Aku merasa bebas denganmu
Ringan… Nyaman…. Aman…
Tak tahu mengapa….
Jika bersamamu, aku tidak takut lagi
Jika bersamamu, aku bahkan tidak malu
Jika bersamamu, apapun yang ada dalam fikirku
hilang
Melayang bebas dalam anganku
Terbang…. Entah kemana…
Hanya karena ada kamu
Kulirik lagi
bait demi bait puisi karyaku. Dadaku bergemuruh. Yakinkah aku akan mengirimu
puisi ini? Ah, bukan puisi saja, melainkan seluruh isi suratnya. Aku ragu, Aku
takut. Tapi, jika aku tidak mengirimkannya padamu, aku yakin aku sudah tidak
bisa membendung perasaanku lagi padamu. Aaaaaaahh, kamu memang hobi membuatku
frustasi, Kai.
Aku bergerak
gusar sambil menggeser gitar yang menutupi sebagian kasurku. Aku menatap
langit-langitnya dalam diam. Aku melamun. Ah, bahkan dalam lamunanku saja ada
kamu. Aku ini memang sudah benar-benar gila.
“I’m a Barbie girl. In a Barbie world…..”
nada dering ponselku berbunyi. Aku menggapainya cepat dan segera mengangkat
teleponnya.
“Ya, halo?”
sapaku pada seseorang entah siapa di seberang sana yang meneleponku, nomornya
di-private.
“Kar, lo ada di
rumah?” Tanya orang itu sendu.
Aku
mengerjapkan mataku beberapa kali, “Anya?” tanyaku. Orang yang meneleponku
hanya berdeham. Ya, berarti itu memang Anya. Untuk apa Anya menelepon? Tumben
sekali, biasanya dia akan langsung datang ke rumahku tiba-tiba tanpa menelepon.
“Kar? Karin?”
panggilnya lagi.
“Ya? Iya aku
lagi di ruman An. Kenapa?” tanyaku bingung.
“Gue kesana
yaaa.” ucapnya, tiba-tiba sambungan terputus. Aku mematung. Ada apasih sama
Anya? Aneh banget deh.
Aku langsung
mengganti bajuku sambil membereskan kamarku. Anya pasti akan langsung masuk ke
kamarku tanpa diminta. Biasanya dia begitu.
Setengah jam
kemudian seseorang membuka pintu kamarku. Anya. Rambut ikalnya menjuntai
sebahu. Kakinya yang jenjang terlihat sangat cantik dengan dress selututnya. Anya memang selalu menawan. Tapi tidak sekarang.
Matanya sembab dan basah. Anya berlari ke arahku dan langsung memelukku erat.
“Andi, Kar.
Andi.” Bisiknya tepat di telingaku. Andi adalah pacar Anya sekarang. Ada apa
dengan Andi?
“Andi kenapa
An?” tanyaku sambil mengelus-elus pundaknya.
“Dia tahu kalau
selama ini gue suka Ryan.” Jawabnya. Aku termenung. Berdeham. Sepertinya,
memang sudah hukum alam bahwa bangkai yang dikubur dalam-dalam akan tercium
juga baunya. Bahkan bangkai yang sangat Anya tata agar tidak ketahuan pun
akhirnya terungkap juga.
Anya sudah lama
menyukai Ryan. Tapi tidak pernah mengungkapkannya karena Anya pikir Ryan
terlalu cuek padanya. Meskipun begitu Anya menyukainya bahkan dari sebelum Anya
berpacaran dengan Andi. Namun, saat Andi yang datang pada Anya, Anya tidak bisa
menolak. Ia terlalu baik hati. Akhirnya ia mengikhlaskan Ryan dan memilih untuk
berpacaran dengan Andi. Andi jelas sangat senang. Tapi sekarang ketika Andi
tahu kenyataannya, aku yakin ia tidak akan sebahagia biasanya.
“Terus, Andi
sekarang gimana?” tanyaku.
