, biarkan kami melepas kini
daripada mempertahankan lalu menyesal kemudian. Jika kami memang berjodoh,
kelak kami akan saling jatuh cinta kembali.” ucap papa lagi, aku hanya
mengangguk-ngangguk mengiyakan. Tidak kudengar suara mama sejak tadi dan ketika
kulihat mama, ia sedang menagis juga sepertiku tapi dalam versi yang lebih
anggun. Mama duduk tegak, melihat matahari terbenam sambil bercucuran air mata,
menangis tidak bersuara. Papa pun akhirnya merangkul mama dan memeluk kami
bersama.
Hari ini adalah hari keberangkatan papa ke Prancis. Papa
dan mama sudah bercerai dan seperti yang direncanakan, hak asuh jatuh pada
tangan mama dan aku tetap tinggal bersama mama di Indonesia. Papa akan selalu
menghubungiku setiap hari dan kami akan sering-sering ber-videocalling. Sekarang kami bertiga ada di bandara, melepas
kepergian papa ke tanah kelahirannya. Aku mencoba untuk berdiri tegak dan tidak
menangis. Aku tidak ingin memberikan kesan buruk disaat-saat terakhir papa
disini. Ketika pesawat keberangkatan papa sudah terdengar diumumkan untuk
berangkat, papa sedang menatap mataku dalam.
“Tiara, kalau nanti ada lelaki yang benar-benar
mencintaimu dan kamu juga cinta padanya, kamu jangan terlalu mencintainya
hingga memberikan hidup dan matimu padanya. Biarkan Tuhan yang menunjukkan
jalannya padamu, oke?” ucap papa lalu mencium puncak kepalaku lembut dan
memelukku erat tepat ketika aku mengangguk. Setelah puas memelukku, papa
beralih kepada mama. Meskipun mereka sudah bercerai, aku masih tetap bisa
merasakan cinta yang besar diantara mereka. Papa menatap dalam ke mata mama, menguraikan
belit-belit cinta diantara mereka. Tangan papa menggenggam tangan mama dan mama
balas menggenggamnya. Mata mereka menceritakan kenangan kisah kasih antara
mereka di masa lalu. Tangan mereka saling meremas, semakin lama semakin erat
dan puncaknya papa mencium kening mama sangat lama. Mama memejamkan mata
meresapi setiap detik terakhir yang mereka miliki. Selama sesaat kulihat
keinginan mereka yang besar untuk kembali, namun tiba-tiba papa langsung melepaskan
dirinya dari mama, menarik diri dari kenangan masa lalu mereka.
No comments:
Post a Comment