Friday, December 27, 2013

My Sun

Deburan ombak menyapa saraf-saraf telingaku lembut, membuatku tertarik untuk membuka mata, melihat air yang berkejaran dan sinar kuning sang mentari yang siap untuk menyongsong harinya di pagi ini. Tapi tidak, aku tidak membuka mata. Kunikmati detik demi detik yang kumiliki di pagi yang damai ini. Kuambil napas sepanjang yang kubisa dan menghembuskannya perlahan. Dapat kubayangkan hembusan napasku bersatu dengan angin laut yang sedari tadi memainkan rambutku. Oh, aku sungguh jatuh cinta dengan kedamaian ini. Seperti jatuh cintanya aku pada kedamaian yang kau buat untukku.
            “Hei, jangan lari kamu. Ayo siniii!” teriak Leon padaku. Aku berbalik ke arahnya lalu menjulurkan lidahku untuk mengejeknya. Dia mendengus kesal lalu berlari mengejarku.
            Aku terus berlari hingga akhirnya sebuah tangan besar menagkapku dari belakang dan menggelitiku tepat di pinggang. Aku tertawa dibuatnya. “Stop it, Leon!” pintaku memohon. Tapi dia sama sekali tidak berhenti menggerakkan jari-jarinya di pinggangku. Dia malah ikut tertawa “Rasakan!” ujarnya sambil tertawa. Aku mencubit tangannya ganas, baru dia berhenti. Akhirnya, aku dan dia sama-sama terduduk di tepian pantai sambil memegangi pipi kami yang pegal karena kelelahan tertawa.
            Napasnya terengah-engah dan terdengar kasar. Aku puas mendengarnya, itu berarti aku berhasil membuatnya berolahraga. Dia malas sekali berolahraga, padahal dia kan cowok.
            “Capek, Ra. Awas loh ya kalo kamu ngabur-ngabur lagi kaya tadi.” ujarnya sambil memelototiku. Aku memutarkan bola mataku lalu menantang tatapannya, “Iih, dasar cowok lemah. Kamu justru harus banyak olahraga kaya gitu biar kuat.” ujarku. Kedua mata hazel itu tiba-tiba melembut, menatap mataku dalam. Aku terpaku ketika cahaya matahari senja ikut menimpa wajahnya. Burung camar yang sedari tadi berisik ikut terdiam, seakan merasakan dahsyatnya aura orang yang memiliki mata hazel itu.
            “Gabisa, Ra. Aku gamau kehilangan kamu gara-gara maksain olahraga gitu. Aku gaakan bisa.” ucapnya pelan, matanya tertancap pada mataku. Aku hampir tersedak, apa maksudnya? Alih-alih bertanya dengan serius, aku memilih untuk tersenyum padanya lalu menyenderkan kepalaku di bahunya, menatap terbenamnya matahari senja di pantai selatan yang indah ini, berdua. Tiba-tiba seekor kepiting lewat di depan kami, “Kepiting itu jadi saksi bahwa kita pernah ada disini, Ra.” Dia mengecup puncak kepalaku. Aku tersenyum diatas bahunya. Damai.
            Kubuka mataku pelan, ribuan cahaya berebut memasuki mataku. Sebuah bola besar berwarna oranye di ufuk timur mewarnai pandangan pertamaku. Aku mengedipkan mataku berkali-kali. Melihat bola itu, tidak melihat, melihat lagi, tidak lagi hingga akhirnya mataku sendiri yang terbiasa dengan cahaya yang dipancarkan oleh bola besar itu. Aku melihat cahayanya lagi, menatapnya dalam, berharap dia menjawab pertanyaan yang sedari tadi berseliweran di dalam kepalaku. Tapi bola itu tidak menjawab, ia hanya diam dan terus naik ke tempat dirinya seharusnya berada.
            Smartphone-ku bergetar, aku meraba setiap inci dari sakuku untuk mendapatkannya. “Halo?” sapaku setelah kupencet tombol hijau tanda menjawab telepon.
            “Hei, Ra, dimana lo?” sahut Anti, sahabatku dari seberang sana.
            “Gue? Disini ajanih, kenapa?” jawabku asal sambil menutupi mataku. Aku mulai kesilauan.
            “Ya iya, makanya gue tanya lo ada dimana. Retoris lo ah.” omelnya kesal. Aku tertawa pelan untuk menimbali omelannya itu.
“Malah ketawa lagi, gila lo. Dimana lo?” tanyanya lagi dengan nada mengintimidasi yang sudah kuhafal. Aku mengelilingkan pandangan ke sekitarku untuk menjawab pertanyaan Anti, namun aku tidak menemukan apapun selain pasir-pasir putih yang membentang luas dan air yang berkejaran tiada henti. Aku menghembuskan napas pelan lalu menjawab, “Gue lagi di pantai, Ti.” Tidak ada jawaban, hening. Aku tahu, Anti pasti kaget mendengarnya.
“Ya ampun, Ra… Lo sendiri?” tanyanya setelah beberapa saat terdiam. Aku bergumam-gumam ria untuk menjawabnya.
 “Kenapa lo ga bangunin gue ajasih kalo lo emang mau main pasir di pantai? Kenapa sendiri? Lo jangan suka menyendiri gitu deh, bukan lo banget…. Lo…”
 “Gue gamau main pasir, Anti…” potongku lembut. “Lagian gue emang lagi pengen sendiri. Lo tau, melepaskan semua yang berkeliaran di otak lo beberapa hari terakhir itu ga gampang.” lanjutku dengan sabar. Anti hanya mendengarkan. Sepi lagi beberapa saat sebelum Anti berkata dengan tidak sabar, “Gue kesana, ya. Tunggu gue!” Hubungan telepon tiba-tiba mati. Aku hanya berdecak mendengarnya. Aku tidak heran, Anti memang selalu begitu. Bahkan sepertinya ia akan lupa untuk membawa smartphone-nya kesini. Ya, si ceroboh itu…
“Kamu kemana sih? Kenapa ngilang mulu? Kamu bosen, sama aku? Kalo iya, kita putus aja Leon!” teriakku marah sesampainya aku di cafeteria favorit kami. Leon bergerak-gerak gusar di depanku, sama sekali tidak menanggapi teriakanku. Matanya gelisah, aku berdecak kesal. “Leon! Liat aku!” bentakku. Sontak, dia memfokuskan wajahnya padaku. Matanya menatapku tepat di manik mataku. Matanya terlihat lelah dan memelas. Wajahnya lebih putih dari biasanya, pucat. Tiba-tiba aku merasa khawatir.