Anya terbatuk
sebentar sebelum menjawab. “Akhirnya dia minta putus.” Jawabnya. Aku mengangguk
mengerti. Memang sudah seharusnya begitu, daripada Anya terus menerus
membohonginya. “Tapi, Kar, bukannya lega, gue malah sedih dan ngerasa
kehilangan.” Tambahnya.
“Wajarlah An.
Kan biasanya kamu kontakan terus sama dia. Kamu setahun loh sama dia, jadi
wajar kalo tiba-tiba ngerasa kehilangan kaya gini.” Ujarku sambil mengelus
puncak kepalanya. Anya tetap tersedu.
Anya akhirnya
bercerita tentang duduk permasalahannya hingga Andi tahu. Aku dengan setia
mendengarkannya baik-baik. Lagipula aku bisa bernasihat apa? Pacaran saja tidak
pernah. Aku hanya hobi menjadi seorang secret
admirer.
Selama bersama
Andi, Anya selalu bilang bahwa ia hanya mencoba untuk menghargai perasaan Andi
terhadapnya. Ia penganut quote “Lebih
baik bersama orang yang mencintai kita dari pada bersama orang yang kita
cintai.” Maka dari itu ia menerima Andi untuk menjadi pacarnya. Ia selalu
bilang bahwa ia menyayangi Andi layaknya seorang adik menyayangi kakaknya.
Meskipun ia tidak pernah mengatakannya pada Andi.
Tapi
lama-kelamaan, semakin sering Anya bercerita tentang Andi, aku semakin melihat
suatu perbedaan. Anya tidak pernah sadar bahwa matanya tidak bisa berbohong.
Setiap Anya bercerita tentang Andi sebagai kakaknya, aku selalu melihat hal
yang berbeda di matanya. Bukan tatapan kagum yang Anya berikan untuk Andi.
Melainkan tatapan memuja.
Setelah melihat
yang terjadi pada Anya dan mendengar penuturan Anya tentang Andi hari ini, aku
semakin yakin dengan perkiraanku selama ini. Anya memiliki gejala yang sama
denganku. Gejala sama dengan yang kurasakan terhadap Kai. Anya jatuh cinta pada
Andi.
Mungkin, karena
itulah ia menyesal. Menyesal karena telah membohongi Andi juga karena pada
akhirnya ia jatuh cinta juga pada lelaki itu. Mungkin, karena itu juga ia
sekarang sangat rindu pada Andi. Mungkin, karena itu pulalah sekarang ia menangis.
Bukan karena Ryan. Melainkan karena Andi.
“Jadi, sekarang
kamu mau gimana nih An? Mau lepasin dia atau minta maaf sama dia dan jujur sama
perasaan kamu ke dia?” tanyaku setelah tangis Anya reda. Anya hanya terdiam dan
menghela napas.
“Gue bingung ya
Kar. Terlebih gue takut Andi gamau maafin gue.” Jawabnya.
Aku tersenyum,
“Kalo gitu, kamu mau jadi secret admirer juga kaya aku?” tanyaku jahil sambil
mengedipkan mata. Anya langsung menggeleng.
“Ya gak maulah,
lo kan ga punya nyali, makanya jadi secret admirer gitu.” Sanggahnya.
Aku langsung tertawa dan meledeknya, “Jadi kamu punya nyali buat ngomong
langsung?” Anya langsung sadar akan dampak dari ucapannya barusan. Aku
lagi-lagi tertawa melihat wajah cemas Anya.
“Gue harus
gimana dong Kar menurut lo?” tanyanya.
“Menurutku?
Yang ga punya pengalaman pacaran sekalipun?” ujarku pura-pura kaget. Anya
menimpukku dengan bantal.
“Yaiyalah, masa
menurut boneka-boneka lo sih?” ujar Anya cemberut.
Aku menjawil
pipinya sambil menjawab, “Kamu jujur ajalah An sama dia. Toh baru kemarin juga
kejadiannya. Gamungkin dalem sehari dia langsung lupain kamu. Siapa tau dia
ngarepin kamu minta maaf kan. Gausah gengsi-gengsian dulu deh An sekarang.”
