Debu
dan asap hasil pembakaran kendaraan bertebaran dimana-mana. Angin sepoi-sepoi
yang seharusnya menyejukkan malah menyesakkan dada. Kupercepat tanganku untuk
mencari benda itu, benda yang dapat menyelamatkanku dari kesesakkan ini dan
dengan cepat menggunakannya sehingga menutupi sebagian wajahku.
Aku
berjalan dengan mantap memasuki pintu bangunan ini, dengan cepat menuju bagian
belakang dan menunggu keretaku. Puluhan orang berdesak-desakan membawa box-box
dan tas besar mereka. Beberapa berebut tempat duduk yang sudah penuh. Tak hanya
pemandangan itu, teriakan penjual asongan sayup-sayup juga menyapa telingaku,
“Air pak!” “Gorengannya bu.” “Yak risolnya-risolnya-risolnya cuma 2000.”
Pemandangan yang begitu padat dan menyesakkan. Aku memang sudah terbiasa kesini
setiap hari libur menyapa, untuk kembali ke kampung halamanku, akan tetapi ini
pertama kalinya aku melihat pemandangan sepadat ini.
Tiba-tiba
seseorang menarik bagian bawah bajuku, aku menoleh. Pandangan tegasku seketika melembut,
“Kak, tisunya satu kak, cuma 3000.” ujar anak kecil didepanku pelan. Rambutnya
keriting, bajunya lusuh, tingginya sekitar pinggulku, ia menggendong sebuah
keranjang yang lebih besar dari lebar tubuhnya yang berisi tisu. Beberapa kali
ia terbatuk.
Angin
sepoi-sepoi memainkan rambut ikal anak itu yang membuatnya sesekali menggaruk
kepala. Aku menunduk untuk mendekat padanya, “Mau tisunya, kak?” tanyanya,
ketika mendekat kusadari bibirnya pucat pasi. Mataku dengan cepat melirik pada
tisu dikeranjangnya dan mengangguk mantap.
“Mau
berapa kak?” tanyanya tanpa ekspresi apapun yang kuartikan sebagai ekspresi
lelahnya. Matanya yang bening dan polos menatapku, menancapkan sebuah pisau ke
ulu hatiku, anak sekecil ini…
“Adek
namanya siapa?” tanyaku mengalihkan pertanyaan anak polos ini.
“Dian,
kak.” jawabnya singkat.
“Sekolah
nggak? Kelas berapa?” tanyaku lagi.
Tiba-tiba
Dian tersenyum dan bersemangat, “Sekarang aku masih belum sekolah, kak. Tapi
kata mama tahun depan aku boleh masuk SD.” Ia terbatuk lagi ditengah antusiasme
dan senyumnya yang tiba-tiba membuat mataku panas.
“Dian
pengen banget sekolah, ya? Kenapa?” tanyaku penasaran dengan keantusiasannya.
“Iya
kak, soalnya kalo sekolah banyak temen, terus pake baju bagus. Makanya Dian
bantu mama cari uang biar bisa sekolah tahun depan.” ujarnya penuh energi yang
kutaktahu ia dapatkan darimana. Wajahnya yang sedikit pucat, rambutnya yang
lucu dan senyumannya yang manis membuat Dian terlihat energik di sore yang
sesak ini.
“Oia,
kakak jadinya mau beli berapa tisu?” tanyanya. Tanganku dengan cepat membentuk
angka sepuluh, dengan cerdik iapun memisahkan satu tisu untuk satu jariku,
maklum ia belum bisa berhitung, dan setelah ia selesai memisahkan sepuluh tisu,
matanya membelalak, “Sebanyak ini kak?”tanyanya. Aku mengangguk cepat.
“Yeaaay!!!!!” teriaknya spontan yang berhasil membuatku ikut bersemangat.
Ia
memasukkan kesepuluh tisu itu kedalam keresek lalu memberikannya padaku,
terlihat wajahnya yang lega karena berat keranjang yang dibawanya sudah banyak
berkurang. Aku mengambil keresek itu dari tangannya, “Dian, ini uang buat bayar
tisunya,” ujarku sambil memberikan 30 ribu ketangannya. “Dan ini uang buat Dian
sekolah.” bisikku sambil menyelipkan uang kedalam tas kecil yang dibawanya,
kepalanya yang mungil mengikuti pergerakan tanganku. “Dan ini….” ujarku sambil
mengeluarkan sebuah roti dan lima butir permen dari dalam tas dan memberikannya
pada Dian. Wajahnya biasa saja saat melihat roti tapi langsung berbinar ketika
melihat permen. Ia mengambil permen-permen itu dengan semangat dari tanganku
tanpa sedikitpun menyentuh rotinya.
“Loh,
nggak mau rotinya?”
“Dian
diajarin buat nggak jadi peminta-minta sama mama.” jawabnya murung, seketika
aku bingung, lalu kenapa ia menerima uang dan permenku dengan polos sebelumnya?
“Aku
suka liat bapak-bapak dipinggir jalan dikasih roti.” tambahnya, spontan aku
tersenyum. Jawabannya yang lugu menunjukkan betapa polosnya ia, betapa tidak
mengertinya ia dengan hidup yang ia jalani, dan betapa kejamnya dunia pada anak
sekecil Dian. Tanpa sadar aku memeluknya. Sambil memeluknya, aku berbisik,
“Kalo kamu nggak mau dianggap sebagai peminta-minta, kamu beli rotinya dari
kakak aja gimana?” Dian langsung melepaskan pelukanku, “Aku kan nggak punya
uang kak.”
“Nggak
usah pake uang, kok.” jawabku, “Pake apa kak?” tanyanya polos sambil menegakkan
kepalanya untuk menatapku. Mata polosnya menusuk mataku dan membuatku
mati-matian menahan cairan yang mendesak mataku, “Senyum.” Secepat kilat, ia
mengangguk dan tersenyum kepadaku. Kuselipkan roti itu diantara tumpukan
tisunya.
Tiba-tiba
Dian menolehkan kepalanya dariku, beberapa meter disebelah kananku, berkumpul
segerombol anak kecil lain yang membawa keranjang yang sama seperti Dian, beberapa
diantara mereka memanggil Dian dengan lantang dan menyuruhnya untuk bergegas.
Sebelum pergi, aku memegang tangan kecil Dian, “Dian…. Jangan lupa rotinya
dimakan, ya. Jangan suka main jauh-jauh dari mama, sama kalo nanti udah sekolah
yang rajin belajarnya ya.” Dian hanya mengangguk dan dengan tiba-tiba ia
mencium pipiku, “Makasih kakak baik.” ujarnya sebelum ia berlari kearah
teman-temannya dengan ceria tanpa sekalipun menoleh padaku lagi.
Selagi
Dian berlarian dengan temannya, aku ditinggal sendiri disini, terdiam membisu.
Aku hanya bisa menatap punggung-punggung itu menjauh dengan kaki-kaki kecilnya.
Dihari yang penuh sesak dengan segala kepadatan yang ada, mereka masih bisa
berlari, berjuang mencari uang, demi menggapai impian kecil mereka, bersekolah.
Air mata yang sedari tadi kutahan menetes, Ya
Tuhan, maka nikmat dari-Mu yang mana lagikah yang aku dustakan?