“Le, kamu kenapa?” tanyaku sambil menelusuri wajahnya yang terlihat menyedihkan. “Kamu sakit?” tanyaku lagi. Dia tidak menjawab, hanya tersenyum. Leon meraih jariku dan mengecupnya lembut.
“Tiara, kamu harus percaya sama aku. Alasan aku menghilang akhir-akhir ini bukan karena ada orang lain, ko. Ada hal yang harus kuselesaiin secepatnya. Nanti kalo aku udah selesai, aku bakal balik ke kamu kaya dulu.” Tiba-tiba jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Bukan karena tersipu sehingga ada ribuan kupu-kupu hadir dalam perutku dan membuatku deg-degan. Lebih karena aku khawatir.
“Hal apa, Le? Kamu bisa cerita sama aku kalo itu terlalu berat kamu tanggung sendiri. Kalo kamu tanggung sendiri nanti kamu kecapean dan sakit.  Aku gamau kamu sakit, Le.” jawabku sambil menyentuh keningnya. Tidak panas, syukurlah. Leon menarik tanganku dari keningnya lalu menelungkupkannya diantara kedua tangan besarnya.
“Tangan kamu selalu kecil dan lembut, ya Ra. Rapuh banget.” ujarnya tiba-tiba. Aku mendelik tidak mengerti. “Aku gamau tangan rapuh ini terluka, Ra. Makanya biarinin aku aja yang ngurus ini semua. Kamu percaya sama aku, aku pasti balik lagi.” tambahnya. Mata hazel cantiknya menyiratkan keseriusan yang membuatku otomatis mengangguk dan memercayainya.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan, yang kulakukan hanya menatap wajahnya. Sedangkan ia sedang melihat sesuatu yang entah apa itu dari kaca besar di sebelahnya. Sebenarnya, aku sungguh senang berrtemu lagi dengannya semenjak beberapa bulan yang berat ini. Kemunculannya yang tiba-tiba membuat perasaan gembira dan kesal membuncah seketika aku melihatnya. Tapi sekarang, setelah aku meihat wajahnya, semua perasaan itu sirna digantikan oleh perasaan khawatir yang berkelanjutan.
“Le, liat apa sih?” tanyaku memecah keheningan. Leon mengalihkan pandangannya dari benda diluar sana padaku. Ia tersenyum tipis, “Aku liat matahari, Ra.” jawabnya. Keningku berkerut bingung, “Terus?” tanyaku. Leon menjeaskan, “Matahari itu ga pernah ingkar janji, Ra. Malem, dia selau pergi ninggalin kita dengan semua cahayanya yang menghangatkan,bikin kita terkadang sedih dia tinggal. Tapi paginya, dia selalu datang lagi buat membagikan kehangatannya ke kita. Aku kagum sama dia, Ra.” jelasnya sambil menunjuk matahari di luar sana. Aku mengikuti pandangannya lalu mengangguk mengerti.
Leon kembai memfokuskan pandangannya padaku. “Ra, aku mau jadi matahari itu buat kamu. Aku mau menghangatkan hari-hari kamu. Dan aku akan selau memegang janji aku ke kamu. Boleh ga aku jadi matahari kamu?” tanyanya tiba-tiba. Hatiku mencelos, dia bilang apa? Aku mengerjapkan mata berkai-kali dan mencubit tanganku untuk memastikan bahwa aku tidak bermimpi. Leon masih tersenyum di tempatnya, ke arahku. Setelah sadar bahwa ini bukan mimpi, aku mengangguk sekuat tenaga-agar Leon tahu aku mengangguk-lalu tersenyum padanya. “Promise?” tanyaku sambil mengacungkan jari kelingkingku padanya. Dengan cepat dia mengaitkan kelingkingnya pada kelingkingku. “Promise.” Aku tersenyum bahagia.
“Tiara!” teriak Anti dari belakang batu karang yang baru saja terkena ombak. Aku menoleh lalu melambaikan tanganku padanya, hanya untuk menunjukkan bahwa aku sudah mendengarnya.
“Hosh… hosh.. hosh…. Gila, lo udah jalan sejauh ini, Ra?” ucapnya sesaat setelah dia sampai di tempatku.
Aku tersenyum padanya, “Lo aja kali Ti yang ngerasa jauh. Ini ga jauh, ah.” jawabku sambil meraih tangannya yang menggapai-gapai tanganku kelelahan. Anti menegakkan badannya lalu melepas tangannya dari genggamanku dengan sekali sentakan. “Kaya lesbi lo Ra pegang-pegang tangan gue.” ujarnya bercanda. Aku hanya terdiam, tidak menanggapinya sama sekali.
Anti mulai berceloteh tentang banyak hal di sebelahku. Membuat pagi sepi yang sedari tadi kurasakan menjadi pagi ramai yang ceria. Anti memang selalu menjadi mood booster-ku. Terkadang, ia bahkan berhasil membuatku tertawa, meskipun tawaku tidak selepas dan segila dulu. Yah, aku bersyukur karena Anti selalu ada disisiku, tetap menyemangatiku dan membuat hariku menjadi sedikit lebih berwarna.
“Ra? Tiara? Tiara? Lo ngelamunin apasih?” aku menoleh padanya, mengangkat alis sambil pura-pura mendengarkannya. “Kita lagi liburan, Tiaraaaa… Woi! Lo kenapa malah tambah diem sih diajak liburan? Lo harusnya berusaha buat lupain semuanya tentang Leon, Tiara. Always thinking about him just make you hurt more, let him go, Ra.” ucapnya. Mendengar nama Leon disebut, aku mengangkat kepala dan mencoba untuk fokus pada Anti.
Anti berdecak keras dan menghentakkan tanganku, “Ra! Sadar, Ra, sadar! Lo udah ngga sama dia lagi, lo jangan inget dia terus kalo itu emang bikin lo sakit. Hidup lo ga berakhir cuma dengan berakhirnya hubungan lo sama dia. Masih banyak ikan di laut, ra!” teriaknya tepat di depan wajahku. Matanya menyala-nyala, bukan marah, tapi terlihat sangat khawatir. Aku sendiri sedang menahan segala gejolak perasaan yang berebut keluar untuk menunjukkan wujudnya.
Tiba-tiba seekor kepiting melewatiku dan Anti. Dan bertepatan dengan itu, air yang sudah lama tertimbun di dalam mataku ini jatuh begitu saja. Anti terkesiap, mencerna keadaanku beberapa saat lalu langsung memelukku erat dalam pangkuannya.