Anya menatap
mataku yang bulat sambil bergumam, “Apa gitu aja ya? Gue minta maaf ke rumahnya
langsung atau telepon aja?”
“Apapun yang
terjadi secara langsung itu selalu lebih enak dan jelas, An.” Bisik gue. Anya
melirikku lalu tersenyum.
“Okedeh, gue
langsung ke rumahnya aja kali ya. Ah! Berarti gue harus bawa sesuatu buat Tante
Rini, siapa tahu ketemu.” Ujarnya dengan mata berbinar. Aku tersenyum, Tante
Rini adalah mamanya Andi. Yah, Anya memang mudah memikat hati para orangtua
juga sebenarnya.
Tiba-tiba saja
Anya langsung meloncat dari kasurku. “Kalo gitu gue pulang dulu ya Kar, gue mau
beli bingkisan dulu baru minta maaf sama Andi.” Aku membelalakkan mataku kaget.
Hari ini juga?
“Sekarang juga,
An?” tanyaku. Anya langsung mengangguk semangat, “Gue gamau masalah ini jadi
ribet dulu. Thanks banget yaaa Karin sayaang buat masukannya. Niat gue
sekarang bulet buat minta maaf sama Andi. Kedepannya yah gimana nanti aja.”
Jawabnya sambil tersenyum. Senyum yang selalu menulariku.
“Yaudah,
sukses, ya. Sana pergi husss!” usirku. Anya tertawa. Tapi tiba-tiba mata Anya
jadi serius dan ia mendekatiku.
“Kar.”
Panggilnya. Aku hanya mengagkat alis menanggapinya. “Kuatin tekad lo juga ya
Kar.” Ujarnya lalu berhenti. Aku bingung. Tekad buat apa? Aku diam menunggu
lanjutan kata-katanya yang menggantung.
“Sebagai
sahabat, gue pengen lo juga bahagia. Kejar orang yang lo suka Kar. Minimal lo
kasihlah diri lo sendiri kesempatan buat ngungkapin perasaan lo. Gue ga pengen
lo harus menyesal dulu kaya gue, Kar.” Ujarnya. Mataku membelalak kaget. Tidak
biasanya Anya berbicara seperti ini.
“Jujur sama
perasaan lo sendiri Kar. Dan jujurlah sama Kai tentang perasaan lo buat dia
selama ini. Apapun hasilnya, at least lo mencoba. Raih cintamu, Kar!”
Aku terbatuk. Anya menepuk pundakku berkali-kali sebelum pamit dan memelukku.
Sungguh aku
tidak percaya Anya mengatakan hal yang selama bertahun-tahun ini kubuang
jauh-jauh. Anya memintaku untuk berani. Berani merasakan apa yang kurasakan dan
berani mengungkapkan yang kurasakan.
Jujur, aku
senang. Itu artinya ada seseorang yang akan siap menerimaku jika aku gagal.
Namun itu membuatku khawatir juga. Bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika aku
hanya dianggap kampungan? Sial.
Aku merebahkan
badanku dan memeluk boneka beruangku sambil melamun. Hei, aku benar-benar jatuh
cinta sepertinya karena beberapa detik yang lalu aku rasa aku mendengar suara
Kai memanggilku. “Karin… Karin…” panggilnya terus menerus. Aku bergeming. Ini
mimpi? Tapi semakin lama suaranya semakin jelas di telingaku. Penasaran, aku
meloncat dari kasur dan mengintip lewat jendela kamarku. Bola mataku membesar.
Ya, itu Kai.
Dia ada disini. Oh Tuhan, apa yang harus kulakukan? Spontan aku langsung
berkaca di depan cermin dan merapihkan penampilanku. Haruskah aku menemuinya?
Aku menepuk kepalaku. Yaiyalah, jika tidak aku, siapa lagi? Papa? Oh, jangan…
Aku bergegas
keluar kamar. Beberapa saat kemudian aku kembali. Terngiang kata-kata Anya
padaku, “Raih cintamu!” Ya, aku tidak ingin menyesal dulu seperti Anya baru
bisa meraih kebahagiaanku. Aku memang harus mengungkapkan perasaanku, cepat
atau lambat.
