Friday, September 25, 2015

Dian

 Debu dan asap hasil pembakaran kendaraan bertebaran dimana-mana. Angin sepoi-sepoi yang seharusnya menyejukkan malah menyesakkan dada. Kupercepat tanganku untuk mencari benda itu, benda yang dapat menyelamatkanku dari kesesakkan ini dan dengan cepat menggunakannya sehingga menutupi sebagian wajahku.
Aku berjalan dengan mantap memasuki pintu bangunan ini, dengan cepat menuju bagian belakang dan menunggu keretaku. Puluhan orang berdesak-desakan membawa box-box dan tas besar mereka. Beberapa berebut tempat duduk yang sudah penuh. Tak hanya pemandangan itu, teriakan penjual asongan sayup-sayup juga menyapa telingaku, “Air pak!” “Gorengannya bu.” “Yak risolnya-risolnya-risolnya cuma 2000.” Pemandangan yang begitu padat dan menyesakkan. Aku memang sudah terbiasa kesini setiap hari libur menyapa, untuk kembali ke kampung halamanku, akan tetapi ini pertama kalinya aku melihat pemandangan sepadat ini.
Tiba-tiba seseorang menarik bagian bawah bajuku, aku menoleh. Pandangan tegasku seketika melembut, “Kak, tisunya satu kak, cuma 3000.” ujar anak kecil didepanku pelan. Rambutnya keriting, bajunya lusuh, tingginya sekitar pinggulku, ia menggendong sebuah keranjang yang lebih besar dari lebar tubuhnya yang berisi tisu. Beberapa kali ia terbatuk.
Angin sepoi-sepoi memainkan rambut ikal anak itu yang membuatnya sesekali menggaruk kepala. Aku menunduk untuk mendekat padanya, “Mau tisunya, kak?” tanyanya, ketika mendekat kusadari bibirnya pucat pasi. Mataku dengan cepat melirik pada tisu dikeranjangnya dan mengangguk mantap.
“Mau berapa kak?” tanyanya tanpa ekspresi apapun yang kuartikan sebagai ekspresi lelahnya. Matanya yang bening dan polos menatapku, menancapkan sebuah pisau ke ulu hatiku, anak sekecil ini…
“Adek namanya siapa?” tanyaku mengalihkan pertanyaan anak polos ini.
“Dian, kak.” jawabnya singkat.
“Sekolah nggak? Kelas berapa?” tanyaku lagi.
Tiba-tiba Dian tersenyum dan bersemangat, “Sekarang aku masih belum sekolah, kak. Tapi kata mama tahun depan aku boleh masuk SD.” Ia terbatuk lagi ditengah antusiasme dan senyumnya yang tiba-tiba membuat mataku panas.
“Dian pengen banget sekolah, ya? Kenapa?” tanyaku penasaran dengan keantusiasannya.
“Iya kak, soalnya kalo sekolah banyak temen, terus pake baju bagus. Makanya Dian bantu mama cari uang biar bisa sekolah tahun depan.” ujarnya penuh energi yang kutaktahu ia dapatkan darimana. Wajahnya yang sedikit pucat, rambutnya yang lucu dan senyumannya yang manis membuat Dian terlihat energik di sore yang sesak ini.
“Oia, kakak jadinya mau beli berapa tisu?” tanyanya. Tanganku dengan cepat membentuk angka sepuluh, dengan cerdik iapun memisahkan satu tisu untuk satu jariku, maklum ia belum bisa berhitung, dan setelah ia selesai memisahkan sepuluh tisu, matanya membelalak, “Sebanyak ini kak?”tanyanya. Aku mengangguk cepat. “Yeaaay!!!!!” teriaknya spontan yang berhasil membuatku ikut bersemangat.
Ia memasukkan kesepuluh tisu itu kedalam keresek lalu memberikannya padaku, terlihat wajahnya yang lega karena berat keranjang yang dibawanya sudah banyak berkurang. Aku mengambil keresek itu dari tangannya, “Dian, ini uang buat bayar tisunya,” ujarku sambil memberikan 30 ribu ketangannya. “Dan ini uang buat Dian sekolah.” bisikku sambil menyelipkan uang kedalam tas kecil yang dibawanya, kepalanya yang mungil mengikuti pergerakan tanganku. “Dan ini….” ujarku sambil mengeluarkan sebuah roti dan lima butir permen dari dalam tas dan memberikannya pada Dian. Wajahnya biasa saja saat melihat roti tapi langsung berbinar ketika melihat permen. Ia mengambil permen-permen itu dengan semangat dari tanganku tanpa sedikitpun menyentuh rotinya.
“Loh, nggak mau rotinya?”
“Dian diajarin buat nggak jadi peminta-minta sama mama.” jawabnya murung, seketika aku bingung, lalu kenapa ia menerima uang dan permenku dengan polos sebelumnya?
“Aku suka liat bapak-bapak dipinggir jalan dikasih roti.” tambahnya, spontan aku tersenyum. Jawabannya yang lugu menunjukkan betapa polosnya ia, betapa tidak mengertinya ia dengan hidup yang ia jalani, dan betapa kejamnya dunia pada anak sekecil Dian. Tanpa sadar aku memeluknya. Sambil memeluknya, aku berbisik, “Kalo kamu nggak mau dianggap sebagai peminta-minta, kamu beli rotinya dari kakak aja gimana?” Dian langsung melepaskan pelukanku, “Aku kan nggak punya uang kak.”
“Nggak usah pake uang, kok.” jawabku, “Pake apa kak?” tanyanya polos sambil menegakkan kepalanya untuk menatapku. Mata polosnya menusuk mataku dan membuatku mati-matian menahan cairan yang mendesak mataku, “Senyum.” Secepat kilat, ia mengangguk dan tersenyum kepadaku. Kuselipkan roti itu diantara tumpukan tisunya.
Tiba-tiba Dian menolehkan kepalanya dariku, beberapa meter disebelah kananku, berkumpul segerombol anak kecil lain yang membawa keranjang yang sama seperti Dian, beberapa diantara mereka memanggil Dian dengan lantang dan menyuruhnya untuk bergegas. Sebelum pergi, aku memegang tangan kecil Dian, “Dian…. Jangan lupa rotinya dimakan, ya. Jangan suka main jauh-jauh dari mama, sama kalo nanti udah sekolah yang rajin belajarnya ya.” Dian hanya mengangguk dan dengan tiba-tiba ia mencium pipiku, “Makasih kakak baik.” ujarnya sebelum ia berlari kearah teman-temannya dengan ceria tanpa sekalipun menoleh padaku lagi.
Selagi Dian berlarian dengan temannya, aku ditinggal sendiri disini, terdiam membisu. Aku hanya bisa menatap punggung-punggung itu menjauh dengan kaki-kaki kecilnya. Dihari yang penuh sesak dengan segala kepadatan yang ada, mereka masih bisa berlari, berjuang mencari uang, demi menggapai impian kecil mereka, bersekolah. Air mata yang sedari tadi kutahan menetes, Ya Tuhan, maka nikmat dari-Mu yang mana lagikah yang aku dustakan?