“Yaampun Tiara, sori ya, gue gatau kalo ini pantai yang sama dengan pantai lo dan Leon waktu itu, dan kepiting itu….. Aduh, sori, Ra.” ucapnya tiba-tiba. Aku hanya mengangguk pelan dalam tangisku. “Sabar, ya Tiara..” ujar Anti berkali-kali sambil mengelus-elus rambutku.
 “I love you Ra.” ujar Leon mesra di daun telingaku. Suaranya yang bergetar sama sekali tidak mengurangi makna dalam kata itu. Bahkan, suaranya itu ikut menggetarkan hatiku dan membuat jantungku berdebar lebih keras. Rasa pusing yang menyergapku karena bau obat rumah sakit seketika hilang mendengar Leon berkata seperti itu.
Tangannya yang lebih kecil dari biasanya menggenggam tanganku. “Maaf Ra, kamu harus liat aku kaya gini.” ujarnya. Aku menggeleng pelan sambil menempatkan telunjukku di bibirnya. “Kamu… jangan banyak… ngomong dulu ya..” ucapku sambil menahan cairan bening yang sudah menumpuk di dalam pelupuk mataku.
“Jangan nangis, Tiara..” ujar Leon terbata. Aku mengangguk sambil mengelus kepalanya lembut. Dia tersenyum padaku, menatapku penuh arti. Aku balas menatapnya, sekedar untuk membuatnya senang. Tak sadar bahwa menatapnya balik akan mengaktifkan bom yang sudah sejak tadi ada di dalam mulut Leon. “Tiara, I want give up this to you.” ujarnya. Diam-diam aku berdoa dalam hati atas maksud dari ucapannya itu. Semoga saja apapun yang dia maksud, itu adalah hal yang baik.
“Just if I’m gone, will you still believe in my promise?” tanyanya. Aku tercekat. ‘Just if I’m gone’ terlihat seperti kata perpisahan buatku. “Maksud…. Kamu.. apa?” tanyaku. Leon melanjutkan kata-katanya tanpa menghiraukan pertanyaanku tadi. “Yah, you have to. Believe me, Ra. Aku gaakan pernah ninggalin kamu. You are my star, and I am your sun. Star and sun is always belongs together.” Mataku mulai berkaca-kaca, aku tak yakin akan sanggup menahan cairan ini keluar setelah Leon selesai berbicara.
“Wherever I am Ra, I am still yours and it will always be. Wherever I am, I will always shining your days. I am a sun, remember? So, if you miss me someday, just see to the sun, and I will smile for you from that Sun.” aku terpaku, cairan-cairan bening ini sudah bercucuran keluar lagi dari mataku. Aku menggeleng pelan, memintanya untuk berhenti berbicara. Leon tidak berbicara lagi setelah itu. Tanpa sadar, Leon meremas jari-jari tanganku, dan akupun meremasnya balik. Jari kami terpaut, mata kami saling pandang, menceritakan masing-masing kehidupan kami yang sendiri. Aku beberapa bulan ini tanpa dia, dan dia dengan penyakitnya yang ganas.
Air mataku tidak berhenti jatuh ketika Leon berusaha sebisa mungkin menghiburku untuk tidak menangis. Aku membayangkan jika ini benar-benar ucapan selamat tinggal dari Leon. Ah, tidak aku harus menepis fikiran itu. Aku tahu, Leon masih disini, disisiku. Dan akan selalu di sisiku.
“Meskipun kanker ini ngerenggut semua tenaga dan kesehatanku, kanker ini tetep gabisa ngerenggut rasa sayangku buat kamu. It will never end. Just like the sun. Selama matahari itu masih bersinar dengan setia di setiap harinya, aku juga bakal dengan setia sayang sama kamu. Jadi, if I go somewhere, jangan sedih. Inget positifnya aja ya Ra, bahwa aku selalu bawa perasaan ini buat kamu bahkan kalo aku udah ga ada. I love you, Tiara.” ujarnya lagi.
Mataku buram tertutupi air mata yang keluar deras tiada henti. Leon melepas genggamannya dari tanganku lalu mengelus mataku pelan. “Whatever will be, will be Ra.” bisiknya pelan. Aku balas berbisik lembut padanya, “I love you too, Leon.” Leon tersenyum tenang, damai. Dan beberapa detik kemudian matanya terpejam dan suara dengingan yang sedari tadi berbunyi teratur di ruangan ini mengeluarkan bunyi keras yang memekakkan telingaku. Aku tak bisa mendengar apa-apa lagi selain tangisanku yang pecah.
Aku mengangkat kepalaku dari bahu Anti, menghapus sisa tangisku yang tiba-tiba pecah tadi. Anti masih saja mengucapkan kata yang sama. Tapi sekarang, aku sudah lebih tenang. Keberadaan Anti dan tepukan tangannya di punggungku benar-benar seperti endorphin bagiku, yang lama-lama memberiku keberanian untuk bangkit dan tersenyum.
Semburat kuning memasuki mataku lagi ketika aku menolehkan kepala ke arah timur. Aku menatapnya, lama. Anti sempat bingung lalu hendak memelukku lagi tapi ia berhenti ketika ia melihatku tersenyum. Anti ikut melihat matahari pagi yang menyembul malu-malu diantara awan.
“Kenapa sama mataharinya, Ra?” tanya Anti bingung.
“Lo salah, Ti. Leon will always be mine, our love will never ends.” jawabku yang membuat Anti mulai mengambil ancang-ancang takut-takut jika aku menangis. “We are lover forever.” tambahku. Anti maju satu langkah mendekatiku. “Karena dia akan selalu ada di sini.” ucapku sambil menatap matahari di depanku dan memegang dadaku pelan. Anti terdiam lama, tidak berceloteh lagi seperti biasa. Hening menyergap kami, hal yang tidak biasa jika aku bersama Anti.
Aku mengangguk mantap, lalu menatap Anti, “Kayanya gue bisa ikhlasin Leon deh Ti.” Mata Anti membelalak lalu tersenyum menyemangatiku. Senyumku ikut mengembang. Kutolehkan lagi kepalaku pada matahari pagi ini dan tersenyum padanya. 