Akhirnya
kutarik sebuah amplop merah dari bawah bantalku. Melihatnya untuk yang terakhir
kalinya, dan berlari sekuat tenaga kebawah.
“Hai, Kai.”
Sapaku sambil mengatur napasku yang berkejaran. Kai mengerutkan keningnya
heran.
“Habis ngapain,
sih?” Tanyanya. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Dia hanya mengangkat alisnya
ketika aku tidak menjawabnya. Dia tidak menodongku dengan banyak pertanyaan
seperti biasanya. Aku bersyukur. Sesaat, suasana diantara aku dan Kai canggung.
“Oiya, mau
ngapain kesini Kai?” tanyaku basa basi.
“Gapapa, pengen
ketemu aja. Asalnya sih pengen ngajak main sepeda bareng, tapi karena kamu
kayanya lagi kecapean, gajadi deh.” Kini aku yang mengangkat alisku. Dia mau
apa katanya? Aku sampai tidak percaya pada pendengaranku.
Sejenak suasana
diantara aku dan Kai kembali hening, padahal biasanya Kai tidak suka
keheningan. Ia pasti akan memecah keheningan demi keheningan dengan
keunikannya. Aku jadi merasa canggung.
“Oiya…” ujarku
dan Kai bersamaan. Sontak aku dan Kai tertawa karenanya. Bisa-bisanya kami
janjian berbicara bersama seperti itu.
“Mau ngomong
apa, Kar?” Tanyanya. Aku langsung terdiam. Oh iya. Inikah saatnya aku
memberikannya suratku? Ya Tuhan…. Hm… baiklah, cepat atau lambat ini pasti
terjadi.
Aku menyibak
rambutku dengan gugup, lalu mengambil surat itu dari dalam saku jaketku.
Sesaat, Kai terlihat bingung dengan tingkahku. Aku mengangsurkan surat itu ke
tangan Kai. Kai masih terdiam. “Buat kamu.” Ujarku.
Ia baru
mengambilnya. Ia mengerutkan keningnya, lalu bertanya, “Boleh baca?” Aku
tersenyum mengiyakan. Tiba-tiba aku terkesiap, ternyata maksud Kai adalah
membacanya sekarang. Ya ampun, aku harus memasang wajah bagaimana?
Ketika Kai
membaca suratku, aku memerhatikannya dengan ujung mataku. Ia terdiam membisu
dengan mata tertancap pada kertas biruku. Sebelum satu jawabanpun keluar dari
mulutnya, aku ingin sekali melihat wajahnya. Kesempatan ini kumanfaatkan sebaik
mungkin untuk melihat setiap inci wajah tegas Kai yang kusukai.
Jantungku
berdegup sangat kencang. Seperti hendak keluar jika saja rasanya. Kai tidak
pernah seserius ini membaca sesuatu sebelumnya. Aku terpaku. Aku takut.
Meskipun seharusnya aku sudah siap dengan apapun respon yang akan Kai berikan
padaku, tetap saja perutku bergolak dengan cepat. Dadaku bergemuruh hingga
tiba-tiba aku ingin sekali menyumbat telingaku agar aku tidak mendengar hal-hal
aneh dalam tubuhku.
Beberapa menit
berlalu hingga Kai akhirnya mengangkat kepalanya. Ia menatapku tajam. Aku
hampir merosot. Seharusnya aku sudah tahu jawabannya tanpa memberikan suratku.
Ya Tuhan, apakah aku baru saja mempermalukan diriku sendiri didepan orang yang
kusukai?
Kai masih
menatapku dengan tajam, tanpa mengalihkan pandangannya sekalipun dariku. Aku
hampir saja berniat untuk kabur ketika pada akhirnya matanya melembut dan ia
tersenyum. Ia mengangsurkan sepucuk surat juga padaku. Aku membukanya. Hanya
ada satu kalimat disana.
“I love you.” Aku menghembuskan napas bahagia.