Ya, aku harus percaya pada Leon. Wherever he is, he will always beside me. Morning, my sun J

Quotes

"Life is short, break the rules, make mistakes, forgive quickly, love truly, kiss slowly and never regret anything."-Mark Twain

Sunday, December 15, 2013

Quotes

"If You Are Lucky Enough To Be Different,

DON'T Ever Change."- Taylor Swift

Saturday, December 14, 2013

Ketika Cinta Itu Pergi

“Yeeee! Congrats yaa Tia!” ucap Nia ketika aku melewatinya di lorong sekolah.
“Selamat, selamat.” teriak anak-anak kelas XI yang berebut mengucapkan selamat kepadaku. Semuanya tersenyum penuh ketulusan.
“Tiara, selamat ya. Semoga mulai sekarang kamu jadi tambah percaya diri.”ucap Dika ketika aku tidak sengaja berpapasan dengannya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum malu.
Hari ini adalah hari yang luar biasa buatku. Pagi ini sekolahku melaksanakan upacara seperti biasa dan diakhir upacara namaku dipanggil untuk mendapat penghargaan dari Bapak kepala sekolah. Minggu lalu aku mengikuti lomba speech di SMA Tiara Bangsa dan atas pertolonganNya aku memenangkan perlombaan pertamaku itu. Oleh karena itu, aku mendapatkan sangat banyak ucapan selamat dari teman-temanku.
Aku memasuki kelas dengan wajah bersemu. Berterimakasih atas semua yang telah orang-orang ucapkan kepadaku. Aku sungguh sangat tersanjung hari ini, hal yang sangat jarang buatku. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk satu minggu yang akanmelelahkan ke depan.
“Ra, selamat ya. Kita tau sebenernya kamu emang jago kok, cuma mungkin selama ini kamu kurang percaya diri aja.” ucap sahabat baikku, Tika.Aku hanya tersenyum.
“Oh iya Ra, gimana komentar ortu lo?” Tanya Kira polos. Aku termenung,mama sama papasebenernya udah aku kasih kabar tapi mereka masih belum komentar apa-apa.
“Gatau juga Ki gimana. Aku belom kasih tahu.”ucapku berbohong dengan penuh senyum palsu. Kira dan Tika hanya menggeleng.
“Kamu yang sabar, ya Yara. Mungkin emang butuh waktu.” ucap Tika sambil mengelus tanganku lembut. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum.
            “Oh iya Ra, kamu mau pulang sama siapa? Aku pulang barengan Kia nih, mau gabung ga?” tanya Tika lembut kepadaku. Hampir saja aku mengiyakan jika aku tidak melihat mobil yang menjemputku sudah ada di tempat parkir.
“Gausah deh Ka, aku pulang sama Pak Beno aja, itu udah jemput.” jawabku setengah hati.
“Oh yaudah kalo gitu kita duluan ya.” Tika dan Kira pun berlalu dengan mobil jeepnya. Akhirnya aku sendiri lagi, menghadapi hari yang entah akan bagaimana. Hmm… Tuhan, kuharap hari ini tidak akan merepotkan.
Sesampainya di rumah aku sudah bisa menebak, pasti kosong, tidak ada orangsama sekali. Seperti biasa aku langsung masuk ke dalam kamarku dan memilih untuk mengurung diri di dalam kamar hingga ada orang yang datang. Aku merasa sangat lelah hari ini, mungkin tidur siang akan cukup membantu.
“No, it is not only your choice, it is our choice!”
“Whatever you say, I just want to leave all this. This all going me crazy.”
“Tapi kamu ga bisa gitu Tiara itu anak kita berdua, bukan cuma anak kamu aja.”suara mama..
“Tapi aku yang ngasih dia makan dan fasilitas lainnya.” Suara papa….
But…………” suaranya hilang…. Mama… Papa… kemana?
Jam berapa sekarang? Aku langsung melihat jam yang ada di sebelah kiri tempat tidurku. Oh, sudah jam 6 sore rupanya. Aku yang masih kebingungan akhirnya memilih untuk bangun dan duduk di kasur. Karena pusing, aku mencoba untuk meminum air yang ada di meja belajarku. Beberapa saat kemudian aku baru merasa lumayan.
Mama papakenapa sih setiap hari bertengkar?Mama papa seharusnya tidak mengalami hal-hal seperti ini. Pasangan kekasih sejak SMA yang selalu akur tidak mungkin jadi begini. Memang, mama dan papa memiliki budaya yang berbeda. Papa yang orang Perancis sedangkan mama orang Indonesia. Tapi apayang sebenarnya jadi masalahnya? Pusing, aku pun mengusap kepalaku pelan. Beberapa saat kemudian pintuku diketuk oleh seseorang.
“Nona, sudah waktunya makan malam. Sudah ditunggu Nyonya.” ucap Bi Inah, kepala pembantu di rumah ini.
“Iya, Bi. Aku turun.”jawabku yang langsung berjalan menuju ke ruang makan.
Sesampainya di ruang makan, aku langsung duduk tepat di depankursi mama. Aku melihat ke sekitar dan tidak ada ciri-ciri keberadaan papa. Aku pun menunduk lesu. Terlalu tinggikah mimpiku jika aku berharap kami bisa makan malam sekeluarga?
“Where is Dad, Mom?” tanyaku seperti kebiasaanku sesaat setelah aku duduk di depan mama.
Going somewhere. Katanya masih ada kerjaan yang belum selesai, mama juga gatau kemana. Mama udah ga ngerti lagi sama papamu itu.”jawab mama skeptis. Aku? Hanya bisa menghela napas berat berkali-kali. Tapi tetap kuusahakan untuk tersenyum tipis ketika mama melihat ke arahku. Dan tidak lama kemudian, papa keluar dari kamar dengan pakaian lengkap dan menuju keluar rumah dengan sangat terburu-buru.
“Adrian…. Where you will go? Don’t you want to say good bye first to us?” tanya mamaku ketika sadar aku memerhatikan papa yang hampir lewat begitu saja di hadapanku tanpa menyapaku sama sekali.
“Oh please Clara, I don’t have more time for that. I have to go now.”jawab papaku dengan tegas, masih tidak mengacuhkanku. Mamaku mencoba untuk berbisik pada papaku.
“Tapi Clara, aku sedang terburu-buru!” dan mereka pun bertengkar dalam bahasa Prancis, bahasa yang tidak ada seorang pun mengerti di rumah ini. Mereka terus bertengkar tanpa sadar disini ada aku yang terdiam seperti patung melihat mereka. Dan ketika pertengkaran mulai memuncak, aku bersaha untuk menghentikannya.
Daddy please stops it! It will not working to always fight every time. You both are wasting time too much.”
“You know nothing, Tiara. You will never understand what we are talking about, so just silent and sleep. You are too young to know our problem!”
“Adrian!” teriak mamaku pada papaku dengan tangan hampir akan menampar papa sedangkan aku menganga tak percaya papaku bisa mengatakan itu. Tanpa disadari air mataku jatuh ke pipiku, tetes demi tetes. Wajah papaku yang kaku akhirnya sedikit mengendur. Setelah melihat air mataku, mamaku langsung mencobauntuk memelukku dan papaku berusaha untuk mengelap air mata yang mengalir di pipiku. Aku berontak. Aku menangis deras.
“Tiara, sorry I said that. It is out of my control.” pinta papa sambil mencoba merangkulku.
Don’t touch me……” namun papa dan mama tetap ada diam di tempatnya tanpa merubah posisi sedikit pun. “DON’T TOUCH ME I said, don’t you hear that? Don’t touch me, don’t touch me!”
“Tiara, kamu ga boleh ngomong gitu.”
Mama yang ga boleh ngomong gitu. Mama ga ngerti sama aku, mama ga kenal aku, bahkan mama sama papa gatau kan kalo aku menang lomba speech yang kuikutin kemaren? Jadi sebenernya mama sama papa yang ga berhak ngomong gitu ke aku! dan tepat setelah itu, aku langsung lari kearah kamarku dengan air mata terus bergulir.
Aku melesakkan seluruh wajahku ke bantal, kubiarkan bantalku menjadi basah kuyup, aku sudah tidak peduli lagi. Kedua orang tuaku, orang yang selama ini sangat aku banggakan ternyata bahkan tidak mengenalku, tidak menganggapku ada. Mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing, tanpa merasa perlu untuk mengurusku. Danaku kesepian lagi, sendiri memandangi langit malam tanpa bintang. Oh Tuhan… inikah memang jalanku?
Hari pun berlalu begitu cepat. Tak kurasa ini sudah pagi hari, rupanya semalam aku ketiduran. Tidurku nyenyak tanpa mimpi. Semalam… hmm bahkan mereka tak mencoba untuk merayuku untuk memaafkan perbuatan mereka. Sudahlah lebih baik aku bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Aku mendapat firasat bahwa hari ini akan sedikit menghibur.
Sesampainya di sekolah, baru saja aku memasuki gerbang tiba-tiba Dika datang dengan tasnya menyapaku.
“Hai, Yara. Kamu kenapa? Mukamu sembab begitu.” ucapnya bingung. Jantungku tiba-tiba berdetak dengan cepat dan bulu kudukku berdiri, seketika aku tegang. Ya ampun, masihkah tersisa tangisan semalam yang terlihat hingga pagi ini? Oh, tidak…
“Aku ga papa ko Dik, cuma kelilipan aja.” jawabku sekenanya. Aku tidak tahu mau menjawab apa lagi.
“Jawaban klasik, ya hahaha…. Jadi kenapa? Orang tua lagi?” tanyanya tepat sasaran. Aku yang tidak tahu harus menjawab apa benar-benar langsung mati kutu. Dika yang sepertinya mengerti langsung meraih tanganku dan mengusap bahuku pelan sambil berkata,
“You can trust me then.” Aku yang awalnya bersikukuh tidak mau memberi tahu akhirnya menyerah juga. Tepat ketika aku mulai bercerita, air mataku mengalir. Berat rasanya menahan air mata ini untuk tidak keluar. Pada akhirnya aku menceritakan semua kejadian semalam pada Dika. Air mataku tumpah ruah tak tertahankan mengalir deras seperti air terjun. Ia mengenggam tanganku erat dan sesekali mengelusnya jika ia merasa bersimpati. Setelah selesai bercerita, air mataku mengering. Dika hanya tersenyum penuh arti sedangkan aku merasa beban berton-ton yang selama ini ada di bahuku telah diangkat. Aku sangat lega ditambah lagi dengan keberadaan Dika yang menguatkan dan senyumnya yang menenangkan.
Setibanya di kelas, mataku membesar dan pandanganku mengabur. Melihat keadaanku yang sangat kacau, Tika dan Kira membawaku ke UKS untuk beristirahat. Ketika sampai di UKS mereka sempat bertanya “Kamu kenapa, Yara?” Aku hanya tersenyum dan mereka mengerti apa arti senyuman itu. Mereka pun menyuruhku untuk beristirahat dan membiarkanku sendiri.Lalu dalam kesendirian, akupun tertidur dengan mudahnya.
“Yara… banguuunnn. Ayo ini udah jam pulang looh. Kamu hampir tidur seharian di sini. Ayo bangun!” teriak Tika tepat di depanku yang sukses membuatku gelagapan ketika bangun. Dan tepat saat aku membuka mata, aku melihat ada tiga orang di depanku. Tika, Kira dan……… Dika. Ya ampun, kenapa Dika jadi ikut-ikutan?
“Yara, lo yang kuat yah di masa kritis ini. Jangan kalah sama keadaan.” ucap Kira tiba-tiba.
“Iya, Ra… kita percaya kok ini jalan yang terbaik buat kamu. Jangan nyerah dan tetap semangat yaa.” ucap Tika kemudian.
“Kalian tahu dari mana?” tanyaku bingung.
“Aku yang udah kasih tahu mereka. Gak apa-apa kan?” ucap Dika khawatir seraya mendekati tempat tidurku satu langkah. Wajahku tiba-tiba memanas dan jantungku berdegup lebih cepat. Tika dan Kira yang tahu aku pernah menyukai Dika serentak tersenyum penuh arti kepadaku.
“I..iyaa gak apa-apa ko Dik.” jawabku seadanya sambil memelototi Kira dan Tika. Ya Tuhan… kenapa reaksiku jadi berlebihan begini? Padahal tadi pagi masih biasa saja.
“Kamu yang tabah ya Tiara. Allah pasti ngasih jalan terbaik buat kamu. Semangat, ya.” ucap Dika dengan senyum. Senyum tulus yang menular karena sedetik kemudian aku merasakan sudut-sudut bibirku terangkat.
Waktu sudah menunjukkan jam 3 sore, aku diantar ketiga sahabatku sampai ke parkiran sampai aku menemukan mobil Pak Beno. Namun, aku sama sekali tidak menemukan mobil itu. Yang kutemukan sungguh diluar dugaanku, yaitu mobil papa dengan mama di dalamnya. Aku terpana sesaat, rindu akan pemandangan ini. Ketiga sahabatku yang tahu bahwa aku dijemput oleh kedua orang tuaku otomatis langsung pamit pergi dan sebelum pergi, mereka menyemangatiku dulu satu persatu. Aku hanya bisa tersenyum tipis.
Setelah mereka pergi, aku masuk ke dalam mobil papa. Beberapa menit awal mobil hening, tidak ada suara sama sekali, hanya helaan napas yang saling berkejaran saja yang kudengar. Lalu tiba-tiba mama memutar musik klasik yang dulu sering diputar oleh papa dan mama ketika berpergian berdua. Di tengah-tengah lagu, mama ikut bernyanyi. Suaranya merdu bagaikan kicauan burung kenari di pagi hari.Kulihat papa tersenyum tipis dari kaca depan. Mereka yang awalnya menatap kedepan tiba-tiba saling menatap sesaat tanpa sengaja lalu tersenyum bersama. Kurasakan percikan cinta yang menyenyat hati di dalam tatapan mereka. Aku terharu melihatnya lalu langsung memalingkan wajah.
Aku masih belum tahu kemana aku akan dibawa pergi oleh kedua orang tuaku. Mereka masih belum bicara kepadaku. Dan tiba-tiba di hampir akhir perjalanan mama bicara kepadaku,
“Kamu ingat Pantai Pangandaran, kan? Kita akan melepaskan penat kita sejenak disana.” ucap mama santai penuh senyum kepadaku. Aku terbelalak tak percaya. Mungkinkah ini suatu awal yang baru untuk keluarga kami?
“Tapi, mah, aku ga nyiapin apa-apa buat kesana.” kataku kegirangan.
We have already save it for you, babe. Don’t worry, just enjoy every time we have there. Oke?” ucap mama sambil mengelus kepalaku tiba-tiba. Sengatan listrik kasih sayang pun mengalir dari kepala yang mama sentuh ke seluruh tubuhku. “Thanks mom.”
Say it to your dad too. This is his idea.” ucap mama sambil memicingkan mata kearah papa. “Thanks, dad. It is amazing!” ucapku lalu tersenyum kearah kaca, dimana papa melihat senyumku dari situ.
Sesampainya di Pangandaran, kami check in ke salah satu hotel lalu beristirahat. Keesokan harinya kami langsung pergi ke pantai. Awalnya suasana canggung, namun berubah ketika papa mulai membuka pembicaraan kepadaku dan mama,
Why the situation is like these guys? We are in a holiday! Let have fun!”
“What we will do to make it fun, Dad?” tanyaku.
How about volley beach with clothes and jeans?” usul mamaku.
Aku tersenyum, “Okedeh.” dan kami pun mulai untuk bermain volley beach. A special volley beach family.
Malam menjelang, kami sedang duduk-duduk di pasir pantai sambil menunggu matahari terbenam. Suasana khidmat dan tenang. Semenjak tadi pagi, kami jadi akrab lagi, hening sekarang sudah berbeda dengan hening di hari kemarin. Benar-benar mimpi yang jadi kenyataan. Sesuatu hal yang sangat mengejutkan dari kedua orang tuaku. Hal yang tidak akan pernah kulupakan, salah satu momen terpenting dalam hidupku
Tiara…. Are you happy?” tanya mamaku tiba-tiba.
Sure, mom. Ini hal terindah yang pernah kita lakuin sebagai keluarga.” jawabku jujur. Mamaku tersenyum tipis, sangat tipis sehingga aku merasa itu bukanlah sebuah senyuman, melainkan suatu ejekan.
We have something to told, Tiara. An important thing.” Lanjut mamaku sambil melihat matahari yang mulaimenyelami lautan.
“Apa, ma?” tanyaku sambil menoleh pada mamaku namun mamaku malah menoleh pada papaku dan berkata “Tell her.” Papaku pun mengangguk lalu ia menghembuskan napasnya sebelum berbicara padaku.
We will get divorce, Tiara, soon.” ucapnya tanpa emosi. Suaranya hambar, namun matanya meluapkan banyak emosi dan kenangan yang menyakitkan.
What? Why?” tanyaku sambil berusaha untuk tidak marah.
“Kita rasa, kita udah engga cocok lagi, sayang. Gak ada lagi yang bisa kita pertahanin bersama. We are ends dan kita udah memutuskan.” ucap mama lembut sambil meraih tanganku, takut-takut aku kabur lagi.
“Tapi kalian kan punya aku. Kenapa kalian ga nyoba buat mertahanin aku aja sih? Padahal kan kalian udah saling cocok dari lama, kenapa waktu udah bersama malah harus pisah? Kita kan bisa bangun semuanya dari awal lagi, Tiara mau bantu kok. Kenapa harus cerai? Kena…” tanyaku tapi dipotong oleh suara papa yang tegas dan dalam.
“Tiara sayang, pernikahan bukanlah suatu hal yang mudah untuk dijalankan. Banyak sekali permasalahan yang ada di dalamnya. Dalam pernikahan kita memiliki banyak tanggung jawab yang harusditunaikan dan papa sadar, papa lalai dan sudah tidak sanggup lagi untuk memenuhi tanggung jawab tersebut.Nanti, jika kita sudah bercerai, kamu akan tinggal bersama mama.” ucap papa dalam, aku meresapinya sambil diam-diam meneteskan air mata.
But I love you both. Aku sama sekali gabisa bayangin hidup pisah sama mama ataupun papa. Aku gamau nanti salah satu dari kalian bakal lupa sama aku.”ucapku yang sudah memeluk papa erat sambil membanjiri kaosnya dengan tangisku.
“Nothing will change, trust me. I will always loving you everytime and you will always be my angel, Tiara. Alasan lainnya adalah karena papa dipindahkerjakan ke Prancis, tempat kelahiran papa. Papa tahu kalian akan sungkan jika diajak kesana, apalagi mamamu sangat menyukai pekerjaannya disini. Kami terlalu work holic, terlalu kuat berdiri sendiri sehingga rasa saling membutuhkan semakin lama semakin terkikis diantara kami. Kami tidak ingin memperpanjang penderitaanmu dengan teriakan-teriakan kami lagi. Kami ingin kamu hidup bahagia.” Aku hanya menghela napas, papa lalu menjelaskan.
“Tolong berikan kami waktu untuk saling berpikir, biarkan kami merasakan bagaimana rasanya kehilangan, biarkan kami melepas kini daripada mempertahankan lalu menyesal kemudian. Jika kami memang berjodoh, kelak kami akan saling jatuh cinta kembali.” ucap papa lagi, aku hanya mengangguk-ngangguk mengiyakan. Tidak kudengar suara mama sejak tadi dan ketika kulihat mama, ia sedang menagis juga sepertiku tapi dalam versi yang lebih anggun. Mama duduk tegak, melihat matahari terbenam sambil bercucuran air mata, menangis tidak bersuara. Papa pun akhirnya merangkul mama dan memeluk kami bersama.
Hari ini adalah hari keberangkatan papa ke Prancis. Papa dan mama sudah bercerai dan seperti yang direncanakan, hak asuh jatuh pada tangan mama dan aku tetap tinggal bersama mama di Indonesia. Papa akan selalu menghubungiku setiap hari dan kami akan sering-sering ber-videocalling. Sekarang kami bertiga ada di bandara, melepas kepergian papa ke tanah kelahirannya. Aku mencoba untuk berdiri tegak dan tidak menangis. Aku tidak ingin memberikan kesan buruk disaat-saat terakhir papa disini. Ketika pesawat keberangkatan papa sudah terdengar diumumkan untuk berangkat, papa sedang menatap mataku dalam.
“Tiara, kalau nanti ada lelaki yang benar-benar mencintaimu dan kamu juga cinta padanya, kamu jangan terlalu mencintainya hingga memberikan hidup dan matimu padanya. Biarkan Tuhan yang menunjukkan jalannya padamu, oke?” ucap papa lalu mencium puncak kepalaku lembut dan memelukku erat tepat ketika aku mengangguk. Setelah puas memelukku, papa beralih kepada mama. Meskipun mereka sudah bercerai, aku masih tetap bisa merasakan cinta yang besar diantara mereka. Papa menatap dalam ke mata mama, menguraikan belit-belit cinta diantara mereka. Tangan papa menggenggam tangan mama dan mama balas menggenggamnya. Mata mereka menceritakan kenangan kisah kasih antara mereka di masa lalu. Tangan mereka saling meremas, semakin lama semakin erat dan puncaknya papa mencium kening mama sangat lama. Mama memejamkan mata meresapi setiap detik terakhir yang mereka miliki. Selama sesaat kulihat keinginan mereka yang besar untuk kembali, namun tiba-tiba papa langsung melepaskan dirinya dari mama, menarik diri dari kenangan masa lalu mereka.
Setelah itu papa langsung menuju ke pesawatnya. Kami saling melambaikan tangan. Mama tersenyum, begitu pula papa dan aku. Namun masing-masing dari kami tahu, bahwa hati kami sedang berusaha untuk melepaskan dan berusaha untuk tidak menangis.

Menurut Lo?

            Suasana belakang panggung usai penampilan The Band riuh. Dari jauh terlihat Ari and the gang menuruni tangga dengan gagah. Bertepatan dengan saat itu Afi mendengar pekikan banyak remaja seumurannya yang memanggil nama anggota band itu satu persatu. Yang diteriaki hanya mengangguk dan melemparkan senyum bangga yang tentu saja mengundang teriakan baru dari deretan tak beraturan di depannya.
Afi memfokuskan pandangannya lalu  mempercepat langkahnya mengekori anggota The Band yang terburu memasuki waiting room. Tanpa banyak berpikir, Afi menerobos maju lalu dengan penuh tenaga meneriakkan satu-satunya nama yang sedari tadi menghantui pikirannya, “ARIIIII!”. Seketika suasana hening dan puluhan kepala yang berdesakkan di depannya berbalik ke arahnya. Afi hanya terdiam dan kehilangan suaranya ketika orang yang dipanggilnya membalikkan wajahnya dan mengerutkan kening.
Orang yang dipanggilnya mendekat, Afi bisa merasakan detak jantungnya mulai berpesta tidak beraturan. Gugup, ia terus menerus memeluk paper bag yang hampir seharian ini bertengger di tangannya yang basah.
            Sorry, kita kenal, ya?” tanya Ari tepat ketika ia sampai di depannya. Afi menggigit bibirnya lalu menggeleng pelan. “Oh gitu, yaudah deh. Gue pikir gue pernah denger suara lo sebelum ini. Sini...” ujarnya tersenyum sambil meminta paper bag yang ada di tangan Afi. Afi mendadak merasa tidak memiliki tenaga dan tanpa ba-bi-bu langsung memberikan paper bag yang berada di tangannya. Sesaat setelah mendapatkan paper bag itu, Ari langsung mengeluarkan isinya.
“Robot?” tanya Ari bingung sambil mengangkat robot Ultraman yang ada di tangannya. Wajahnya terlihat geli. Afi dengan polosnya tersenyum lebar dan menjawab, “Iya. Biar kamu lebih kaya cowo mainnya robot, bukan malah main boneka.” Ari terkekeh dan pada saat itu juga hati Afi meleleh dan senyumnya merekah bahagia. Oh, Ari... Kehangatan yang Afi rasakan sukses membuatnya tak sadarkan diri. Ia tidak sadar bahwa adegan yang baru saja ia dilakukannya akan siap dilahap ribuan mata keesokan harinya. Bahkan ia juga tidak sadar akan perubahan air muka Ari semenjak mengobrol dengannya.
            Dya berjalan cepat dari gerbang sekolah menuju kelasnya di lantai dua, yang ada di pikirannya hanya satu: segera bertemu Afi dan meminta penjelasan tentang apa yang dilihatnya kemarin sore di televisi. Dya tidak habis pikir kenapa Afi nekat melakukan hal bodoh itu, bahkan di hadapan publik. Dya tidak ingin sahabat sejak kecilnya itu salah mengambil langkah dan akan mendapat aib yang tak terkira malunya dengan berada di dekat Ari, si vokalis The Band.
            “Afi, maksud lo kemarin apaan, sih?! Jangan melakukan hal bodoh kayak gitu lagi!” Dya langsung mencak-mencak di hadapan Afi sesampainya ia di kelas. Afi menunjuk wajahnya sendiri dengan heran. “Emang gue ngapain, Dya?”
            Nih anak benar-benar nggak tahu bahayanya gosip di media massa, ya? Belum sempat Dya membuka mulutnya mengajukan protes dan semua wejangan yang sudah ia siapkan sejak malam, seorang guru kimia bertubuh tambun memasuki kelas.
            Bel tanda istirahat berbunyi. Dya yang sudah menanti pelajaran Kimia dan English segera berakhir langsung menuju bangku Afi. Belum sempat ia buka suara, Afi sudah menariknya menuju kantin. Lapar, katanya dengan raut wajah yang aneh. Dya langsung sadar, ini pasti bukan hanya karena sekedar lapar.
            Koridor menuju kantin saat itu penuh sesak. Mayoritas murid menuju kantin yang sama dengan mereka karena hanya kantin di sebelah sanalah yang menyajikan menu bervariatif dengan harga yang terjangkau. Ditambah lagi, Afi berspekulasi kalau Ari pun akan menuju kantin yang sama. Benar saja, belum sampai di kantin, Afi dan Dya berpapasan dengan Ari yang berjalan dari arah berlawanan. 
Afi tampak grogi ketika mendapati orang yang paling ditunggu-tunggunya itu muncul di hadapannya. Tanpa disangka-sangka, Ari melambaikan tangannya ke arah Afi. Dya memasang muka garang. Namun sebaliknya dengan Afi. Entah apa yang ada dipikiran Afi, tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya dengan cepat dan “BUK!!!” dahi mulus Afi sukses mencium tiang sekolah dengan keras. Bahkan bunyinya pun dapat mengubah ekspresi Dya yang awalnya menakutkan menjadi tercengang. Ari berhasil dibuat diam seribu bahasa dengan aksinya. Dengan satu tangan menutupi benjol besar yang tercipta di dahinya, Afi menarik tangan Dya untuk berbalik menuju kelas.
            “Lo kan tadi nyari-nyariin tuh orang, kenapa setelah ketemu malah mau kabur gitu? Gini kan hasilnya.” Dya mengompres luka Afi dengan es batu yang ia dapatkan dari kantin.
            “Kan gue grogi, Dya. Apalagi dia dadah gitu.” Kedua pipi Afi memerah seketika. Benar-benar wajah orang polos yang sedang jatuh cinta. Ralat, mungkin itu wajah orang bloon yang terjangkit virus merah jambu.
            Dya mendengus kesal. “Lo itu ya, Fi. Jangan gampang memberikan hati ke anak band kayak Ari. Playboy tuh orang.” Afi tampak tidak percaya. “Buktinya, lo baru nyapa dia kemarin, kan? Masa Ari udah berani dadah gitu. Lo itu harus jual mahal ke cowok, biar nggak diremehin.” Afi hanya mengangguk mengiyakan. Entah ia mengerti atau tidak. Huh, dasar Afi.
            Sementara itu di ruangan lain Ari tengah melamunkan seseorang. Afifah Triana Wicaksono, ya ia tahu orang itu. Dipandanginya robot Ultraman berwarna biru pemberian Afi. Ia jadi teringat wajah Afi ketika menjawab pertanyaannya tentang robot kemarin. Ia tersenyum pelan. Sebenarnya, ia tahu kamera sedang menyorotnya ketika ia mendekati gadis itu, tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin sekali saja mengobrol dengan gadis lugu yang sudah lama ia perhatikan itu. Apapun yang berada pada gadis itu mampu membuatnya bersemangat. Sambil menyentil kening benda biru di tangannya, Ari mengangguk pelan dan tersenyum puas. Ya, dia harus melakukan sesuatu. Ari tidak sabar menunggu hari esok.
            Suasana sepulang sekolah selalu ramai. Dya dan Afi berjalan bersisian menuju gerbang sekolah. Dya bersyukur karena hari ini ia berhasil menyembunyikan Afi di dalam kelas. Tapi kini ia kembali merasa was-was. Keberhasilannya sedari pagi itu bukan tidak memungkinkan bahwa Afi dan Ari akan bertemu saat pulang sekolah.
            Langkah Dya dan Afi berhenti. Di tengah lapangan telah berdiri stage kecil dan di atasnya berdiri Ari dengan gitarnya. Setelah mata Ari mendapati Afi yang berdiri tercengang membaca spanduk besar bertuliskan “ARI untuk AFI. Love You, Afifah Triana Wicaksono”, ia langsung memetik senar-senar gitarnya. Dari mulutnya terdengar alunan indah lagu Inilah Cintaku-Petra Sihombing. Kerumunan yang terbentuk di sekitar panggung itu bersorak riuh ketika menyadari si obyek yang dimaksud Ari sudah berada di TKP.
            Dya menyikut lengan Afi pelan setelah dilihatnya sahabatnya itu hanya mematung mendengarkan suara Ari. “Ingat pesan gue.” Afi hanya mengangguk tak peduli.
            Setelah satu lagu selesai, Ari turun dari panggung. Ia membelah keramaian dan berjalan menghampiri Afi. Ia menunjukkan tangan kanannya yang sedari tadi tersembunyi di balik punggung. Ari mengangsurkan setangkai mawar merah ke hadapan Afi.
            Would you be my girlfriend?” sorakan anak-anak semakin ramai setelah mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Ari. Sebaliknya, Dya yang masih berada di samping Afi tampak jengah dan mencibir tanpa suara.
            “Nggak.” jawab Afi spontan. Keriuhan itu langsung berubah menjadi sepi. Wajah bahagia Ari yang penuh optimistis itu pun pergi entah kemana.
            “Apa?” tanya Ari tak percaya. Padahal selama ini ia yakin bahwa gadis ini amat sangat tergila-gila pada dirinya. Ari pun tidak mengerti, mata Afi masih menunjukkan binar-binar bahagia karena persembahan yang diberikan Ari, tetapi kenapa ia menolak?
            “Iya, gue nggak bisa jadi pacar lo karena gue harus jual mahal,” Dya yang mendengar jawaban Afi langsung menepuk dahi tak habis pikir. “Lo itu anak band, pasti punya banyak fans. Gue nggak mau diremehin sama lo.” lanjut Afi masih dengan enteng.
            Ari memandang Afi dengan tatapan kosong tak mengerti. Baru kali ini ia ditolak cewek dengan alasan yang sangat tidak masuk akal, yah, ia memang tidak pernah ditolak.
            “Tapi, tapi,” Afi kini mulai panik. “Tapi gue sebenernya juga suka sama lo. Gue pengin banget jadi pacar lo, kok. Bener. Cuma.... ya itu tadi, Ri.” Ari menggeleng pelan tak percaya. Kepolosan yang diberikan Afi sungguh sukses membuatnya heran sekaligus jatuh hati. Sedangkan Afi masih terlihat plin-plan dengan jawabannya sendiri.
            Kerumunan yang tadi sibuk bersorak riuh kini mulai meninggalkan lapangan dengan sebelumnya menghela napas kesal. Ternyata ada aja ya cewek cantik yang polosnya kelewat bloon. Dya ikut-ikutan meninggalkan Ari dan Afi berdua. Dya sudah tidak mau ambil pusing dengan mencegah Afi agar menjauh dari Ari. Biarlah mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri.
            “Jadi, gimana?” tanya Ari bingung.
            Afi menggigit bibirnya pelan, “Gue juga bingung, menurut lo gimana?”





BIODATA
            Halo, perkenalkan ini karya kami. Aku Lulu Nur Afifah dan temanku Hafshah Widya Arini. Kami bisa dihubungi di FB: Lulu Nur Afifah dan Hafshah Widya Arini, twitter: @Fifah_LNA dan @hafshahwidya


Alhamdulillah :D

      By the way last month, I and Widya, my best friend, make a short story and join a competition. And lucky us, we win with 20 other finalist. We are totally happy since it was our first time make a book of ours. Thank God. And I just want to post that after this. Actually the theme of that competition is "Hal yang paling gila yang kamu lakukan untuk cinta." and genre is comedy. Our title is 'Menurut Lo' We, Widya and I ever think that our short story doesn't compared with that genre. But Alhamdulillah Allah give us a chance. Hopefully, this is can be the start for two of us.
      For you all, never stop fighting for your dream. Believe in your self that you can reach that one days. So, fighting! Oh,ya.. hopefully you can enjoy our ss.